Oleh S.P. Tumanggor
Di Indonesia, ketupat sudah jadi identik dengan Lebaran, hari raya umat Islam. Ketupat menunjukkan bahwa Islam telah membumi di Nusantara. Di Arabia sendiri, tanah asal Islam, orang tidak ber-Lebaran dengan ketupat.
Sebagai orang Indonesia yang Kristen, saya mendapati bahwa ketupat sebagai unsur budaya bisa dimaknai pula dengan cara lain. Sewaktu menyaksikan perajin di pasar asyik merakit wadah-wadah ketupat, saya melihat perlambangan satu hal yang agung menurut ajaran Alkitab: pernikahan. Berikut adalah tinjauannya.
Dua Menjadi Satu
Butuh dua helai daun kelapa untuk merakit satu wadah ketupat. Dengan teknik jenius warisan leluhur, dua helai daun panjang itu berjalin padu secara apik dan khas melalui proses pembentukan beberapa menit.
Kata Alkitab: “Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24). Ibarat dua helai daun kelapa meninggalkan pelepahnya, demikianlah laki-laki dan perempuan meninggalkan orang tuanya. Lewat proses penjalinan hati dan tubuh, keduanya bersatu dan menghasilkan lembaga pernikahan yang apik dan khas.
Di Tangan Perajin
Dua tangan dan sepuluh jari bergawai untuk membuat anyaman yang padu. Tangan-tangan itu cekatan dan jari-jari itu mahir. Pemiliknya, sang perajin, tahu bagaimana mempertemukan kedua helai daun kelapa, membuat keduanya berpaut, dan mengokohkannya.
Seperti itulah Allah, Sang Perajin Agung, mempertemukan serta memadankan laki-laki dan perempuan. Telah diamati-Nya laki-laki: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Maka diciptakan-Nya perempuan dan “dibawa-Nya kepada manusia itu” (Kej. 2:18,22). Tangan dan jemari-Nya tahu bagaimana menganyam hati dan tubuh keduanya menjadi satu. Kepiawaian-Nya ada di balik perpaduan mereka.
Dalam Ketundukan dan Penyerahan
Kelenturan membuat helai daun kelapa mudah dirakit sebagai wadah ketupat. Inilah ketundukannya dan penyerahannya, baik kepada tangan kuat perajin maupun kepada helai pasangannya. Tanpa kelenturan untuk tunduk dan berserah, wadah ketupat tak mungkin dibentuk.
Kita menangkap ketundukan dan penyerahan serupa dalam nasihat Paulus untuk pasutri: “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” dan “hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat” (Ef. 5:22,25). Mengacu kepada kemesraan Kristus dan jemaat-Nya, laki-laki dan perempuan tunduk dan berserah kepada Allah dan kepada pasangannya untuk dipautkan tanpa pernah bisa dipisahkan lagi.
Untuk Diisi dan Dipadatkan
Kedua helai daun kelapa yang telah teranyam padu tidak tetap hampa. Butiran beras laksana mutiara mahal mengisinya. Air dan api kemudian memadatkannya untuk mengokohkan tokohnya.
Cinta dan pengenalan yang meningkat adalah laksana beras mutiara pengisi pernikahan. Air dan api kehidupan menguji dan memejalkan hubungan suami-istri. Tetapi hal-hal lain seperti rejeki dan anak pun bisa kita pandang sebagai pengisi pernikahan. Mazmur 128, dalam latar budaya Israel, melukiskannya dengan baik bagi kita: “Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu. Isterimu akan menjadi seperti pohon anggur yang subur di dalam rumahmu; anak-anakmu seperti tunas pohon zaitun sekeliling mejamu! Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki yang takut akan TUHAN” (ayat 1-4).
Tepatlah Alkitab bahasa Indonesia (TB) membubuhkan judul “Berkat atas Rumah Tangga” untuk mazmur ini.
Akhirnya Dibelah
Akhir pautan kedua helai daun kelapa adalah pembelahan agar isinya tersajikan. Pisau yang tajam memutus jalinan padu wadah ketupat. Bersama makanan/masakan lain, ketupat yang nikmat pun siap disantap.
Bolehlah maut kita umpamakan dengan pisau itu. Seturut ikrar suci laki-laki dan perempuan, “sampai maut memisahkan kita,” begitulah ikatan pernikahan mereka diputuskan oleh maut, dan hanya oleh maut. Namun, isi pernikahan mereka, yakni kesaksian cinta ilahi yang tercermin dalam cinta suami-istri, telah tersaji utuh bagi Allah dan dunia. Cita rasanya sudah barang tentu sedap.
Lengkaplah sudah tinjauan kita. Seperti saya, Anda mungkin takjub melihat perlambangan selaras antara unsur budaya Indonesia dengan ajaran Alkitab. Mengingat betapa serasinya ketupat melambangkan pernikahan, barangkali sudah saatnya kita munculkan ungkapan budaya baru di samping ketupat Lebaran: ketupat pernikahan.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Wah pengamatan tingkat dewa!hhai
Sshh.. jgn mendewakan org… 😮
Pingback: in Relationship (part 2) « windakris