Oleh Paul Sagajinpoula
Namanya Ronny Surjomartono alias Ronny Marton. Kakek tujuh cucu ini adalah salah satu mantan mahasiswa ikatan dinas (mahid) era Presiden Sukarno yang pernah berkuliah di Praha, Cekoslowakia. Berharap dapat pulang dan berkarya bagi tanah air tercinta, apa daya impiannya dipupuskan oleh pergolakan politik Indonesia pada tahun 1965. Peristiwa pilu itu memaksa Ronny hidup di Praha hingga saat ini.1
Ronny menjadi satu dari sekian banyak mahid yang tidak dapat kembali ke tanah air setelah dikirim bersekolah ke luar negeri pada tahun 1960-an. Tadinya mereka dikerahkan Sukarno untuk pergi menimba ilmu moderen di mancanegara lalu pulang dan menjadi pegawai pemerintah (sehingga disebut mahasiswa “ikatan dinas”). Kini mereka harus terdiaspora, yakni tersebar jauh dari tanah kelahiran, di negeri-negeri seperti Ceko, Rumania, Rusia, Tiongkok, Albania, dll.2
Kejatuhan rezim Sukarno di tahun 1965 adalah penyebabnya. Rezim penggantinya, yakni rezim Orde Baru (Suharto), mencabut status mereka sebagai warga negara Indonesia karena menganggap mereka sebagai antek-antek rezim lama. Komunikasi mereka dengan keluarga terputus total. Impian mereka untuk pulang ke negeri sendiri dibuyarkan. Ilmu mereka tak dapat dibaktikan bagi tanah air. Sungguh memilukan.
Meski memilukan, kisah para mahid pun menggugah jiwa kita, orang Indonesia pada umumnya, paling tidak dalam dua hal penting. Pertama, kisah mereka adalah kisah tentang semangat belajar yang patut diacungi jempol. Tak dapat dipungkiri, semangat belajar para mahid dilecut oleh idealisme Sukarno yang begitu berapi-api untuk memajukan Indonesia. Idealisme ini mereka tangkap sehingga dengan semangat tinggi mereka pergi belajar ke luar negeri demi kemajuan tanah air.
Jumlah mereka yang tidak sedikit membuktikannya. Di mata mereka, tanah air Indonesia adalah seperti lahan pesawahan subur yang menanti digarap oleh para “petani” muda yang penuh pengabdian. Semangat belajar untuk sekadar memperoleh ijazah atau nafkah—yang lazim kita jumpai di antara generasi sekarang—jauh dari angan mereka.
Kedua, kisah mereka adalah kisah tentang etos kerja/prestasi yang patut diapresiasi dan diteladani. Meskipun tinggal di tanah air baru dan terpisah jauh dari kaum keluarga, para mahid tetap menunjukkan kinerja yang sebaik mungkin. Mereka tidak mau hanya berlarut-larut dalam kesedihan dan meratapi nasib. Mereka berbakti kepada negeri mereka yang baru dan menyumbangkan karya-karya luhung sebagai ahli nuklir, ahli kimia, dll.3
Kita patut kagum akan kiprah sukses para mahid. Bambang Soeharto, misalnya, adalah orang non-Jerman pertama yang berhasil menjabat sebagai direktur Deutche Welle TV, televisi nasional Jerman. Selain itu, ada juga Tom Ilyas, yang pernah duduk di jajaran eksekutif Scania, perusahaan otomatif Swedia.4 Ronny Marton sendiri menjadi penyanyi dan penulis lagu-lagu berbahasa Ceko.5 Prestasi mereka seharusnya menjadi ilham bagi kita—yang masih tergolong lemah dalam hal etos kerja—untuk menggenjot kinerja baik bagi bangsa.
Semangat belajar dan etos kerja mereka lahir dari cinta kepada tanah air Indonesia. Cinta itu telah membubungkan idealisme mereka untuk menuntut ilmu di negeri jauh demi memajukan Indonesia di berbagai bidang. Cinta itu pun membuat jiwa raga mereka masih merindukan Indonesia di kejauhan. Tak heran banyak dari mereka berharap dapat dimakamkan di Indonesia.6
Tragedi 1965 telah mengguratkan kepiluan mendalam, tidak hanya bagi para mahid tapi juga bagi bangsa Indonesia secara umum. Kita telah menyia-nyiakan satu generasi emas yang siap membawa Indonesia melesat jauh dalam kemajuan. Seandainya pengganti rezim Sukarno saat itu bersikap lebih arif, mungkin saat ini kita sudah mengecap buah manis hasil panen raya pembangunan. Kisah pilu itu harus menjadi pembelajaran berharga untuk kita.
Tahun 1991 Ronny Marton akhirnya resmi menjadi warga negara Ceko. Puluhan tahun tinggal di Praha ternyata tak menjamin kemudahan untuk mendapatkan kewarganegaraan setempat. Kesulitan serupa pun dialami oleh para mantan mahid lainnya. Kini, di masa tua, melampaui segala kepiluan, Roni dan diaspora mantan mahid menitipkan kepada kita masa depan Indonesia yang harus dibentuk dengan kearifan—dan dengan semangat belajar serta etos kerja tingkat tinggi.
Catatan
1 Fadli Adzani. “Kisah Pilu Eksil 1965 yang Melatari ‘Surat dari Praha’” dalam situs CNN Indonesia. <http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160126110918-220-106688/kisah-pilu-eksil-1965-yang-melatari-surat-dari-praha/>.
2 Agustinus Shindu Alpito. “Pesan Eksil di Ceko untuk Generasi Muda Indonesia” dalam situs Metro TV News. <http://news.metrotvnews.com/read/2016/01/26/474787/pesan-eksil-di-ceko-untuk-generasi-muda-indonesia>.
3 Lihat “Cerita para Mantan Mahasiswa Indonesia Ikatan Dinas (MAMAHID) di hari Pahlawan” dalam situs Indonesia. <http://www.indonesia.cz/cerita-para-mantan-mahasiswa-indonesia-ikatan-dinas-mamahid-di-hari-pahlawan/>.
4 Priyo Handoko. “Catat Cerita Para Eksil yang Ingin Mati di Tanah Kelahiran” dalam situs JPNN.
<http://www.jpnn.com/m/news.php?id=69656>.
5 Fadli Adzani. “Kisah Pilu Eksil 1965 yang Melatari ‘Surat dari Praha.’”
6 Lihat Gin Gin Tigin Ginulur. “Pelarian Politik 65 Ingin Kembali Jadi WNI” dalam situs Okezone. <http://news.okezone.com/read/2010/08/03/337/359032/pelarian-politik-65-ingin-kembali-jadi-wni>.