Terlalu Terpusat di Pulau Jawa

Salam sejahtera di bulan sepuluh 2015, Sidang Pembaca!

Jakarta, ibukota Republik Indonesia, terletak di Pulau Jawa. Karenanya, Pulau Jawa bisa dipandang sebagai pusat negara Indonesia. Namun, ini tidak mesti berarti bahwa segala sesuatu selain pemerintahan harus dipusatkan di Pulau Jawa juga. Pemusatan semua hal di Pulau Jawa menimpangkan kemajuan Indonesia secara keseluruhan sekaligus membantah ikrar agung kita di tahun 1928.

Dalam ikrar 1928, yang beken dengan nama “Sumpah Pemuda,” kita mewawas Indonesia yang satu dalam hal tanah air dan kebangsaan dengan satu bahasa persatuan. Kesatuan adalah kesamaan: sama-sama maju dan berkembang. Dengan demikian, keadaan Indonesia yang sejauh ini terlalu terpusat di Pulau Jawa sangat bertentangan dengan Sumpah Pemuda. Itulah yang disoroti Komunitas Ubi (Kombi) lewat lima peladangnya bulan ini.

Samsu Sempena menunjukkan perbandingan pincang pembangunan berbagai fasilitas dan kemudahan hidup di Pulau Jawa dan luar Jawa. Akibatnya, Indonesia jadi seperti manusia dengan anatomi yang tidak berkembang seimbang. Ini jelas tidak menggenapi cita-cita luhur bangsa yang kita kumandangkan sendiri dalam pembukaan UUD 1945.

Hasil alam Indonesia disedot besar-besaran ke Pulau Jawa sehingga daerah luar Jawa sampai sekarang belum juga bisa semaju Pulau Jawa. Victor Sihombing mengungkapkan masalah itu dalam suatu surat yang mewakili isi hati orang-orang Indonesia luar Jawa. Ketertinggalan membuat mereka merasa dinomorduakan di negeri sendiri.

Ericko Sinuhaji memperlihatkan ketaksetaraan pendidikan tinggi—dan juga tawaran kerja—yang terdapat di Pulau Jawa dan di luar Jawa. Efeknya adalah banyak pemuda luar Jawa berduyun-duyun hijrah ke Pulau Jawa sehingga menambahi sesaknya. Banyak dari mereka tidak kembali ke daerah asal sehingga menggembosi angkatan kerja di sana.

Sejarah nasional Indonesia masih bersifat “Jawa-sentris,” belum mewawas Indonesia secara menyeantero. S.P. Tumanggor membeberkan isu itu sambil mewawas pentingnya pelajaran sejarah bagi kesatuan bangsa. Sejarah yang “Jawa-sentris” tidak ramah terhadap realitas keindonesiaan yang luas dan tidak strategis dalam membangun rasa kebersamaan dalam berbangsa.

Lasma Panjaitan menyingkapkan “penggusuran” bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional oleh bahasa gaul ala Jakarta—ala Pulau Jawa. Bahasa gaul tentu bisa digunakan dalam keseharian. Tapi jika tayangan dan tulisan populer lebih suka dan lebih banyak memakainya, terbitlah pertanyaan penting: kapan kita akan menjunjung bahasa persatuan sesuai dengan ikrar kita sendiri?

Jelaslah, Sidang Pembaca, bahwa pemerataan pembangunan (fisik dan mental), wawasan menusantara, dan penguatan kedudukan bahasa Indonesia lebih cocok dengan Sumpah Pemuda daripada terlalu terpusatnya Indonesia di Pulau Jawa. Tahun lepas tahun, kita, putra dan putri Indonesia terkini, wajib terus mengacu kepada ikrar agung itu. Kita wajib menggenapinya pula demi kejayaan Indonesia yang satu dalam hal tanah air dan kebangsaan dengan satu bahasa persatuan.

Selamat ber-Ubi.

Penjenang Kombi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *