Oleh S.P. Tumanggor
“‘Pentingnya Dialog Antara Rohaniwan dan Jemaat.’ Bagus juga topik yang kalian angkat ini. Kreatif, menurut saya idenya kreatif dan unik.”
Gelagah tertawa kecil mendengar apresiasi Pak Belantik, rohaniwan paruh baya yang duduk di hadapannya. Ia telah meminta waktu kepada sang rohaniwan untuk bercakap-cakap tentang topik itu guna menyusun tulisan pengisi buletin persekutuan mahasiswa Kristen di kampusnya. Maka siang itu ia menemui Pak Belantik di kantor gerejanya.
“Terima kasih, Pak. Kami memang ingin mengangkat topik-topik yang tidak biasa tapi penting dan relevan. Dan menurut kami, dialog rohaniwan-jemaat sangatlah penting bagi kehidupan bergereja.”
“Bukan hanya bagi kehidupan bergereja, tapi juga bagi kehidupan bermasyarakat.”
Mata Gelagah berbinar-binar. “Memang tepat saya datang kepada Bapak,” ujarnya penuh semangat. “Saya setuju sekali. Sekarang, mohon Bapak menerangkan makna penting itu.”
Pak Belantik tersenyum lebar, terkesan oleh sikap sang mahasiswa. “Yah, dialog itu kan percakapan antara dua pihak—atau pertukaran pikiran antara dua pihak. Lewat dialog pemahaman bisa dibangun, masalah bisa dipecahkan, titik temu bisa dicapai, gerak bersama bisa dirumuskan.”
“Bapak memandang bahwa dialog bertujuan.”
“Benar. Dan saya memandang dialog rohaniwan-jemaat dalam rangka tujuan besar keberadaan Gereja. Gereja, yaitu Anda dan saya, hadir di bumi untuk bersaksi tentang kabar baik bahwa ‘Allah mendamaikan dunia—manusia berdosa dan alam semesta yang terdampak dosa—dengan diri-Nya oleh Kristus.’1 Kesaksian ini berkaitan dengan hidup bergereja dan bermasyarakat.”
“Itu mendasar sekali.” Gelagah menghenyakkan badan ke sandaran kursi.
“Mendasar sekali. Anda masih tahu lagu lawas ‘Jika Padaku Ditanyakan’? Sepotong liriknya mengatakan, ‘Aku bersaksi dengan …’”
“‘… kata, tapi juga dengan karya.’”2 Gelagah menyambut perkataan Pak Belantik. “Itu berarti umat Kristen harus bersaksi tentang kabar baik bukan cuma dengan kata-kata tapi juga dengan karya di segala bidang kehidupan, karya-karya baik yang mengatasi dampak dosa.”
“Anda bukan mahasiswa teologi,” kata Pak Belantik dengan mata berkilat-kilat, “dan Anda fasih menuturkan hal-hal ini?”
“Berkat beberapa buku bagus yang saya baca di waktu senggang, Pak.” Gelagah mencengir. “Nah, di mana, Pak, dialog rohaniwan-jemaat masuk dalam rangka tujuan besar itu?”
“Rohaniwan dan jemaat, selaku komponen Gereja, harus mengejar tujuan besar tadi dengan Kitab Suci sebagai pedomannya. Maka di antara rohaniwan dan jemaat harus terjadi dialog seputar isi Kitab Suci, supaya bisa dibangun pemahaman bersama tentang hal-hal yang patut dikerjakan di tengah masyarakat.”
“Tapi di gereja-gereja secara umum monologlah yang sering diterapkan. Rohaniwan menyampaikan tafsiran dan pengajaran, jemaat cuma menerimanya.”
“Monolog seharusnya didampingi oleh dialog. Perlu ada forum lain di mana rohaniwan dan jemaat bisa mendialogkan isi Kitab Suci secara leluasa, tanpa jemaat merasa sungkan terhadap ‘keilmuan’ rohaniwan. Di situlah rohaniwan bisa mengetahui sedalam apa jemaat memahami Kitab Suci. Bahkan di situlah juga rohaniwan bisa dikoreksi jemaat jika perilaku atau pandangannya tak selaras dengan Kitab Suci.”
“Wah,” seru Gelagah takjub, “ide Bapak inovatif sekaligus revolusioner.”
“Hahaha, barangkali ya,” sahut Pak Belantik merendah. “Tapi tentu saja dialog rohaniwan-jemaat perlu mencakup pula isu-isu pergumulan pribadi dan komunal. Gonjang-ganjing keluarga, sengketa di antara sesama warga gereja, usulan tentang tata ibadah atau pemanfaatan uang persembahan, dan lain-lain—semua bisa didialogkan untuk mencari pemecahan masalah atau titik temu. Dengan demikian, gerak Gereja untuk bersaksi dengan kata dan karya di dunia tidak terintangi dari dalam.”
“Jadi, damai sejahtera di dalam membantu pembawaan damai sejahtera ke luar. Jelaslah sudah makna penting dialog rohaniwan-jemaat bagi kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Terima kasih, Pak. Semua itu ide bagus untuk menyusun tulisan.”
“Terima kasih juga. Mudah-mudahan bermanfaat. Dan, hei, kita ini sedang mempraktikkan dialog rohaniwan-jemaat.”
“Ya.” Gelagah tertawa girang. “Saya senang berdialog dengan Bapak, antara lain karena Bapak bukan hanya berbicara kepada saya tapi juga menyimak saya. Kita seperti sahabat yang bertukar pikiran.”
“Ha, itulah arti dialog, bukan?”
Dan dialog mereka pun masih berlanjut hingga petang—dalam suasana bersahabat yang hangat.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 2 Korintus 5:19
2 A. Simanjuntak. “Jika Padaku Ditanyakan,” lagu nomor 432 dalam Kidung Jemaat dan Pelengkap Kidung Jemaat/karya Yamuger. Jakarta: Yayasan Musik Gereja Indonesia, 2013.