Koin dalam Tepung

Oleh S.P. Tumanggor

Kerongkongan saya terasa tak nyaman. Butiran tepung yang terhisap ke situ menggumpal setelah bersentuhan dengan air liur. Muka saya berlumuran serbuk, putih dan semerawut, saat saya angkat untuk kesekian kalinya dari wadah berisi tepung. Waktu itu, di sekolah dasar kami di Bandung, Jawa Barat, saya dan beberapa teman tengah bersaing dalam salah satu lomba 17 Agustus yang unik: lomba memunguti uang logam alias koin dari wadah berisi tepung terigu—dengan memakai mulut.

Seperempat abad lebih berlalu, dan saya sekarang masih bisa mengenang kocaknya lomba pungut koin dalam tepung. Sudah barang tentu segala kerepotan kami dan muka kami yang berlepotan tepung turut memompa sukaria dalam perayaan hari besar bangsa kita itu. Dan di balik segala kekocakan, saya kini bisa menangkap ide baik yang penting untuk memupuk mental bersaing bangsa: mau repot, susah, bahkan mungkin tampak konyol demi mendapatkan hal-hal berharga.

Ide itu tak sulit kita kenali dalam kiprah para pahlawan bangsa Indonesia di masa lalu. Mereka mau repot dan berlepotan susah dalam melawan penjajah untuk mendapatkan hal-hal berharga seperti kemerdekaan dan kedaulatan. Mereka juga rela dipandang konyol oleh penjajah atau sesama anak bangsa yang pro-penjajah. Mereka, dalam pandangan saya, mengusung mental bersaing yang tinggi.

Di masa pra-Indonesia, pahlawan-pahlawan seperti Sisingamangaraja XII, Cut Nyak Dien, Pattimura, dll. repot dan berlepotan susah sewaktu berjuang melawan penjajah. Ketika Sisingamangaraja XII wafat oleh peluru Belanda, Cut Nyak Dien dibuang Belanda ke Pasundan, dan Pattimura gugur di tiang gantungan Belanda, perlawanan mereka tentu dipandang konyol oleh Belanda dan antek-antek pribuminya. Namun, mereka meletakkan dasar mental bersaing yang tinggi bagi generasi berikutnya.

Mereka memperagakan bagaimana orang harus rela berlumuran tepung demi mendapatkan koin-koin.

Di masa kemudian, para penerus mereka tidak kurang bersikap mau repot, susah, dan dipandang konyol demi kemerdekaan Indonesia. Sukarno dan Hatta dibuang Belanda ke beberapa tempat, Sudirman yang sakit memimpin perang gerilya dengan ditandu, Wolter Monginsidi mati muda—belum 25 tahun usianya—di tangan regu tembak Belanda. Mental bersaing yang tinggi menyanggupkan mereka menjalani semua itu.

Muka mereka berlumuran tepung, tapi koin-koin kemerdekaan dan kedaulatan mereka dapatkan.

Hari ini, kita tahu bahwa kita tetap butuh mental bersaing serupa untuk mengisi kemerdekaan. Kita masih harus bertarung dan berlomba—dalam persaingan sehat—“melawan” bangsa-bangsa lain untuk mengejar kemajuan dan kesejahteraan. Celakanya, kita tidak menunjukkan mental bersaing seperti para pahlawan bangsa. Alih-alih mau repot dan berlepotan susah, kita cenderung mau nyaman dan bergelimang kesenangan. Alih-alih rela dipandang konyol demi meraih sesuatu yang berharga, kita penuh gengsi untuk membenam wajah dan memunguti koin dalam tepung.

Ketertinggalan banyak daerah Indonesia—setelah merdeka 70 tahun lebih—mengungkapkan hal itu. Kita tampak tak mau repot atau berlepotan susah untuk membangun (infrastruktur, pariwisata, fasilitas, dsb.) negeri kita secara merata sehingga wilayah-wilayah luar Pulau Jawa tetap kalah maju dari Pulau Jawa. Banyak dari kita enggan bertindak “konyol” mengabdi di “daerah.”

Juga kita tampak tak mau repot atau berlepotan susah untuk menggubah atau menerapkan sistem yang efektif di berbagai bidang (transportasi, pelayanan publik, pemerintahan, dll.). Setelah tujuh dasawarsa merdeka, ibukota negara kita baru akan memiliki angkutan cepat terpadu, sedang kecepatan dan kebersihan pelayanan publik baru-baru saja terpacu (dibantu oleh hadirnya internet). Banyak pejabat kita tak mau “konyol” mengambil langkah tepat-tapi-tak-populer karena lebih memikirkan pencitraan demi kelanggengan kuasa.

Dengan keadaan demikian, bagaimana Indonesia kita bisa berdaya saing tinggi di kancah internasional? Saya rasa percumalah kita gelar lomba-lomba 17 Agustus seperti pungut koin dalam tepung, dan juga panjat pinang atau sepakbola pakai sarung, jika kita tak kunjung menghidupi ide di baliknya yang penting bagi mental bersaing: mau repot, susah, dan dipandang konyol demi mendapatkan hal-hal berharga.

Ayo, saudara-saudara sebangsa, kita usunglah mental bersaing di dunia. Benamkanlah muka ke dalam tepung dan pungutlah koin-koin itu dengan mulut.

.

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

3 thoughts on “Koin dalam Tepung

  1. Edy Agustinus

    Thanks bg, kalimatnya sangat mengguah, semoga saya bisa salah satu orang yang “mau repot, susah, dan dipandang konyol demi mendapatkan hal-hal berharga”.

    Reply
  2. Helminton

    Makasih Bang Sam atas pemikirannya yang brilian dlm menggali makna dr permainan yg selama ini ga terpikirkan olehku. Kajiannya menyemangatiku untuk melakukan pembenahan dan revolusi mental di Antam. Aku yakin jika ide2 seperti ini ditularkan ke banyak org akan lebih banyak hati yg tergugah untuk berlelah-lelah demi Allah dan demi Indonesia. Amin..

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *