Oleh Victor Samuel dan Hotgantina Sinaga
Bangsa Rusia telah melahirkan beberapa sastrawan besar dan kristiani. Dua di antaranya adalah Leo Tolstoy (1828-1910) dan Aleksandr Solzhenitysn (1918-2008) yang suka menyuarakan kebenaran lewat karya-karya mereka. Meski mendapat tentangan keras, keduanya pantang mundur dalam membaktikan pena bagi kebenaran.
Tolstoy muda, setelah ikut berperang dan menyaksikan hukuman mati yang dilakukan pemerintah, berangsur-angsur memeluk paham antikekerasan dan pasifisme. Ia menulis tentang kesia-siaan perang dan kepahlawanan dalam perang—kemelencengan perang dari kebenaran—lalu menyimpulkan demikian: “Pahlawan dari kisahku, yang kukasihi dengan segenap kekuatan jiwaku, yang kucoba kemukakan dalam segala keindahannya, dan yang telah selalu, sedang, dan akan selalu menjadi yang terindah—adalah kebenaran.”1
Diilhami ajaran Yesus Kristus, khususnya “Khotbah di Bukit,” Tolstoy pun kerap bersuara keras terhadap ketidakbenaran yang dilihatnya di lingkungan gereja. Dalam Ispoved’ (“Pengakuan,” 1882), ia meratapi kemunafikan gereja.2 Dalam Tsarstvo Bozhiye Vnutri Vas (“Kerajaan Allah Ada di Dalammu,” 1894), ia mengecam “pemutarbalikkan ajaran Kristus” oleh gereja.3 Dalam Voskreseniye (“Kebangkitan,” 1899), novel terakhirnya, ia mengkritik gereja karena mengaburkan pemahaman jemaat melalui liturgi dan perayaan-perayaan megah.4 Tak heran Gereja Ortodoks Rusia menentang dan mengucilkan Tolstoy sampai akhir hayatnya.5
Delapan tahun setelah kematian Tolstoy, Solzhenitysn lahir. Jika Tolstoy banyak mengkritik ketidakbenaran dalam gereja, Solzhenitysn banyak menyoroti kelaliman pemerintah. Ia harus mendekam di penjara Gulag—kamp kerja paksa bagi lawan-lawan politik pemerintah—selama delapan tahun dan dibuang selama tiga tahun lantaran surat-surat pribadinya yang mengkritik pemerintah terungkap.6 Namun, ia tak gentar menyuarakan kebenaran. “Satu kata kebenaran mengalahkan seluruh dunia,” ujar Solzhenitysn dalam kuliahnya ketika dianugerahi Hadiah Nobel Literatur.7
Terilhami oleh iman Kristen yang dipeluknya, Solzhenitsyn menyingkapkan kebenaran realitas penjara Gulag yang ditutup-tutupi oleh pemerintah.8 Dalam Odin den’ Ivana Denisovicha (“Satu Hari dalam Kehidupan Ivan Denisovich,” 1962), ia mengisahkan hidup keseharian seorang buruh paksa di penjara Gulag.9 Dalam V Kruge Pervom (“Dalam Lingkar Pertama,” 1968), ia menggambarkan kehidupan ilmuwan-ilmuwan di lembaga penelitian pemerintah yang menghadapi dilema moral: patuh demi kenyamanan atau melawan demi kebenaran.10 Dalam Arkhipelag Gulag (“Kepulauan Gulag,” 1973-1976), ia membeberkan sejarah lengkap tentang kengerian sistem penjara Gulag.11 Akibatnya, Solzhenitsyn dibuang sekali lagi, bahkan mengalami percobaan pembunuhan.12
Iman Kristen telah menggelisahkan batin Tolstoy dan Solzhenitsyn untuk menyuarakan kebenaran melalui karya sastra. Dan “suara” mereka telah membukakan telinga dunia terhadap kemunafikan dan penindasan. Karya-karya Tolstoy menjadi suara nurani yang mengilhami tokoh-tokoh kemanusiaan dunia, misalnya Mohandas Gandhi dan Martin Luther King, Jr.13 Karya-karya Solzhenitsyn menjadi suara kenabian penggoncang ideologi negara Uni Soviet yang mengandalkan ancaman penjara.14
Seperti Tolstoy dan Solzhenitsyn, umat Kristen (Gereja) di Indonesia seharusnya peka terhadap ketidakberesan yang terjadi di tengah Gereja dan masyarakat. Kepekaan ini haruslah sampai menghasilkan para penyuara kebenaran, khususnya yang berbicara melalui karya tulis—baik sastra maupun tulisan lainnya (opini, kajian ilmiah, dsb.).
Sayangnya, pemimpin-pemimpin Kristen di Indonesia jarang memajukan wawasan Gereja dalam isu-isu sosial-politik-budaya—“ruang gerak” bagi karya sastra. Penerapan kebenaran Alkitab sering kali hanya menyentuh kehidupan rohani belaka.
Akibatnya, di satu sisi, Gereja gagap menemukan, apalagi menyuarakan, kebenaran mengenai isu-isu sosial-politik-budaya. Di sisi lain, Gereja kurang mengenal, menghargai, apalagi menghasilkan karya sastra. Gereja jarang mementingkan peran strategis sastra dalam menyuarakan kebenaran dan mimbar-mimbar gereja miskin merujuk kepada karya-karya sastra. Betapa ruginya Gereja mengabaikan sarana penyuara kebenaran yang mustajab ini!
Jelas Gereja harus berbenah. Warga Gereja yang berbakat sastra sepatutnya dapat menghasilkan karya sastra otokritik ala Tolstoy yang menyerukan perbaikan di dalam diri Gereja. Gereja juga harus menempa banyak sastrawan Kristen yang berani menyerukan politik etis lewat sastra ala Solzhenitsyn untuk melawan kekorupan.
Ya, sudah saatnya bangkit para Tolstoy dan Solzhenitsyn masa kini yang, meski berisiko dikucilkan atau dibuang, berani menulis sastra penyuara kebenaran.
.
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Leo Tolstoy. Sevastopol/terjemahan Inggris oleh Isabel F. Hapgood. New York: Thomas Y. Crowell & Co., 1888, hal. 122. Versi buku elektroniknya dapat dilihat dalam situs Project Gutenberg. <https://www.gutenberg.org/files/47197/47197-h/47197-h.htm>.
2 Leo Tolstoy. Confession/terjemahan Inggris oleh David Patterson. New York: W.W. Norton & Company, 1983, hal. 7, 88-89.
3 Leo Tolstoy. The Kingdom of God is Within You/terjemahan Inggris oleh Constance Garnett. New York: The Cassell Publishing Co., 1894, hal. vii. Versi buku elektroniknya dapat dilihat dalam situs Project Gutenberg. <https://www.gutenberg.org/files/43302/43302-h/43302-h.htm >.
4 Richard F. Gustafson dalam pengantar untuk Leo Tolstoy. Ressurection/terjemahan Inggris oleh Louise Maude. New York: Oxford University Press, 1999, hal. ix.
5 Amanda Graber. “Tolstoy’s Relation to the Russian Orthodox Church” dalam situs Oppossing Views. < http://people.opposingviews.com/tolstoys-relation-russian-orthodox-church-4397.html>.
6 “Aleksandr Isayevich Solzhenitsyn” dalam situs Encyclopædia Britannica. <http://www.britannica.com/biography/Aleksandr-Solzhenitsyn>.
7 Alexandr Solzhenitsyn. “Nobel Lecture in Literature 1970” dalam situs Nobel Prize. <http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/literature/laureates/1970/solzhenitsyn-lecture.html>.
8 Joseph Pearce. “An Interview with Joseph Pearce, Author of Solzhenitsyn: A Soul in Exile” dalam situs Ignatius Insight. <http://www.ignatiusinsight.com/features2011/jpearce_interviewsolz_may2011.asp>.
9 “One Day in the Life of Ivan Denisovich” dalam situs Encyclopædia Britannica. <http://www.britannica.com/topic/One-Day-in-the-Life-of-Ivan-Denisovich>.
10 Edward E. Ericson, Jr. dalam pengantar untuk Alexandr I. Solzhenitsyn. In the First Circle/terjemahan Inggris oleh Harry Willets. New York: HarperCollins, hal. xvii-xx.
11 “The Gulag Archipelago” dalam situs Encyclopædia Britannica. <http://www.britannica.com/topic/The-Gulag-Archipelago >.
12 “Aleksandr Isayevich Solzhenitsyn,” Encyclopædia Britannica; “KGB Attempt on Solzhenitsyn’s Life Reported” dalam situs Los Angeles Times. <http://articles.latimes.com/1992-04-21/news/mn-594_1_assassination-attempt>.
13 Paul Wood. “The Unbroken Chain: Tolstoy’s legacy of nonviolence influenced many great leaders” dalam situs College of Liberal Arts and Sciences University of Illinois.
<http://www.las.illinois.edu/alumni/magazine/articles/2009/tolstoy/>.
14 Stephen F. Cohen. “The Gulag Archipelago” dalam situs The New York Times. <https://www.nytimes.com/books/98/03/01/home/solz-gulag.html>.