Oleh Stefani Krista
Taman Kanak-kanak (TK) tempat saya dulu belajar dan bermain di Rengat, Riau, memiliki taman sekolah yang indah. Di taman itu ada pondok-pondok mungil, jalan-jalan kecil dengan rambu-rambu lalu lintas, dan bunga-bunga yang indah. Tak heran capung senang hinggap di sana dan kami, anak-anak TK, senang menangkapinya. Setelah menangkap capung dengan tangan kosong, kami merobek sayapnya—agar ia tidak bisa terbang lagi. Lalu kami saling memamerkan keindahan capung tangkapan kami.
Beranjak dewasa, saya menyadari bahwa tidaklah baik kegiatan yang dulu kami rasa menyenangkan itu. Kami tertawa-tawa, sementara capung-capung malang itu kehilangan sayap dan tidak bisa terbang lagi. Padahal untuk memiliki sayap indahnya capung mengalami proses perubahan wujud secara bertahap dan tidak sebentar yang disebut metamorfosis.
Metamorfosis capung dimulai dari telur hasil perkawinan capung jantan dan betina. Telur menetas menjadi nimfa yang tidak bersayap. Nimfa ini mengalami pergantian kulit yang bisa sampai 12 kali. Pergantian kulit terakhirnya menghasilkan sosok capung muda dengan sayap belum berkembang dan bagian tubuh belum sempurna. Beberapa waktu kemudian, barulah ia menjadi capung dewasa yang indah dan sempurna.1
Dalam kekristenan, saya menemukan pula suatu metamorfosis. Dulu, menurut Alkitab, leluhur pertama manusia berdosa karena melanggar perintah Allah di Taman Eden. Sejak saat itu manusia memiliki tabiat berdosa yang mengakibatkan kerusakan dan kebinasaan. Untuk menolong manusia dari kondisi ini, Allah menyediakan jalan keluar berupa metamorfosis batin.
Metamorfosis batin bisa dialami oleh siapa saja yang beriman bahwa Kristus adalah utusan Allah yang mati disalib dan bangkit kembali demi menebus dosa manusia—peristiwa-peristiwa yang diperingati umat Kristen sebagai Jumat Agung dan Paskah. Lewat iman kepada Kristus, siapa saja bisa menjadi manusia baru dengan tabiat baru yang tak lagi menggemari dosa. Ia, seperti kata Alkitab, “mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kol. 3:10).
“Manusia baru” bukanlah manusia sempurna yang tidak bisa berdosa lagi. Ia masih bisa berdosa, hanya saja ia tidak lagi suka berbuat dosa. Tabiat barunya menjadikannya begitu, dan mendorongnya mengembangkan sifat-sifat baik, pikiran-pikiran baik, dan perbuatan-perbuatan baik. Seperti nimfa yang tak dapat terbang berubah menjadi capung yang terbang bebas di udara, demikianlah ia yang semula terjajah oleh dosa berubah menjadi manusia merdeka yang suka mengerjakan kebaikan.
Ia “terus-menerus diperbaharui” Allah kepada taraf kedewasaan sebagai manusia baru, yakni “untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya.” Ya, ia akan bertumbuh untuk semakin mengetahui/memahami hal-hal benar yang mencerminkan “gambar” atau citra Allah, Khaliknya. Tak hanya tahu/paham, ia pun meneladani citra itu.
Karena Allah mahakasih, manusia baru juga suka mengasihi dan menolong sesamanya. Karena Allah mahaadil, manusia baru juga suka menjunjung tinggi keadilan dan benci kepada penindasan, korupsi, kecurangan. Demikianlah metamorfosis batin mengubahnya ke dalam kemiripan dengan Allah, yang mahabaik, sehingga ia juga suka berbuat baik. Dan perbuatan baiknya nyata dalam bidang pekerjaannya di tengah masyarakat.
Jika ia hakim, ia akan menegakkan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. Jika ia seniman, ia akan menghadirkan karya seni yang memberkati sesama dengan nilai-nilai kebaikan. Jika ia pejabat publik, ia akan bekerja demi kesejahteraan masyarakat, bukan demi kesejahteraan pribadi atau kelompoknya semata. Seperti capung yang kehadirannya menandakan adanya aliran air yang tidak tercemar dalam ekosistem,2 demikianlah kehadiran manusia baru menandakan adanya karya-karya baik, luhur, bersih yang bermanfaat bagi dunia.
Dewasa ini saya masih menangkap capung. Bukan lagi dengan tangan kosong untuk merobek sayapnya seperti di masa TK, tetapi dengan kamera digital. Saya masih suka menikmati keindahan makhluk hasil metamorfosis ini—sambil menanti hari ketika manusia baru berubah menjadi manusia sempurna pada waktu Kristus datang kembali ke dunia.
.
Stefani adalah seorang karyawan swasta yang tinggal di Rengat, Riau.
.
Catatan
1 “Metamorfosis Capung: Metamorfosis Tidak Sempurna” dalam situs Belajar Biologi. <http://belajarbiologi.com/2014/11/metamorfosis-capung-metamorfosis-tidak-sempurna.html>.
2 Lihat “Capung Kendeng Penanda Air Kehidupan” dalam situs Kompas. <http://sains.kompas.com/read/2014/01/03/1731319/Capung.Kendeng.Penanda.Air.Kehidupan>.