Oleh Madriantonius Bara
Gerak jalan sudah menjadi lomba rutin dan favorit dalam peringatan 17 Agustus di Kota Malino, Sulawesi Selatan, tempat saya dibesarkan. Lomba yang dulu sering saya ikuti di masa SD dan SMP ini melibatkan anak-anak, kaum muda, dan orang dewasa sebagai pesertanya. Setiap regu gerak jalan beranggotakan 22 orang yang memakai pakaian seragam. Urutannya diatur mulai dari regu anak-anak sampai regu orang dewasa dan rutenya mengelilingi kota dengan menempuh jalan sepanjang 1,5 km.
Sinar terik matahari tak menyurutkan semangat bersaing para peserta untuk bergerak secara padu, selaras, dan semarak. Hal-hal inilah yang diamati juri untuk menentukan regu pemenang lomba. Dan hal-hal ini pulalah yang saya amati menonjol dalam perjuangan pahlawan-pahlawan kita demi kemerdekaan bangsa. Ya, ada kesejajaran besar antara lomba gerak jalan dengan perjuangan demi kemerdekaan di masa lalu dan persaingan (sehat) antarbangsa di masa kini.
Supaya padu, gerak jalan perlu kerja keras. Regu kami dan regu-regu lain bekerja keras melatih ayunan tangan dan derap kaki agar kompak. Di masa lalu pun pemuda dari berbagai daerah di Indonesia bekerja keras untuk mengompakkan gerak lewat Sumpah Pemuda 1928, perjuangan bersenjata, perjuangan diplomasi, dll. Gerak mereka begitu padu sehingga kemerdekaan Indonesia terwujud juga.
Di masa ini kita seharusnya padu pula ketika memperjuangkan, misalnya, pencerdasan bangsa. Saat ini mutu pendidikan tinggi kita masih kalah bersaing di tingkat internasional, terbukti dari payahnya kinerja penerbitan karya tulis ilmiah kita.1 Pemerintah, pihak swasta, dan kalangan akademi perlu bergerak padu lewat kerja keras dalam membangun sistem pendidikan yang paling tepat guna bagi bangsa kita.
Supaya selaras, gerak jalan perlu kerja sama. Pemimpin regu kami memberi aba-aba dengan lantang dan kami, anggota regu, bekerja sama dengan memperhatikan dan melaksanakan aba-abanya. Di masa lalu pun kiprah laskar pejuang seperti Kebaktian Republik Indonesia Sulawesi (KRIS) menunjukkan kerja sama serupa. Pejuang-pejuang dari Sulawesi yang berbeda suku dan agama itu bergerak menuruti “aba-aba” pemimpin Tentara Nasional Indonesia dan bahu-membahu dengan laskar-laskar pejuang dari berbagai daerah di Indonesia untuk menggempur tentara Belanda di Yogyakarta pada tahun 1949.
Di masa kini kita butuh keselarasan pula ketika memperjuangkan, antara lain, bidang pariwisata. Dengan potensi wisata yang amat banyak dan beragam, pendapatan negara kita dari sektor pariwisata seharusnya tak kalah bersaing dari negara-negara lain seperti Malaysia dan Thailand yang kalah luas dari Indonesia.2 Jelas pemerintah (pusat dan daerah), pihak swasta/penanam modal, dan masyarakat perlu bergerak dalam kerja sama cantik untuk membenahi birokrasi, infrastruktur, dan layanan demi keunggulan wisata kita.
Supaya semarak, gerak jalan perlu sentuhan kekreatifan. Regu kami berusaha menarik perhatian juri dengan membuat pakaian seragam serta variasi gerakan jalan yang unik dan baru. Di masa lalu pun para pahlawan berkarya kreatif untuk menunjang negara Indonesia yang merdeka. Lagu Indonesia Raya gubahan W.R. Supratman, Pancasila gagasan Sukarno, konsep pendidikan rekaan Ki Hajar Dewantara, dll. membuat bangsa kita tampil semarak, gemilang, dan bermartabat.
Di masa kini kita harus kreatif pula jika ingin bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam hal, katakanlah, inovasi. Kita perlu menggalakkan inovasi dan menunjangnya dengan sistem pendanaan dan pemasaran yang baik. Tak boleh lagi talenta-talenta kreatif anak bangsa “layu sebelum berkembang.”3
Selain dalam gerak jalan, saya mendapati pula ide tentang padu, selaras, dan semarak dalam lomba-lomba 17 Agustus lain, di antaranya lomba masak beregu, lomba menghias lorong, dan lomba karnaval. Jadi, lomba-lomba 17 Agustus sebenarnya mempersiapkan kita untuk menjadi pesaing-pesaing tangguh. Ketiga hal besar tadi, dengan ditunjang kerja keras, kerja sama, dan kekreatifan, adalah penyusun mental bersaing yang menjadikan bangsa tangguh dan berdaya saing tinggi. Dengan semua itu, saya yakin, Indonesia dapat unggul dan jaya dalam persaingan internasional.
Sekarang, sudah 71 tahun Indonesia turut serta dalam “lomba gerak jalan” antarbangsa. Sudahkah gerak bersaing bangsa kita makin padu, selaras, dan semarak?
.
Madriantonius Bara adalah seorang pegawai negeri sipil yang bermukim di Makassar, Sulawesi Selatan.
.
Catatan
1 Menurut laporan Scimago Journal Ranking tentang penerbitan karya tulis ilmiah dalam rentang tahun 1996-2015, Indonesia menempati peringkat ke-57 dengan jumlah karya ilmiah 39.719, kalah dari Malaysia (peringkat ke-35) dan Singapura (peringkat ke-32) dengan jumlah karya ilmiah masing-masing 181.251 dan 215.553. Lihat “Scimago Journal & Country Rank” dalam situs SJR. <http://www.scimagojr.com/countryrank.php>.
2 Di tahun 2015, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan bahwa sumbangsih sektor pariwisata bagi negara baru sebesar 9%, sedangkan Malaysia sudah sebesar 15% dan Thailand 20%. Lihat “Potensi Pariwisata Indonesia Besar” dalam situs Iran Indonesian Radio. <http://indonesian.irib.ir/editorial/cakrawala/item/103285-potensi-pariwisata-indonesia-besar>.
3 Di tahun 2014, Kementerian Riset dan Teknologi memiliki 106 inovasi yang berpeluang untuk dikembangkan namun tidak diminati oleh industri dan penanam modal. Lihat “Menristek & Dikti: Inovasi Indonesia untuk Dunia” dalam situs Itech <http://itechmagz.com/2015/08/05/menristek-dikti-inovasi-indonesia-untuk-dunia/>.