Dialog Orang Tua-Anak: Persiapan Terjun ke Tengah Masyarakat

Oleh Lasma Panjaitan

“Aku tidak mau ikut tes CPNS!” kata Jelita setengah berteriak sambil berjalan ke teras belakang. Ibunya terdiam. Ruang makan tiba-tiba menjadi hening. Selama beberapa menit mereka telah berdialog tentang rencana Jelita selepas kuliah. Lalu suasana mendadak berubah jadi tidak nyaman ketika perbedaan pendapat timbul.

Sedari tadi Pak Bedaru mendengarkan perbincangan istri dan anaknya dari ruang lain. Buntu lagi dialog mereka kali ini, pikirnya. Ia memutuskan untuk menghampiri putri sulungnya di teras belakang.

“Kenapa lagi kamu dengan ibumu? Kalau berkomunikasi, janganlah cepat terbawa emosi. Harus bisa berdiskusi dengan kepala dingin.”

“Ini sudah kesekian kalinya kami berdebat, Yah. Aku sudah malas mengobrol dengan ibu.”

“Lalu apakah persoalan jadi terselesaikan dengan marah? Kemarahan tidak akan membantu kita menemukan titik temu dengan lawan bicara.”

“Aku merasa dialog dengan ibu tidak berjalan baik. Tidak tercipta ruang diskusi yang nyaman di antara kami. Ibu tidak mau mendengarkan penjelasanku dan bersikeras dengan pendapatnya. Beberapa kali ibu malah memotong perkataanku. Padahal ini kan tentang hidupku, Yah. Aku yang akan menjalaninya, bukan ibu.”

“Itu benar,” kata Pak Bedaru dengan tenang. “Jadi, yang kita butuhkan adalah dialog yang baik, bukan? Apakah kamu juga sudah mendengarkan ibumu dengan baik?”

“Tidak, Yah.” Jelita menundukkan kepala. “Kami sama-sama tidak mau mendengarkan.”

“Menurutmu, sikap apa yang sebaiknya kita miliki ketika hendak berdialog?”

“Sikap mau mendengar, Yah.”

“Betul. Dialog itu bukan hanya soal menyampaikan pendapat kepada lawan bicara tapi juga soal mendengarkan pendapat dari lawan bicara. Saat mendengar kita bisa memahami sebaik-baiknya apa yang disampaikan oleh lawan bicara. Menurutmu lagi, selain mau mendengar, sikap apa yang perlu kita miliki untuk berdialog?”

“Sikap menghargai lawan bicara, entah ia lebih tua atau lebih muda.” Kepala Jelita tegak kembali.

Pak Bedaru tersenyum dengan mata berbinar-binar. “Coba kamu jelaskan kepada Ayah.”

“Menghargai lawan bicara berarti mau mencoba melihat dari sudut pandangnya. Orang bisa mempunyai sudut pandang yang berbeda ketika melihat suatu persoalan. Sebagai contoh, ibu akan melihat persoalan dari sudut pandang orang tua—berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. Aku akan melihatnya dari sudut pandang anak. Memang pengetahuan dan pengalamanku lebih sedikit, tapi tentu perkembangan zaman juga jadi faktor yang berpengaruh.”

“Wah, kamu sudah memaparkannya dengan baik, Nak,” puji Pak Bedaru sambil tertawa. “Karena itulah dialog dalam keluarga perlu dibangun, khususnya di antara orang tua dan anak. Bayangkan kalau di rumah saja kita tidak terbiasa berdialog. Bagaimana kita akan pandai membangun komunikasi di luar rumah?”

“Iya, benar juga. Jika berdialog di rumah saja aku tidak bisa, bagaimana lagi ketika aku terjun ke tengah masyarakat? Bisa-bisa aku gagap berkomunikasi.”

“Nah, keluarga adalah tempat kita melatih banyak kecakapan, di antaranya kecakapan berdialog atau berkomunikasi, sebelum kita menghadapi hal-hal yang lebih besar di luar sana. Rumah adalah tempat kita membiasakan diri menyampaikan dan mendengarkan pendapat. Orang tua adalah rekan belajar anak.”

“Indah sekali kedengarannya, Yah.” Jelita sudah bisa tersenyum sekarang.

“Ketika kita mampu berdialog di ruang kecil, besar kemungkinan kita akan mampu melakukannya juga di ruang yang lebih besar. Kebiasaan baik berdialog sangat berguna di tengah masyarakat. Entah orang bekerja sebagai pengajar, pedagang, atau pejabat, dialog akan menolong mereka mendapatkan titik temu dan pemecahan masalah di bidang masing-masing. Dampaknya luas bagi kesejahteraan masyarakat.”

“Makin indah saja kedengarannya, Yah.” Jelita tampak makin tenang.

“Maka ayo kita coba lagi,” ujar Pak Bedaru penuh semangat. “Ayah yakin ibumu masih menunggu di dalam. Kalau pun malam ini belum ada hasil yang memuaskan, tidak masalah. Kita berdialog lagi besok.”

“Kali ini Ayah ikut sertalah,” pinta Jelita. “Berbeda dengan ibu, Ayah kan tidak berkeberatan aku ikut tes CPNS atau tidak. Biar Ayah ‘menengahi’ kalau-kalau kami—khususnya aku—terbawa emosi.”

“Boleh, dengan senang hati.”

Dengan rasa lega keduanya pun melangkah ke ruang makan.

.

Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *