Kantor Pos dan Cara Pikir Inovator

Oleh S.P. Tumanggor

“Setiap tahun Layanan Pos menerima banyak ide dari komunitas pos tentang cara-cara kami dapat meningkatkan produk dan layanan kami. Layanan INNOVATIONS@USPS kami mencakup pengumpulan dan peninjauan ide-ide Anda di area-area yang paling menarik minat kami.”1

Kata-kata itu meleret di halaman “Innovations” (inovasi-inovasi) dalam situs United States Postal Service, yakni layanan pos Amerika Serikat (AS) yang disebut “memelopori layanan-layanan pos inovatif.”2 Berinovasi di tengah perkembangan zaman memang mencirikan bangsa maju, sedang cenderung memakai/mengekor inovasi mencirikan bangsa belum maju. Bangsa Indonesia, sayangnya, bercirikan yang belakangan ini.

Kita tak bisa membiarkannya. Jika kita ingin bangsa kita maju dan mashur, cara pikir pencetus inovasi atau cara pikir inovator harus ditempakan pada bangsa. Satu caranya yang sederhana tapi mustajab adalah dengan mengapresiasi, menelisik, dan memetik pelajaran dari inovasi bangsa lain yang sehari-hari lumrah kita gunakan dan mudah kita temukan. Kantor pos adalah contoh baiknya.

Sepanjang segala zaman sudah menjadi kebiasaan manusia untuk saling berkirim sesuatu, entah kabar atau barang. Maka bangsa-bangsa menciptakan sistem pos. Kantor pos, sebagaimana yang kita kenal sekarang, dikembangkan oleh bangsa-bangsa Barat. Sebagai bagian penting dari sistem pos, kantor pos adalah makelar kegiatan kirim-berkirim. Dan kantor pos memberi kita pelajaran-pelajaran bernas tentang cara pikir inovator.

Mula-mula, inovator memikirkan gambaran besar. Kantor pos hadir sebagai komponen pengisi gambaran besar tentang sistem pos yang melibatkan kegiatan menampung, membiayai, memindahkan, dan mengantarkan kiriman surat/barang. Gambaran besar ini diperoleh inovator dari pemikiran tentang kebutuhan kirim-berkirim dalam konteks potensi dan kendala zaman.

Selanjutnya, inovator memikirkan detil. Kegiatan-kegiatan pos, khususnya di kantor pos, harus ditunjang dengan inovasi benda-benda khas. Maka kita pun mengenal “benda-benda pos”: amplop, blangko, perangko, “palu” cap, motor/mobil pos, kantong pos, bis surat, dll. Benda-benda itu tercipta menurut apa yang dimungkinkan oleh teknologi zaman.

Dan inovator selalu berpikir lebih lanjut—tidak jumud dan puas saja dengan apa yang ada, tapi tanggap menyikapi perubahan zaman. Itulah sebabnya sejarah kantor pos diwarnai oleh temuan-temuan seperti perangko dan kode pos atau reformasi Rowland Hill.3 Itulah sebabnya layanan pos AS membuka halaman inovasi untuk “meningkatkan produk dan layanan.”

Hari ini, era digital menyodorkan tantangan tersendiri bagi kantor pos dan layanan pos, karena surel dan ponsel sangat mengurangi pengiriman surat. Di saat seperti inilah inovator dan inovasi membuldoser jalan untuk memecahkan masalah. Layanan-layanan pos Eropa, contohnya, “dari Jerman sampai Swedia sampai Swiss telah mencipta ulang diri mereka selama dasawarsa lalu sebagai perusahaan-perusahaan pengantaran dan informasi yang multisegi dan disesuaikan dengan zaman virtual.”4

Inovasi memang senantiasa bertarung dengan zaman, dan para inovator adalah kesatria-kesatrianya yang bersenjatakan pemikiran kreatif. Di Indonesia kita kerap menyaksikan sarana-sarana—tempat wisata, penerbitan, kantor pos, dll.—tampak ketinggalan zaman jika dibandingkan dengan tandingannya di negara-negara maju. Mengapa? Karena cara pikir inovator tidak/kurang ditempakan pada bangsa. Mental dan etos kerja kita pun tidak menunjang geliat inovasi.

Alhasil bangsa kita cuma pandai meniru dan memungut inovasi bangsa-bangsa lain. Itu pun sering dengan mutu yang kalah. Dan kita jadi tertinggal, karena tatkala suatu inovasi mereka berhasil kita kuasai, mereka sudah punya inovasi lain lagi yang menjawab tantangan zaman.

Kita harus menamatkan kinerja buruk itu. Kita harus sadar bahwa inovasi, yang tak dapat tidak berkaitan dengan berpikir dan cara pikir, menunjukkan harkat manusia sebagai makhluk berakal dan ciptaan termulia seturut ajaran agama. Karena bangsa Indonesia sangat beragama, sepatutnyalah inovatif jadi karakter kita dan inovasi kita apresiasi sebagai penyemarak hidup. Tengoklah, misalnya, bagaimana perangko jadi benda koleksi berharga, pak pos jadi profesi berjasa besar bagi masyarakat, dan bis-bis surat jadi penghias pojok-pojok kota.

Tahun demi tahun bangsa kita harus makin baik dalam menempa cara pikir inovator. Dan setiap kali kita masuk kantor pos, baiklah kita ingat bahwa di balik semua yang terlihat ada inovasi yang bertarung dengan zaman demi memenuhi kebutuhan manusia.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Halaman “Innovations” dalam situs United States Postal Service. <https://about.usps.com/transforming-business/innovations.htm>.

2 “United States Postal Service: Pioneering innovative mail services” dalam situs Accenture Consulting. <https://www.accenture.com/us-en/success-usps-innovative-mail-services-summary.aspx>.

3 Rowland Hill adalah tokoh Inggris yang mereformasi sistem pos di zamannya yang “mahal, membingungkan, dan dipandang korup.” Di tahun 1837 Ia menerbitkan pamflet Post Office Reform: Its Importance and Practicability (“Reformasi Kantor Pos: Pentingnya dan Keterpraktikannya”) yang “terbukti berpengaruh, akhirnya menuntun kepada perkenalan perangko pertama di dunia, Penny Black, di tahun 1840.” Lihat “Rowland Hill’s Postal Reforms” dalam blog The British Postal Museum and Archives. <https://postalheritage.wordpress.com/2009/08/21/rowland-hill%E2%80%99s-postal-reforms/>. Reformasi Hill berdampak mendunia.

4 Elisabeth Rosenthal. “Reinventing Post Offices in a Digital World” dalam situs The New York Times. <http://mobile.nytimes.com/2011/10/31/world/europe/deutsche-post-reinvents-services-in-a-digital-world.html?referer=>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *