Oleh Efraim Sitinjak
Semasa kecil di Sidikalang, Sumatera Utara, saya dan teman-teman suka bermain adu kumbang tanduk. Kami biasa mendapatkan kumbang-kumbang tanduk “jagoan” kami dari dahan-dahan pohon atau pohon-pohon tumbang. Meskipun arenanya hanya seluas kotak sepatu, pertarungan mereka sangat menarik untuk disaksikan. Kumbang-kumbang itu akan saling menanduk, mengangkat, dan membanting dengan tanduk mereka yang unik dan kuat.
Hanya kumbang jantanlah yang bertanduk. Tanduk itu pun tumbuh pada masa dewasanya, setelah ia mengalami proses perubahan bentuk, yakni metamorfosis. Dari telur, ia menetas sebagai larva lalu memasuki kepompong untuk keluar sebagai kumbang tanduk.1 Tentulah wujud si kumbang tanduk sangat berbeda dengan wujud larvanya. Dalam wujud larva, ia lemah, tak bersayap, tak bertanduk. Dalam wujud kumbang tanduk, ia begitu gagah dengan sayap dan tanduk yang mantap.
Hidup manusia, menurut ajaran Kristen, bisa mengalami metamorfosis juga. Namun, jika metamorfosis kumbang tanduk merupakan perubahan wujud fisik, maka metamorfosis manusia merupakan perubahan “wujud” mental dan cara pikir. Sebagai keturunan Adam, kita adalah “manusia lama” yang tak berdaya dijajah kuasa dosa. Tetapi lewat iman, “manusia lama” kita bisa turut mati seiring kematian Yesus Kristus, yang diperingati sebagai hari Jumat Agung. Dan seiring kebangkitan Kristus, yang diperingati sebagai hari Paskah, kita bisa bangkit kembali menjadi “manusia baru.”
Ide itu dikemukakan Rasul Paulus dalam Roma 6:4: “[K]ita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” Seperti larva kumbang “mati” terhadap wujud lamanya (di dalam kepompong) dan “bangkit kembali” dalam wujud baru sebagai kumbang tanduk, demikianlah kita—oleh kuasa Allah (“Bapa”) dan melalui iman kepada Kristus—mati terhadap manusia lama dan dibangkitkan sebagai manusia baru, “dalam hidup yang baru.”
Hidup baru itu punya kesejajaran pula dengan “hidup baru” kumbang tanduk. Sebagai hasil metamorfosis, kumbang tanduk diperlengkapi dengan tanduk untuk bertarung dan sayap untuk berjelajah luas. Manusia baru pun diperlengkapi dengan mental baru yang berbeda dengan mental lama dan cara pikir baru yang mewawas segala yang baik dan benar.
Pada kumbang tanduk, tanduknya adalah perlengkapan kuat yang mampu mengangkat beban sangat berat—sampai 850 kali bobot badannya sendiri.2 Tanduk itu pun digunakannya untuk bertarung dengan kumbang lain guna mempertahankan daerahnya.3 Pada manusia baru, mental baru memampukannya mengerjakan hal-hal besar atas dasar iman, pengharapan, dan kasih. Olehnya ia pun mampu “bertarung” demi mempertahankan hal-hal baik.
Hal-hal besar dan baik itu dikerjakan di semua bidang kehidupan dengan perhatian penuh kepada kemaslahatan sesama dan lingkungan serta komitmen tinggi untuk memperjuangkan/mempertahankan kebenaran. Dalam hidup yang lama, ia mungkin saja hanya memikirkan kepentingan sendiri, tak memusingkan kerugian sesama atau kerusakan lingkungan, bekerja tanpa mutu atau pengabdian, enggan bergiat demi kebenaran. Metamorfosis mental menolongnya menang atas semua itu.
Pada kumbang tanduk, sayap adalah perlengkapan hebat untuk bergerak dengan lincah dan gesit. Dengannya ia dapat terbang menjelajah dari pohon yang satu ke pohon yang lain, membawa dirinya ke mana-mana. Pada manusia baru, cara pikir baru mampu membawanya bergerak lincah dan gesit dalam karya-karya baik di dunia. Ia pun memiliki wawasan tentang apa yang terbaik dan diperlukan dalam pekerjaan yang digelutinya.
Oleh cara pikir dan wawasan itu ia bisa luwes berjejaring dengan banyak pihak untuk membangun peradaban dan menanggulangi hal-hal yang merusak masyarakat. Dalam hidup yang lama, ia mungkin saja lamban berkarya, berpikiran sempit, penuh prasangka kepada sesama, bahkan senang bertikai karena perbedaan. Metamorfosis cara pikir menguatkannya melawan semua itu.
Terakhir kali saya melihat kumbang tanduk adalah di pepohonan kampus semasa berkuliah di Kota Bandung. Saya tidak lagi mengambil mereka untuk jadi “jagoan” adu kumbang. Saya hanya takjub memandangi sosok dan tanduk mentereng mereka. Seperti itu pulalah saya takjub menyaksikan dan mengalami metamorfosis manusia ke dalam “hidup yang baru.”
.
Efraim adalah seorang pegawai lembaga bantuan kemanusiaan yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 “Asian Longhorned Beetle Life Cycle” dalam situs Orkin. <http://www.orkin.com/other/beetles/asian-long-horned-beetles/asian-long-horned-beetle-life-cycle/>.
2 “Rhinoceros Beetle” dalam situs Animal Corner. <https://animalcorner.co.uk/animals/rhinoceros-beetle/>.
3 “Rhinoceros Beetle” dalam situs Encyclopaedia Britannica. <http://www.britannica.com/animal/rhinoceros-beetle-insect-subfamily>.