Oleh S.P. Tumanggor
“The cock does crow/To let you know/If you be wise/This time to rise/For early to bed/And early to rise/Is the way to be healthy/And wealthy and wise.”1
Sajak Inggris itu lancar meluncur dari mulut mungil anak sulung saya ketika ia baru berusia enam tahunan. Bersama banyak sajak dan lagu kanak-kanak Inggris lain, sajak di atas telah menggenang di kepalanya—dia hafal semua itu!—dan siap dikucurkan kapan pun dia mau. Dari mana anak saya mendapat “warisan” sastra Inggris di usia sedemikian belia?
Dari sekolahnya, sebuah TK umum dekat rumah kami yang menyandang nama Inggris dan memakai bahasa pengantar Inggris, sedapat-dapatnya, di kelas. Saya tidak mempermasalahkan hafalan berbahasa Inggris diperkenalkan kepada anak saya sedini itu, tetapi saya sangat mempermasalahkan nyaris tiadanya hafalan berbahasa Indonesia yang diperkenalkan kepadanya. Sekolah ini latah keinggris-inggrisan dan lupa konteks Indonesia!
Maka pada satu kesempatan, ketika kepala sekolah meminta saya bicara sebagai perwakilan orang tua dalam acara “wisuda” murid, saya ungkapkanlah isi angan saya. Setelah memuji kinerja baik sekolah, saya mengusulkan agar lagu wajib dan lagu daerah Indonesia diajarkan pula kepada para murid. Bagaimanapun, mereka anak-anak Indonesia, bukan?
Saya juga menuturkan bagaimana semasa TK saya sudah bisa melafalkan Pancasila di depan kelas. Kalau segudang sajak dan lagu cukup “rumit” dari negara asing saja bisa dihafalkan anak TK kita, mengapa tidak dasar negara sendiri? Tuturan saya itu ditanggapi baik oleh kepala sekolah (meski tindak lanjutnya belumlah memuaskan).
Wabah latah keinggris-inggrisan tentu bukan cuma melanda TK anak saya. Di kota-kota besar Indonesia bermunculan apa yang disebut Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Sekolah-sekolah ini memakai bahasa pengantar Inggris dan mengusung cita-cita tinggi menghasilkan lulusan yang “bersaing” di tingkat internasional.
Cita-cita tinggi itu rupanya amat memukau pemerintah, yang kemudian mencoba menggalakkan berbagai RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) di tanah air. Demi “standar internasional,” bahasa dan budaya Indonesia siap dikorbankan. Pepatah “berpikir secara global, bertindak secara lokal” dilalaikan—tak sadar bahwa putra-putri Indonesia akan sukar “bertindak secara lokal” jika tak dididik untuk menguasai kelokalan itu, termasuk bahasa “lokal.”
Ironisnya, orang Inggris sendiri malah memperingatkan orang Indonesia akan bahaya penggunaan bahasa pengantar Inggris (baca: non-Indonesia). Hywel Coleman, pakar bidang keguruan dari University of Leeds, menyatakan kepada para pegiat pendidikan Indonesia, “Jika anak tidak diberi kesempatan untuk menguasai konsep-konsep dasar melalui bahasa ibunya di tingkat SD maka dampak negatifnya akan terasa pada keberhasilannya dalam proses pendidikan selanjutnya.”2
Berdasarkan penelitian, Coleman menandaskan bahwa “hampir di semua negara dengan tingkat perekonomian yang kuat di dunia, pembelajaran bagi para siswa menggunakan bahasa ibunya sebagai bahasa pengantar.” Sebaliknya, “dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, terutama tingkat SD, tidak membantu suatu negara untuk menjadi maju, tetapi malah bisa menghambat.”3
Itu seharusnya mengguncang pihak-pihak berwenang di bidang pendidikan sehingga berpikir lebih jernih soal cas-cis-cus Inggris sebagai bahasa pengantar sekolahan. Itu pun seharusnya menyegarkan ingatan kita, seluruh rakyat Indonesia, kepada undang-undang negara yang berbunyi: “Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.”4
Memang inilah penyakit berat khas Indonesia: undang-undang tentang segala hal ada, hanya pelaksanaannya yang tidak ada. Obat mustajabnya tak lain dari tekad serius para penyelenggara pendidikan untuk berpihak kepada bahasa Indonesia—kepada kemajuan bangsa!
Selain itu, orang tua peserta didik pun bisa mengambil kesempatan untuk melayangkan “protes” kalau sekolah melalaikan ke-Indonesia-an. Kira-kira seperti yang saya lakukan dalam acara “wisuda” anak saya. Seluruh komponen masyarakat Indonesia harus turut menjaga kebijakan pendidikan yang penting bagi masa depan anak dan masa depan bangsa.
Ya, saya pribadi tidak keberatan anak saya hafal bahwa bangun pagi itu “the way to be healthy and wealthy and wise.” Tetapi, demi penguasaan kelokalan untuk kemajuan, saya lebih ingin dia hafal “Bangun tidur ‘ku terus mandi/Tidak lupa menggosok gigi/Habis mandi kutolong ibu/Membersihkan tempat tidurku.”
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Terjemahan Indonesia: “Ayam jantan berkokok/Untuk memberitahumu/Jika engkau bijaksana/Inilah waktu untuk bangun tidur/Sebab cepat pergi tidur/Dan cepat bangun tidur/Adalah cara untuk menjadi sehat/Dan kaya dan bijaksana.” Setelah hidup lebih dari tiga setengah dekade, barulah saya mengenal sajak klasik Inggris ini—dari penghafalan anak saya!
2 “Bahaya di Balik Bahasa Pengantar” dalam Kompas terbitan 02.06.2010.
3 “Bahasa Inggris Bisa ‘Hambat’ Kemajuan” dalam Kompas terbitan 02.06.2010. Senada dengan Coleman, Anita Lie, dosen keguruan Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, menentang kebijakan bahasa pengantar Inggris dalam RSBI. Ia menegaskan bahwa masalah bahasa pengantar “adalah masalah serius karena terkait perkembangan kognisi anak” (“Banyak Pelajaran Tak Relevan” dalam Kompas terbitan 23.02.2012).
4 Pasal 29 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Lihat juga Pasal 33 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
TUlisan menarik. KIta memang harus mampu membedakan belajar bahasa Inggris melalui matapelajaran bahasa Inggris di sekolah RI dan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah RI.