Oleh Victor Samuel
Benua Afrika rasanya jauh sekali dari tanah air kita. Dari Indonesia, butuh waktu sehari lebih untuk mencapainya dengan pesawat terbang. Budaya dan bahasa penduduknya pun berbeda sekali dengan budaya dan bahasa kita. Namun, di negara Afrika Selatan ternyata hidup komunitas orang keturunan Nusantara, saudara-saudara seleluhur kita.
Di sana sudah empat abad lamanya mereka membentuk diaspora, yakni kelompok orang yang tinggal di luar tanah air asalnya. Karena bermukim di Cape Town dan semula berbahasa Melayu—bahasa pengantar utama di Nusantara—mereka jadi dikenal sebagai orang Melayu Cape (baca: keip). Kisah diaspora mereka sarat dengan nilai-nilai luhur khas Nusantara, yang perlu kita rayakan dan hayati kembali. Setidaknya ada tiga yang sangat menonjol.
Pertama, ketangguhan dalam penderitaan. Kebanyakan cikal-bakal orang Melayu Cape adalah orang Jawa yang pada abad ke-16 diperbudak dan dipekerjakan di Cape Town oleh bangsa Belanda, penjajah Nusantara dan Afrika Selatan. (Waktu itu Belanda membangun Cape Town menjadi kota perdagangan penghubung Asia dan Eropa.) Sebagai budak, ada banyak peraturan yang menindas kemanusiaan mereka.1
Penderitaan mereka tidak kalah hebat dibanding penderitaan leluhur kita di Nusantara yang menjalani tanam paksa pada zaman Belanda atau menjadi romusa pada zaman Jepang. Namun, sebagaimana leluhur kita tangguh bertahan dan bersatu menembus masa penjajahan, orang-orang Melayu Cape pun tangguh bertahan dan tetap bersatu sampai masa perbudakan usai.
Kedua, kinerja hebat di tengah penindasan. Di antara orang Melayu Cape terdapat pemimpin-pemimpin Muslim Nusantara yang berkarya besar meskipun menjadi orang buangan. Ambil contoh Tuan Guru Imam Abdullah Kadi Abdus Salaam, pemimpin Muslim yang dibuang Belanda dari Tidore. Ia menulis karya teragungnya mengenai iman kepada kehendak Allah2 dan mendirikan madrasah untuk para budak dan bangsa kulit hitam yang telah menjadi Muslim. Buku dan pengajarannya membentuk falsafah kehidupan mereka dan keturunan mereka selama berabad-abad.3
Ada pula Sheikh Yusuf, pemimpin Muslim yang dibuang Belanda dari Makassar. Ia menjadi pemuka agama yang sangat berpengaruh di Cape Town dan berhasil mendirikan struktur-struktur sosial-agama bagi para budak. Ia menyemangati mereka yang dicerabut dari kampung halaman dan memulihkan martabat mereka. Ia juga menuliskan karya-karya sastra dalam tiga bahasa: Melayu, Bugis, dan Arab.4
Kinerja hebat mereka mengingatkan kita kepada pahlawan-pahlawan pendidikan Nusantara seperti Ki Hajar Dewantara, yang mendirikan Taman Siswa, sekolah bagi rakyat Jawa yang sebelumnya tidak berhak bersekolah.
Terakhir, keterbukaan terhadap perbedaan. Seperti orang Nusantara pada umumnya, orang Melayu Cape menghargai perbedaan dan hidup damai dengan umat beragama lain. Di Bo-Kaap, salah satu distrik Cape Town yang dihuni banyak orang Melayu Cape, pebisnis Wahab Ahmed, seorang Melayu Cape, berkata begini: “Kami adalah keluarga Muslim, tetapi kami senang hidup berdampingan dengan tetangga kami yang Hindu dan Kristen. Ada banyak toleransi beragama di Bo-Kaap dan juga keinginan untuk hidup bersama dalam harmoni dan saling berbagi kebudayaan.”5
Kita, orang Nusantara masa kini, mesti berkaca pada nilai-nilai luhur yang nyata dalam kisah diaspora Melayu Cape tersebut. Banyak permasalahan bangsa dapat kita atasi jika nilai-nilai tersebut kita hayati. Kita harus tangguh bertahan di dalam derita akibat ketertinggalan bangsa kita. Kita harus memiliki kinerja hebat di tengah “penindasan” berupa budaya korupsi di berbagai sektor. Kita harus terbuka terhadap perbedaan untuk menjaga kesatuan bangsa dan mengakhiri radikalisme agama serta perseteruan antargolongan.
Diaspora Melayu Cape memang terkesan jauh dari Indonesia. Meski berasal dari Nusantara, sekarang mereka sudah berbeda bangsa dengan kita. Bahasa Melayu pun hanya sedikit tersisa karena mereka sekarang menggunakan bahasa Afrikaans—sebuah turunan bahasa Belanda. Banyak di antara mereka bahkan menyangka bahwa mereka berasal dari Malaysia, bukan Indonesia.6 Namun, sebenarnya mereka dekat dengan kita, sebab apa lagi yang mampu membuktikan kedekatan batiniah kalau bukan persamaan nilai-nilai kehidupan?
.
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Michael Hutchinson. Bo-kaap: Colourful Heart of Cape Town. Cape Town: David Philip Publishers, 2006, hal. 25.
2 “The Cape Malay” dalam situs South African History Online. <http://www.sahistory.org.za/people-south-africa/cape-malay>.
3 “The Cape Malay,” South African History Online.
4 Michael Hutchinson, hal. 61.
5 Michael Hutchinson, hal. 33.
6 Hery Prasetyo. “Di Negera Mandela, Indonesia Sering Disalahtafsirkan” dalam situs Kompas. <http://internasional.kompas.com/read/2013/12/07/1818155/Di.Negeri.Mandela.Indonesia.Sering.Disalahtafsirkan>.