Oleh S.P. Tumanggor
Saya kira orang Peringgi/Barat adalah orang yang secara kolektif paling dapat berbangga atas tampilan fisik mereka di dunia hari ini. Betapa tidak? Berbagai filem, majalah, dan iklan kelas atas—gubahan mereka sendiri—berhasil mewacanakan raut tampan dan cantik khas mereka sebagai teladan (kalau bukan puncak) keeleganan jasmaniah bagi seantero jagat. Orang dari segala bangsa, termasuk Indonesia, ternyata terkesima dan menerima wacana itu. Alhasil tampang Peringgi mendunia.
Karena mendunia, orang Barat pun mendapat keenakan: tampang mereka dipuja bahkan diinginkan orang-orang lain, sedangkan mereka sendiri tidak memuja atau menginginkan tampang lain. Tampilan fisik mereka menjadi acuan atau bahkan pendikte tentang rupa yang patut dimiliki bangsa-bangsa.
Satu bukti untuk itu ialah boneka Barbie, yang menjadi “teladan bagi semua gadis mengenai rupa wanita cantik: tulang pipi tinggi; mata bulat besar tanpa kelopak tebal ala Asia; kulit aprikot Eropa-AS yang sama sekali tanpa cacat; dahi lebar dan dagu kecil; rambut panjang masa kini.” Walaupun sekarang ada Barbie berkulit hitam (atau kuning), “pada dasarnya ia masih Barbie ala Eropa hanya berkulit lebih gelap. Tidak ada wanita sungguhan dari keturunan Afrika atau Asia dengan bentuk atau fitur yang mendekati Barbie.”1
Dan anak-anak perempuan non-Eropa, termasuk anak saya, mengagumi kecantikan ala Peringgi yang dipancarkan Barbie. Mereka tidak sendirian, sebab orang dewasa pun turut terpesona. Ambil contoh Ricky Ma, perancang grafis asal Hongkong yang menarik perhatian dunia lewat robot humanoid wanita hasil kerja kerasnya selama 1,5 tahun dengan menghabiskan sekitar 50.000 dolar AS (650 miliaran rupiah). Alih-alih membuat robot bertampang wanita cantik Tionghoa, Ma membuatnya bertampang Scarlett Johansson.2 Enaknya tampang Barat dikagumi seperti itu!
Para jurugambar Jepang tak mau ketinggalan. Dalam komik (manga) dan filem kartun (anime), mereka suka sekali menggambar tokoh-tokoh Jepang dengan fitur Peringgi: postur tinggi, mata bulat, bola mata biru, rambut pirang. Siapa pun yang menyimak manga dan anime akan sulit menampik adanya pengidealan tampilan fisik keperinggian.3 Enaknya tampang Barat diidealkan seperti itu!
Pengidealan serupa memicu di Asia ledakan bedah plastik yang mengejar ciri-ciri lahiriah Peringgi. Dilaporkan bahwa “[w]anita di seluruh dunia mengikuti ideal-ideal Barat dengan pemutihan kulit di India, bedah hidung di Iran, dan Korea Selatan memimpin operasi bedah plastik terbanyak per kapita.”4 Seorang penulis RRT mengatakan, “Pemujaan Barat telah menjadi bagian buruk dari masyarakat Tiongkok selama berabad-abad, tapi belum pernah itu mewujud sedemikian jelas seperti dalam kesibukan mendadak untuk mengubah wajah kita demi mengidealkan fitur-fitur ras lain.”5 Enaknya tampang Barat dikejar-kejar seperti itu!
Di Indonesia sendiri, kita tahu, banyak orang merasa bangga kalau bisa menikah dengan “bule.” Mereka dengan enteng mendalihkan soal “memperbaiki keturunan.” Nanti anak-anak mereka, asalkan kental tampang Peringginya, mudah jadi bintang filem atau fotomodel di negeri kita. Enaknya tampang Barat dianggap memperbaiki tampang lain!
Bahwa tampang Peringgi mendunia, saya pikir bukan masalah. Yang jadi masalah adalah jika orang non-Peringgi, termasuk kita, begitu terpukau oleh tampang mereka sehingga memandang rendah/remeh tampang atau diri sendiri. Ini bisa menggerogoti kepercayaan diri, yang berdampak kepada kemajuan bangsa. Tidakkah seharusnya kita berbangga juga atas tampilan fisik khas kita karena tampilan fisik khas manapun adalah karunia Sang Pencipta?
Saya pikir sudah waktunya kita menunjukkan kepada dunia tampan dan cantik ala Indonesia. Kita punya kekayaan keeleganan jasmaniah khas Melayu, Jawa, Dayak, Rote, Minahasa, Maluku, Papua, dll. Kalau saja ada kecelikan, kemauan kuat, dan komitmen dari para produser filem, pegiat permajalahan, atau insan periklanan untuk menonjolkannya, kita bisa membuat wajah dunia jadi semarak (bukan dominan Peringgi saja) sekaligus mengokohkan kepercayaan diri bangsa dan membuang keinginan bodoh menjadi ras lain dengan menafikan fitrah diri.
Ya, kita perlu menduniakan tampang Indonesia juga. Tujuannya bukan untuk menjadikannya acuan atau pendikte tentang tampilan fisik terbaik, tapi untuk menyampaikan pesan kepada segala bangsa agar berbangga atas tampilan fisik khas masing-masing yang dikaruniakan Sang Pencipta.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Karen Lee-Thorp dan Cynthia Hicks. Why Beauty Matters. Colorado Springs, Colorado: NavPress, 1997, hal. 121.
2 Kara O’Neill. “Man builds ‘Scarlett Johansson’ robot from scratch to ‘fulfil childhood dream’ – and it’s scarily lifelike” dalam situs Mirror. <http://www.mirror.co.uk/news/weird-news/man-builds-scarlet-johansson-robot-7667715>.
3 Isu ini ramai diperbincangkan di internet. Lihat, misalnya, Brian Ashcraft. “Who’s White and Who’s Japanese in Anime: Once Again the Internet Compares” dalam situs Kotaku. <http://kotaku.com/5951750/whos-white-and-whos-japanese-in-anime-once-again-the-internet-compares>.
4 Sharon J. Yi. “How Beauty Teaches Minorities To Look More White” dalam situs Refinery 29. <http://www.refinery29.com/minority-beauty#page-3>.
5 Dari artikel “Why Asian Women Need to Say No to Eyelid Surgery” dalam majalah Monolid, sebagaimana dikutip Chris Stokel-Walker. “When Does Plastic Surgery Become Racial Transformation?” dalam situs Buzz Feed News. <http://www.buzzfeed.com/chrisstokelwalker/when-does-plastic-surgery-become-racial-transformation?s=mobile>.