Oleh S.P. Tumanggor
“Kuku jurig!” seru teman-teman saya semasa kecil di Kuningan, Jawa Barat, ketika kami melihat beberapa titik cahaya melayang dan berkelap-kelip di udara senja. Kuku jurig adalah istilah bahasa Sunda yang berarti “kuku hantu.” Julukan bernada seram dan gaib ini diberikan kepada sumber cahaya kelap-kelip yang memang ajaib itu—serangga kunang-kunang.
Bukan hanya kami, banyak orang sejak dulu hingga kini telah terpukau oleh keajaiban kunang-kunang. Keterpukauan ini memunculkan mitos seperti “kuku hantu” (atau “kuku orang mati”) ataupun menemukan, lewat penelitian ilmiah, zat lusiferin di perut serangga terbang bersinar itu yang membersitkan cahaya sewaktu bersentuhan dengan oksigen.1
Untuk menjadi serangga terbang bersinar, kunang-kunang harus melalui proses metamorfosis alias peralihan wujud. Dari wujud telur ia beralih kepada wujud larva lalu beralih kepada wujud kepompong lalu beralih kepada wujud dewasa. Walau dalam wujud larva ia sudah bercahaya (bahkan dalam wujud telur pada spesies tertentu), sungguh berbeda wujud dewasanya dengan segala wujud terdahulunya!2
Metamorfosis kunang-kunang, bagi saya, mengumpamakan secara rancak metamorfosis batin manusia dalam ajaran Kristen. Alkitab mengungkapkan bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah sehingga ia punya citra ilahi dalam dirinya. Ia seperti kunang-kunang yang sudah bercahaya sejak wujud telur. Namun, karena dosa, citra ilahi dalam dirinya rusak sehingga ia bisa melakukan hal-hal buruk. Ia menjadi seperti larva kunang-kunang yang, meski bercahaya, suka memangsa serangga lain bahkan siput dan cacing.3
Rusaknya citra ilahi tak dapat diperbaiki dengan sekadar menjalankan kewajiban agama. Rasul Paulus menandaskan, “[B]ersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya” (Gal. 6:15). Bagi orang Yahudi seperti Paulus, sunat adalah kewajiban agama yang mengesahkan keanggotaannya sebagai umat Allah. Tapi Paulus paham bahwa sekadar ibadah lahiriah tidak mampu memulihkan citra ilahi. Manusia harus mengalami perubahan tabiat oleh kuasa Allah sehingga citra ilahi dalam dirinya dipulihkan.
Itulah metamorfosis batin manusia dalam ajaran Kristen. Manusia berdosa, dengan citra ilahi yang rusak, bagai larva kunang-kunang yang menghasilkan kerusakan di dunia, karena tabiatnya memang buruk. Namun, Allah menggelar peristiwa Jumat Agung dan Paskah—kematian dan kebangkitan Yesus Kristus—untuk menaklukkan kuasa dosa. Maka siapa saja yang mengimani karya penebusan Kristus akan diubah Allah menjadi “ciptaan baru,” yakni diberi tabiat baru yang berdaya melawan dosa. Ia bagai kunang-kunang dewasa yang tabiatnya berubah sehingga hanya menyantap tepung sari dan nektar.4
Jelas perubahan tabiat itu—atau “menjadi ciptaan baru”—sangat layak disebut “ada artinya.” Dengannya manusia bisa berperangai tidak berbahaya/merugikan lagi bagi sesama dan alam semesta. Ciptaan baru, sebagaimana dikemukakan Alkitab, memang bukan manusia yang sudah suci sempurna. Ia tetap bisa berdosa, namun tabiat barunya tak lagi suka berdosa dan senantiasa mendorongnya kepada pertobatan. Jika ia berserah penuh kepada Allah, ia akan terus bertumbuh dalam kebaikan dan kebenaran hingga akhir hayatnya di bumi. Ini sungguh “ada artinya”!
Tak lagi suka berdosa, ciptaan baru suka berbuat baik. Buah tabiat barunya adalah pekerjaan baik—hal yang dihasratkan Allah dan yang berfaedah bagi sesama dan alam semesta. Laksana kunang-kunang berdaya jelajah lebih besar daripada larva karena bersayap, demikianlah ia lebih bisa menghasilkan pengabdian/pengorbanan besar dan karya besar yang berdampak luas daripada “ciptaan lama” yang sering kalah oleh rundungan keegoisan, kemalasan, ketidakjujuran, dsb. Dan laksana kawanan kunang-kunang mampu menyinkronkan sinar untuk menampilkan pertunjukan cahaya hebat di dunia pada malam hari,5 demikianlah para ciptaan baru bisa bergotong royong melawan kekorupan dan kerusakan sambil mengembangkan dan mempertontonkan kejujuran, kecakapan, kekreatifan di segala lapangan kehidupan.
Dunia yang suram oleh kesakitan, malapetaka, dan ketidakadilan pastilah merindukan pertunjukan cahaya berupa pekerjaan baik itu. Dan memang untuk itulah Allah menggelar “program” metamorfosis-Nya di dunia. Ia ingin manusia menjadi ciptaan baru yang mengerjakan hal-hal baik. Jadi, menimbang segala perumpamaan elok di atas, saya pikir mungkin sudah waktunya kunang-kunang tak lagi disebut “kuku hantu” tapi “kuku Tuhan.”
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Melissa Breyer. “Fireflies! 12 things you didn’t know about lightning bugs” dalam situs Mother Nature Network. <http://www.mnn.com/earth-matters/animals/stories/fireflies-12-things-you-didnt-know-about-lightning-bugs>.
2 Debbie Hadley. “Life Cycle of Fireflies and Lightning Bugs” dalam situs About. <http://insects.about.com/od/beetles/p/Life-Cycle-Of-Fireflies-And-Lightning-Bugs.htm>.
3 Debbie Hadley, “Life Cycle of Fireflies and Lightning Bugs.”
4 “Firefly (Lightning Bug)” dalam situs National Geographic. <http://animals.nationalgeographic.com/animals/bugs/firefly/>.
5 Debbie Hadley. “10 Fascinating Facts About Fireflies” dalam situs About. <http://insects.about.com/od/beetles/a/10-Cool-Facts-About-Fireflies.htm>. Hadley menyebutkan pula bahwa pertunjukan cahaya macam itu hanya terjadi di dua tempat di dunia: Asia Tenggara dan Taman Nasional Great Smoky Mountains di Amerika Serikat.