Terpelajar dan Mampu Menulis

Oleh S.P. Tumanggor

Sejak menekuni ranah penulisan di paruh pertama tahun 2000-an, saya berkesempatan mengajar kelas-kelas penulisan di berbagai daerah di Indonesia. Para peserta kelas-kelas itu adalah mahasiswa dan alumnus perguruan tinggi dari bermacam jurusan (termasuk guru dan dosen), dan jenis tulisan yang saya latihkan adalah tulisan opini. Setiap kelas memberi pengalaman unik, tapi satu hal umum yang saya pergoki dalam semuanya adalah: kebanyakan orang Indonesia tak mahir menuliskan pikirannya sendiri.

Ini memasgulkan hati—sekaligus membenarkan apa yang sudah diungkap para pemerhati dunia tulis-menulis di Indonesia. Chaedar Alwasilah, misalnya, pernah berujar bahwa “sebagian besar kaum intelektual, baik pelajar, mahasiswa, dosen, maupun para pakar berbagai bidang ilmu, sangat sedikit yang mampu menulis.”1 Itu terjadi bukan karena mereka tidak pintar (banyak peserta kelas saya berasal dari perguruan-perguruan tinggi favorit di Indonesia), tapi karena mereka tak pernah dimampukan menulis.

Di kelas saya, para peserta ditugasi membuat tulisan-tulisan opini sepanjang satu halaman A4 saja. Teknik berpikir jadi tekanan ajaran saya, dengan anggapan bahwa teknik menulis sudah mereka kuasai lewat bangku SD hingga SMU dan tinggal mereka pakai untuk menyampaikan ide-ide hasil olah pikiran. Tapi harapan itu sering tak terwujud. Kaum terpelajar kita masih sering tertatih-tatih dalam menemukan ide unik-orisinal, merumuskan dan menganalisis isu, mengatur keruntutan alur, menafsirkan data/fakta, dsb.—sambil masih sering tersaruk-saruk dalam hal ejaan, tanda baca, dan pengalimatan!

Dari mengajar di kelas-kelas penulisan, saya belajar tentang suatu “cacat” dalam sistem pendidikan Indonesia. Bangku SD hingga SMU di negeri kita ternyata belum menjadi dapur penempaan kaum terpelajar yang cakap menulis secara cendekia—dan kreatif. Abdul Khak, pemerhati dunia tulis-menulis, mengeluhkan bahwa “tradisi menulis di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan tradisi membaca, terlebih di kalangan generasi muda.” Ia lalu menambahkan, “Minat membaca saja sebenarnya masih rendah.”2

Bagaimana bisa bangsa maju jika melarat dalam hal baca-tulis? “Membaca itu referensi untuk menulis,” kata Abdul. “Bagaimana bisa seseorang menulis jika tidak suka membaca?”3 Dan ketidaksukaan itu berjabat tangan pula dengan kebutaan akan makna penting menulis. Chaedar menilai bahwa “pada tiap-tiap jenjang pendidikan di Indonesia, baik SD, SMP, SMU maupun Perguruan Tinggi, pelajaran menulis tidak dilakukan dengan benar.”4

Ya, menulis tampak dianggap sepele di Indonesia sehingga tak diberi perhatian khusus. Kurikulum pendidikan nasional kita belum menyasar pembentukan kaum terpelajar yang pandai menuliskan pemikiran cendekianya. Akibatnya, ide-ide cemerlang yang digagas anak bangsa tak tersebarluaskan untuk jadi manfaat bagi bangsa dan dunia, sebab tak tertuliskan—sebab para penggagasnya tak dimampukan menuliskannya. “Dalam percaturan global,” kata Chaedar, “para ilmuwan Indonesia banyak tertinggal karena mereka tidak mampu menuangkan keilmuannya dalam bentuk tulisan.”5

Itu tentu harus disudahi. Kita, sebagai suatu bangsa, mesti mulai menyadari pentingnya kegiatan menulis (paling tidak berdasarkan hal-hal yang saya argumenkan di atas). Kurikulum nasional kita haruslah memuat haluan tentang penempaan kaum terpelajar yang mampu menuliskan pemikirannya secara cendekia dan kreatif. Guru, dan sebaiknya juga orang tua, mesti menguasai bahasa Indonesia dan seluk-beluk penulisan yang baik sehingga dapat membimbing siswa kepada kemampuan menulis.

Selanjutnya, kegiatan penyusunan karangan, laporan, atau makalah di bangku sekolah harus dijalankan dengan meleluasakan siswa bermain kekreatifan dan logika. Siswa mesti dilatih mencari ide unik-orisinal, menganalisis, berargumen, serta menata bahasan secara rapi dalam tulisannya.

Kegiatan membaca mesti digalakkan jua, sebab dari bacaan yang baguslah siswa bisa belajar cara membuat tulisan yang bagus. Pengajaran cara membaca pun diperlukan! “Membaca itu konteksnya luas,” ujar Abdul Khak, “Tidak hanya membaca buku, tetapi juga membaca kondisi dan keadaan lingkungan sekitarnya.”6 Saya sangat setuju dan memandang pembacaan luas itu sebagai modal pembuatan tulisan yang sarat manfaat.

Tanpa suka membaca dan menulis, kita tetap akan tertinggal banyak langkah dari bangsa-bangsa maju di dunia. Dan tanpa keseriusan membentuk generasi cendekia yang mampu menuliskan ide-ide cemerlangnya, kita sedang mengerdilkan potensi bangsa sekaligus menahan banyak kebaikan dari dunia.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 “Kemampuan Menulis Orang Indonesia Lemah” dalam Media Indonesia terbitan 01.10.2001. Saat itu Chaedar Alwasilah adalah Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Meski dilontarkan belasan tahun lalu, pernyataan-pernyataan Chaedar saya dapati masih akurat untuk keadaan saat ini.

2 “Tradisi Menulis Lebih Rendah daripada Minat Baca” dalam Kompas terbitan 23.11.2011. Saat itu Abdul Khak adalah Kepala Balai Bahasa Bandung.

3 “Tradisi Menulis Lebih Rendah daripada Minat Baca.”

4 “Kemampuan Menulis Orang Indonesia Lemah.”

5 “Kemampuan Menulis Orang Indonesia Lemah.”

6 “Tradisi Menulis Lebih Rendah daripada Minat Baca.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *