Oleh S.P. Tumanggor
“Bisa dikatakan Sejarah Nasional Indonesia lebih banyak tentang sejarah di Pulau Jawa atau Jawa-sentris. Sedangkan buku sejarah yang baru lebih variatif. Seluruh peristiwa sejarah baik di Jawa maupun luar Jawa dijelaskan dengan lebih dalam.”1
Kata-kata itu dilontarkan pada tahun 2006 oleh Taufik Abdullah, sejarawan Indonesia, tatkala ia membicarakan buku sejarah “baru” yang tengah digarap oleh sekitar 100 sejarawan Indonesia. Buku yang akhirnya diluncurkan pada tahun 2012 itu berjudul Indonesia dalam Arus Sejarah. Terdiri dari sembilan jilid dengan total 4.500 halaman, mahakarya ini—seperti diungkap Taufik—mengusung sejarah nasional yang mengindonesia, bukan yang memusat di Pulau Jawa.
Pemusatan sejarah di Pulau Jawa memang patut didobrak. Sebagai bangsa raya yang pada tahun 1928 mengaku “bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia,” kita membutuhkan sejarah nasional yang mewawas seantero tanah air Indonesia. Dengan demikian, setiap wilayah di Indonesia akan merasa punya tempat dalam ke-bhinneka-tunggal-ika-an di bawah bentang sayap sang garuda.
Sayangnya, buku-buku pelajaran sejarah untuk sekolah-sekolah Indonesia belum menunjukkan wawasan itu karena masih mengusung wawasan yang disebut Taufik “Jawa-sentris.” Padahal buku-buku pelajaran sejarah inilah yang lebih bersentuhan dengan kita, masyarakat Indonesia pada umumnya, dan lebih membentuk pemahaman sejarah nasional kita daripada, misalnya, kesembilan jilid Indonesia dalam Arus Sejarah.
Contoh “Jawa-sentris” itu bisa ditilik dalam pelajaran tentang babak-babak sejarah Nusantara/Indonesia. Dalam pelajaran babak sejarah Hindu-Budha, sorotan besar diberikan kepada kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa (dengan kekecualian Kerajaan Sriwijaya di Sumatera). Dalam pelajaran babak sejarah Islam, ada bahasan tentang kesembilan wali penyebar Islam di Pulau Jawa tapi tak ada tentang, misalnya, Dato ri Bandang, penyebar Islam di Sulawesi Selatan.
Dalam pelajaran babak sejarah pergerakan nasional dan kemerdekaan, fokus diarahkan pada peristiwa-peristiwa di (atau yang berhubungan dengan) Pulau Jawa. Seorang peresensi buku biografi Roehana Koeddoes, srikandi Minangkabau, sampai-sampai berujar, “Penulisan sejarah Indonesia memang terkesan Jawa-sentris, … Orang-orang luar Jawa yang diabadikan oleh sejarah pun pada umumnya adalah mereka yang merantau dan mengikuti pergerakan di Jawa. Namun mereka yang bergerak di luar Jawa sering terlupakan.”2
Dan kesan serupa bisa diutarakan tentang Kiras Bangun, Nani Wartabone, Tjilik Riwut, Pong Tiku, dll.—“orang-orang luar Jawa” yang sudah dijadikan pahlawan nasional tapi sejarah hidupnya langka diketahui masyarakat Indonesia. Karena “bergerak di luar Jawa,” mereka “sering terlupakan.”
Sejarah wilayah-wilayah luar Jawa pun bernasib sama. Papua, misalnya, hanya menonjol dalam buku pelajaran sejarah lantaran gonjang-ganjing perebutannya dari tangan Belanda di tahun 1961. Apa sejarah Papua di luar peristiwa itu? Apa pula sejarah NTB, NTT, Sulawesi, Kalimantan, Maluku di zaman Hindu-Budha? Apa sejarah kepulauan Indonesia Timur di zaman Islam sehingga sebagian penduduknya belum terislamkan dan bisa memeluk agama Kristen?
Kita sungguh butuh pelajaran sejarah yang melingkupi seantero wilayah Nusantara/Indonesia. Kadar pengulasannya bisa berbeda tapi harus diatur sedemikian rupa sehingga sejarah di luar Jawa pun nyata berartinya dan pentingnya di mata seluruh bangsa Indonesia. Babakan sejarah bisa dipertahankan tapi diperlukan tinjauan-tinjauan terhadap apa yang terjadi dengan daerah-daerah luar Jawa pada masa yang sama.
Sejarah nasional kita haruslah membangkitkan kebanggaan setiap wilayah Nusantara sebagai bagian dari Indonesia. Jika kupasan tentang Tarumanegara dan Mataram dalam buku pelajaran sejarah bisa membuat Tanah Sunda dan Tanah Jawa berbangga dalam keindonesiaan, tentulah kebanggaan yang sama bisa digugah lewat kupasan tentang kerajaan-kerajaan “luar Jawa” yang “sering terlupakan”: Haru di Tanah Karo, Tambora di Tanah Sumbawa, Nunusaku di Tanah Ambon, dll.
Ya, kita patut mengapresiasi terbitnya buku seperti Indonesia dalam Arus Sejarah. Tapi dengan harga jutaan rupiah untuk sembilan jilid, seruan bahwa mahakarya ini “perlu dibaca oleh semua kalangan masyarakat Indonesia, baik pelajar, akademisi, maupun masyarakat umum”3 jadi kurang realistis. Yang lebih realistis adalah membenahi buku pelajaran sejarah di sekolah sehingga mewawas seantero Indonesia, bukan melulu Pulau Jawa. Ini akan menggenapi ikrar luhur kita tentang “bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.”
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Konferensi Sejarah: Menghapus Jawa-Sentris Lewat Buku” dalam Media Indonesia terbitan 15.11.2006. “Sejarah Nasional Indonesia” yang disinggung Taufik adalah nama buku (enam jilid) tentang sejarah Indonesia yang terbit di masa Orde Baru.
2 Udji Kayang Aditya Supriyanto. “Bila Ingin Jadi Pahlawan Perempuan, Jangan Tinggal di Luar Jawa” dalam blog Adiksi Kopi. <http://adiksikopi.blogspot.co.id/2015/07/bila-ingin-jadi-pahlawan-perempuan.html>.
3 Dipetik dari Sekapur Sirih buku Indonesia dalam Arus Sejarah yang bisa dilihat, misalnya, di situs Youblisher. <http://www.youblisher.com/p/436389-prospektus-sejarah-isi/>.