Garca Maluku: Gambar Rekaman Peradaban

Oleh Efraim Sitinjak

Lukisan prasejarah atau “gambar cadas” (garca) telah disebut-sebut sebagai cikal-bakal mural, yakni lukisan yang biasa dibuat pada dinding atau permukaan luas lainnya di masa sekarang.1 Kedua jenis gambar ini pun dapat kita pandang memiliki peran yang sama: sebagai rekaman peradaban di masanya masing-masing.

Garca tentu saja merekam peradaban manusia prasejarah. Gambar-gambar yang dibuat pada cadas menceritakan kehidupan mereka, apa yang mereka lihat dan kerjakan pada masa itu. Di Indonesia, kita memiliki banyak sekali peninggalan garca, antara lain yang bertebaran di Kepulauan Maluku: Pulau Seram, Pulau Buru, Kepulauan Kei. Garca-garca Maluku itu dilukis pada media dinding karang dan besar kemungkinan memiliki keterkaitan satu sama lain.2 Gambar-gambar yang ditampilkannya beraneka ragam.

Gambar-gambar manusia, perahu, dan cap tangan bisa ditemukan baik di Pulau Seram, Pulau Buru, maupun di Kepulauan Kei. Gambar-gambar rusa, burung, matahari didapati di Pulau Seram.3 Gambar-gambar motif geometris, ikan, arah mata angin, dan lingkaran didapati di Pulau Buru.4 Gambar-gambar topeng, matahari, motif geometris, dan burung didapati di Kepulauan Kei.5 Diperkirakan garca-garca itu dibuat antara 20.000 sampai 4.500 tahun yang lalu.6

Garca Maluku, bersama garca-garca lain di Nusantara, merekam keingintahuan, pengalaman, dan kepercayaan nenek moyang kita.7 Dalam hal ini, gambar menjadi rekaman peradaban sebagai hasil interaksi manusia dengan alam sekitar mereka. Nilai-nilai kekreatifan dan keindahan menonjol pula dalamnya.

Zaman berganti dan sekarang mural menjadi perekam peradaban, sama seperti garca di masa lalu. Gambar-gambar mural menceritakan kehidupan di sekitar kita: peristiwa penting, budaya, pembangunan, tatatan kehidupan masyarakat. Beberapa mural di Indonesia merekam keadaan bangsa kita di masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1945-1949 atau di masa reformasi tahun 1998.8

Efek visual mural memikat masyarakat untuk mengamati isu-isu peradaban yang digambarkannya. Selain indah, gambar mural menyampaikan pesan tertentu kepada khalayak. Paduan pesan, gambar, dan media gambar menjadikan mural unik, sama seperti garca prasejarah. Sebab itu tidak sembarang gambar yang dibuat di dinding dapat atau layak disebut mural.

Mural dapat kita gunakan sebagai alat untuk membangun bangsa. Dengannya kita dapat merekam peradaban bangsa sambil mengedepankan nilai-nilai kebaikan dan kekritisan. Mural bisa menampilkan perjalanan perjuangan bangsa dan nilai-nilai luhur masyarakat kita, seperti nilai-nilai kerelijiusan dan kebersamaan. Mural juga bisa menyampaikan sikap kritis terhadap isu-isu di sekitar kita, misalnya korupsi, sengketa berdasarkan SARA, kejahatan, dll.

Rekaman peradaban itu, baik mural maupun garca, sangat penting. Keduanya tak sekadar menjadi dokumentasi, tetapi juga sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang turut membentuk dan mempengaruhi jati diri bangsa. Dari dua karya seni hebat itu kita sangat bisa belajar banyak.

Sayangnya, informasi tentang peradaban nenek moyang prasejarah berdasarkan garca belum banyak digali atau bahkan disiarkan kepada masyarakat. Sebab itu pemerintah dan kalangan akademi perlu lebih serius menggiatkan dan mendukung kinerja penelitian purbakala sambil melestarikan situs-situs garca agar tidak rusak sehingga menghilangkan informasi-informasi penting. Mural-mural bagus dan bersejarah pun harus dijaga dan dilindungi.

Melalui garca Maluku kita bisa mengenali sekelumit keadaan nenek moyang di masa yang sudah lama sekali. Ini memberi kita rasa bangga sebab mereka sudah mampu membuat rekaman peradaban. Sekarang, kita menyemangati para seniman mural untuk mengabadikan keadaan mutakhir Indonesia. Semoga anak cucu kita bisa merasa bangga pula atas rekaman peradaban yang dibuat di zaman kita.

.

Efraim adalah seorang pegawai lembaga kemanusiaan yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Kaizaad Kotwal. “Walls That Talk: In the Short North, the painting’s on the wall” dalam situs Short North Gazette. <http://www.shortnorth.com/Murals.html>.

2 “Lukisan Cadas Ohoidertawun Miliki 400 Gambar” dalam situs Tribun Maluku. <http://www.tribun-maluku.com/2015/04/lukisan-cadas-ohoidertawun-miliki-400.html>.

3 Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2008, hal. 194.

4 Lucas Wattimena. “Lukisan Cadas: Simbolis Orang Maluku” dalam jurnal Kapata Arkeologi Volume 10 No. 1 Juli 2014. Ambon: Balai Arkeologi Ambon, 2014, hal. 48.

5 “Lukisan Gua Prasejarah di Maluku” dalam situs Wacana Nusantara. <http://www.wacananusantara.org/lukisan-gua-maluku/>.

6 E.A. Kosasih. “Rock Art in Indonesia” sebagaimana dikutip oleh Noel Hidalgo Tan. “Rock Art Research in Southeast Asia: A Synthesis” dalam jurnal Arts Volume 3 Februari 2014. Basel: MDPI, 2014, hal: 86.

7 Lucas Wattimena, hal.50.

8 Leonhard Bartolomeus. “Street Art dan Kehidupan Sosial Politik Indonesia” dalam situs Guggenheim. <https://www.guggenheim.org/blogs/guggenheim-ubs-map-global-art-initiative-id/street-art-dan-kehidupan-sosial-politik-indonesia>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *