Oleh S.P. Tumanggor
Sejak purbakala manusia telah membuat corat-coret garis pada media tertentu untuk merekam bermacam objek dan kegiatan dalam hidupnya. Corat-coret garis itu disebut “gambar” dan dengannya manusia merayakan kehidupannya. Jenis gambar terkuna adalah garca (gambar cadas) yang memakai media cadas di gua-gua atau tebing-tebing. Indonesia, negeri kita, boleh berbangga karena memiliki banyak situs garca di berbagai wilayahnya dan karena garca di Leang Timpuseng, Maros, Sulawesi Selatan (Sulsel), tergolong tertua di dunia.1
Tapi garca Sulawesi tidak hanya terdapat di Leang Timpuseng. Sulsel saja memiliki dua situs raya garca, yakni Kompleks Maros dan Kompleks Pangkajene, tempat kita dapat menemukan banyak sekali leang (liang/gua) bergarca. Gambar perayaan kehidupan di gua-gua Sulsel itu berupa, antara lain, gambar cap tangan, cap kaki, orang, babi rusa, ikan, ular, matahari, sampan, motif geometris. Warna yang dominan digunakan adalah merah.2
Itu berbeda dengan garca di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dominan menggunakan warna coklat. Terpusat di Pulau Muna, garca Sultra berbeda gaya dengan garca Sulsel dan tampak lebih mirip dengan garca Maluku dan Papua. Gambar perayaan kehidupan di gua-gua Sultra itu berupa gambar kegiatan manusia: bertarung, berburu, menari, berkuda, bahkan terbang! Ada juga gambar flora dan fauna seperti anjing, babi, buaya/kadal, kuda, rusa, ular, pohon kelapa, dan jagung.3
Semua garca itu mengungkapkan gairah leluhur orang Nusantara dalam menyikapi kehidupan—dalam merayakan kehidupan. Mereka bersuka atas hal-hal keseharian, yang lazim didapati di sekitar mereka, dan memandangnya layak direkam dan dirayakan. Dengan memilih media cadas gua, yang terlindung dari hujan dan panas, mereka ingin rekaman perayaan itu sampai kepada generasi-generasi berikutnya. Garca Sulawesi, bersama garca-garca lain di kepulauan Nusantara, adalah warisan yang tak ternilai bagi kita.
Hari ini manusia di mana-mana, termasuk di Nusantara, tidak lagi mengembangkan seni gambar di cadas gua. Sudah tersedia banyak model (dan media) lain untuk merekam perayaan kehidupan lewat gambar. Salah satunya, yang tergolong paling mirip dengan garca, adalah komik. Seperti garca, komik menyajikan gambar tentang kegiatan manusia, benda-benda, dan lingkungan sekitar manusia. Ditunjang cerita yang bagus, komik selaku rekaman perayaan kehidupan bahkan dapat memashurkan negeri dan bangsa di muka bumi.
Buktinya di zaman kita adalah komik-komik mendunia seperti Tintin dari Belgia, Asterix dari Perancis, Dragon Ball dan Naruto dari Jepang, Batman dan Spider-Man dari AS. Walau sebagian merupakan fantasi (mungkin seperti garca manusia terbang di Gua Kobori, Sultra), tak pelak lagi kehidupan nyata menjadi struktur tempat fantasi itu diletakkan. Sebagai contoh, di luar kegiatan sebagai pahlawan super, Peter Parker (alias Spider-Man) dikisahkan menggeluti bidang sains dan jurnalistik sehingga gambar-gambar komiknya merekam dan merayakan pula pernak-pernik kehidupan di kedua bidang itu.
Ya, lewat komik, seperti lewat garca, kita dapat merayakan kehidupan—sekaligus mengharumkan nama bangsa. Dan potensi kita, keturunan para pembuat garca Sulawesi dan garca-garca Nusantara lainnya, amatlah besar. Tak heran komikus seperti Ardian Syaf asal Tulungagung dan Miralti Firmansyah asal Bandung bisa terlibat dalam projek-projek komik DC dan Marvel, dua penerbit komik AS yang terkemuka.4 Komik sastra Baladeva asal Bali berhasil menembus pasar internasional.5 Sayangnya, secara umum industri komik kita belum mapan dengan sistem, gaya gambar, cerita yang bagus dan unik/khas sehingga banyak talenta menggambar komik “menguap” atau tak tersalurkan di dalam negeri.
Itu bisa kita sejajarkan dengan hilangnya banyak garca Sulawesi sejak kira-kira seperempat abad lalu. Meningkatnya kegiatan manusia di sekitar situs garca telah mengubah ekosistem, mengubah kondisi kimiawi dan biologis, sehingga rusaklah garca-garca.6 Ini sungguh memilukan! Jelas pemerintah dan rakyat Indonesia harus serius mengatur, mengelola, melestarikan, dan mempromosikan warisan rekaman perayaan kehidupan masa purba itu, dan juga kekayaan talenta menggambar komik, yang adalah rekaman perayaan kehidupan masa kini.
Biarlah rekaman perayaan kehidupan terus terawat dan terpelihara—entah berwujud garca, komik, atau jenis gambar lainnya—sebagai ilham kita untuk senantiasa bersyukur dan bersukacita atas hidup.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Garca ini diperkirakan berusia minimal 39.900 tahun. Lihat “Gambar Cadas Tertua di Sulawesi, Bineka di Dinding Goa” dalam situs Kompas. <http://sains.kompas.com/read/2014/10/18/08300021/Gambar.Cadas.Tertua.di.Sulawesi.Bineka.di.Dinding.Goa>. Para ahli yang meneliti tujuh gua purba di Sulawesi memberi kita gambaran tentang usia garca Sulawesi di kisaran 17.400 sampai 39.900 tahun. Lihat “39,900-Year-Old Indonesian Cave Paintings Rewrite History of Art” dalam situs Sci News. <http://www.sci-news.com/archaeology/science-indonesian-cave-paintings-02194.html>.
2 “Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Selatan” dalam situs Wacana Nusantara. <http://www.wacananusantara.org/lukisan-gua-sulawesi-selatan/>.
3 “Lukisan Gua Prasejarah di Sulawesi Tenggara” dalam situs Wacana Nusantara. <http://www.wacananusantara.org/lukisan-gua-sulawesi-tenggara/>.
4 Mengenai Ardian dan Miralti, lihat, misalnya, “Ardian Syaf, ‘Batman’ dari Tulungagung” dalam situs Kompas. <http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/19/18274685/Ardian.Syaf..Batman.dari.Tulungagung>; “Miralti Firmansyah, Energi yang Disukai Marvel” dalam situs Media Indonesia. <http://www.mediaindonesia.com/news/read/33203/miralti-firmansyah-energi-yang-disukai-marvel/2016-03-10>.
5 “‘Baladeva’, Komik Sastra Indonesia yang Mendunia” dalam harian Kompas terbitan 21.05.2016.
6 “Lukisan Cadas Kuno Butuh Perlindungan” dalam situs Kompas. <http://print.kompas.com/baca/2015/07/28/Lukisan-Cadas-Kuno-Butuh-Perlindungan>.
apa kabar bang sam? HP ku mati total dan nomor abang pun hilang. oh ya, aku sudah menikah bulan september tahun lalu. mau ngabarin itu saja sih, he he