Gagalnya Kaum Lahir Baru

Oleh Victor Samuel

Berwisata di Eropa belumlah lengkap jika tidak berkunjung ke gereja-gerejanya. Kemegahan dan transendensi arsitektur Gotik yang berpadu dengan ukiran unik maupun ornamen antik di sekujur interiornya membuat banyak orang, termasuk sebagian penganut agama lain atau ateis sekalipun, menarik napas dalam-dalam penuh kagum. Jutaan orang mengunjungi gereja-gereja ini setiap tahunnya. Bahkan di beberapa gereja yang paling terkenal seperti Sagrada Familia, kita mesti antre ratusan meter untuk menjelajahi bukti ekspresi hormat Antoni Gaudi kepada Allah yang mulia.

Namun, sadarkah kita ada yang aneh? Gedung gereja memang dikunjungi banyak manusia, tapi yang ingin dinikmati adalah bangunan, bukan Tuhan. Padahal Gaudi, atau siapa pun arsitek gereja saat itu, menguntukkan karyanya menjadi wadah bagi kaum lahir baru—pengaku dan penerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat—untuk beribadah; bukan sekedar menjadi museum indah!

Bagaimana dengan kekristenan Indonesia? Melihat kebaktian-kebaktian kita yang masih riuh ramai, apakah kita lebih baik dari kekristenan Eropa? Sayangnya, fakta di kantong-kantong Kristen—daerah-daerah yang paling banyak ditinggali oleh kaum lahir baru—tidak berkata demikian.

Tengoklah Manado. Belum ke Manado rasanya jika belum menikmati 3B—Bunaken, Boulevard, dan Bubur Manado. Namun, yang terakhir ini sering dipelesetkan menjadi “Bibir Manado”—sebutan bagi pekerja seks komersial asal kota tempat berdirinya patung Yesus tertinggi kedua di dunia ini. Dalam dunia prostitusi, nona-nona Manado termasuk yang paling digemari. Bahkan persebarannya sudah sampai tingkat mancanegara.1 Ironis, banyaknya gereja di Kota Seribu Gereja ini berbanding lurus dengan banyaknya pekerja seks komersial!

Sekarang mari alihkan pandangan ke Manokwari. Sebagai gerbang masuknya arus lahir baru di Papua, Manokwari memiliki ikatan emosi yang kuat dengan kekristenan. Saat ini, tokoh-tokoh masyarakat setempat sedang terus mengusahakan “Perda Manokwari Kota Injil.” Terdengar sangat Kristiani, bukan?

Sayangnya, menurut seorang dosen yang telah mengabdi di sana selama lima tahun, banyak kaum lahir baru gagal meradiasikan kelahiran barunya itu di masyarakat. “Di kantor-kantor, banyak orang Kristen yang punya peranan dan jabatan strategis sehingga dapat mempengaruhi banyak orang. Namun, sangat sulit mendapatkan anak Tuhan yang berani membayar harga demi mengikuti Kristus. Kebanyakan mengikut arus. Kalau orang lain malas, mereka akan ikut malas. Jika orang lain korupsi, mereka akan ikut-ikutan korupsi.”

Satu fakta memilukan lagi: dari lima provinsi termiskin Indonesia, empat di antaranya berpenduduk mayoritas Kristen.2 Padahal, semuanya memiliki sumber daya alam yang besar. Di manakah kaum lahir baru yang duduk di pemerintahan? Jika memang mereka mengetahui nilai Kristen: kerja keras dan jujur demi Allah sekaligus kemashalatan bersama, mengapa mereka gagal mengusahakan kesejahteraan kota dan malahan membiarkan rakyat menderita?

Nampaknya gereja-gereja di Indonesia mulai menunjukkan gejala penyakit kronis yang sudah diderita lama oleh gereja-gereja Eropa: kekristenan simbol. Celakanya, simbol-simbol itu masih kita peluk erat-erat tanpa peduli bahwa tanggung jawab kita berat. Kita rajin ke gereja tapi hidup jauh dari nilai-nilai gereja. Kita berkalung salib tapi ogah pikul salib. Bukankah hidup munafik seperti ini lebih busuk dari orang-orang Eropa yang terang-terangan meninggalkan gereja?

Solusinya ada di gereja. Gereja perlu mendidik kaum lahir baru sehingga shalom menjadi nyata dalam hidup bersama dan bukan hanya ucapan pengganti “selamat pagi.” Lahir baru itu utuh: bukan hanya dalam relasi dengan Allah secara vertikal, melainkan juga dalam kehidupan sosial.  Gereja perlu berpikir dan berusaha keras untuk menumbuhkan iman jemaat sekaligus mendorong mereka untuk membersihkan sektor-sektor kehidupan masyarakat yang masih kotor.

Sebagai kesatuan yang am, ada panggilan bagi gereja-gereja lokal (termasuk lembaga-lembaga paragereja) yang sudah lebih bertumbuh secara rohani dan intelektual untuk mendukung proses ini di daerah-daerah Kristen yang tertinggal. Biarlah gereja besar tidak hanya sibuk memperbesar diri sendiri, tetapi juga menopang gereja-gereja kecil untuk bisa berdiri.

Akhir kata, jadikanlah tahun baru ini menjadi awal komitmen kita untuk berdoa dan bekerja agar api lahir baru kembali berkobar di kantong-kantong Kristen Indonesia. Bukankah salah satunya kampung halaman kita?

.

Victor Samuel adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang tinggal di Stockhol, Swedia.

.

Catatan

1 “Bibir Manado sampai Mancanegara” dalam situs KaltimPost.co.id <http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.detail&id=22141>.

2 Keempat provinsi yang dimaksud adalah: Papua, Papua Barat, NTT, dan Maluku.

“Inilah 5 Provinsi Termiskin di Indonesia” dalam Inilah.com <http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1463672/inilah-5-provinsi-termiskin-di-indonesia>.

4 thoughts on “Gagalnya Kaum Lahir Baru

  1. memyself303

    wuaaah.. baru baca tulisan Victor.. KEREEN !
    Fakta-fakta yang dipaparkan sangat mendukung ide.. Gaya penulisanmu juga membuat saya jadi berpikir keras selaku ‘gereja’: hal nyata apa yang bisa dilakukan agar iman itu benar-benar berdampak secara utuh? Terimakasih untuk mengingatkan kembali hal ini, Vic 🙂

    Reply
  2. Tjong Hok Liang

    RUGI rugilah gereja yang tak melakukan ide yang-besar-menopang-yang-kecil. Kalah dengan perusahaan2 besar yang menopang usaha2 kecil-menengah,

    Reply
  3. Pingback: Gagalnya Kaum Lahir Baru « utuh.

Tinggalkan Balasan ke Tjong Hok Liang Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *