Memulangkan Ilmuwan Kita dengan Penghargaan

Oleh Victor Samuel

Isi surat balasan itu membuat Habibie tampak terpukul. Sumpah beliau untuk mendarmabaktikan ilmunya bagi tanah air belum dapat terwujud. Ia harus menerima kenyataan menyedihkan bahwa Indonesia tidak siap mengembangkan industri pesawat terbang.

Sepenggal adegan filem Habibie & Ainun itu menggambarkan dengan baik “kesedihan” ilmuwan-ilmuwan kita yang berada di luar negeri. Banyak di antara mereka sebenarnya rindu menerapkan keahlian mereka bagi Indonesia. Namun apa lacur, di tanah kelahiran sendiri mereka jarang mendapatkan penghargaan semestinya. Padahal mereka menguasai keterampilan dan teknologi yang dapat mendorong perekonomian dan meningkatkan penanaman-modal-asing-langsung1 di Indonesia.2

Sarana penelitian dan upah yang layak adalah penghargaan utama yang perlu diberikan kepada ilmuwan. Sarana adalah penghargaan paling dasar. Tanpa sarana, penelitian sulit—kalau bukan mustahil—ia jalankan. Tanpa penelitian, ia kehilangan alasan keberadaannya. Sementara itu, tanpa upah yang layak, ia kehilangan ketenangan dalam bekerja—cemas memikirkan kesejahteraan diri dan keluarganya.

Sementara kedua penghargaan ini diberikan secara royal di negara-negara maju, Indonesia malah jauh tertinggal: di Indonesia gaji lulusan S-3 bisa serendah Rp 2,7 juta!3 Cekaknya penghargaan bagi ilmuwan tergambar dari catu APBN untuk penelitian yang hanya sebesar 0,1%, jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia yang rela menghabiskan 2%. Tak heran, lebih dari 4.000 ilmuwan Indonesia memilih mengabdikan diri di negeri tetangga sementara lembaga-lembaga penelitian Indonesia mengalami krisis peneliti muda.4

Contoh negara yang berhasil mereformasi kebijakan untuk menarik pulang diaspora ilmuwannya adalah Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Pada mulanya, sekitar tahun 1980-an, hubungan pemerintah dengan mahasiswa RRT yang berada di luar negeri kurang baik. Calon mahasiswa yang hendak ke luar negeri dikritik dan yang sudah di luar negeri ditekan untuk pulang. Peristiwa Tiananmen 1989 memperparahnya. Semakin sedikit mahasiswa yang mau pulang.

Titik baliknya terjadi pada tahun 1992, ketika pemerintah RRT menyadari bahaya dampak-jangka-panjang jika “perseteruan” itu terus terjadi. Pemerintah mengumumkan strategi baru dengan slogan “dukung studi di luar negeri, dorong mereka untuk kembali, dan berikan kebebasan untuk datang dan pergi.”5

Semenjak itu hubungan antara pemerintah dengan mahasiswa RRT di luar negeri semakin baik. Pada tahun 2003, pemerintah menekankan bahwa peran mahasiswa yang kembali dari luar negeri “tak dapat digantikan” dan memiliki “kepentingan yang luar biasa bersejarah.” Pemerintah mencari dan mengajak pulang ilmuwan-ilmuwan RRT di luar negeri, menjanjikan imbalan yang besar sesuai dengan pasar internasional, dan mendirikan lembaga-lembaga karir di puluhan kota untuk mempermudah lulusan luar negeri mencari pekerjaan di RRT.6

Hasilnya luar biasa: jumlah lulusan luar negeri yang pulang menembus angka 40.000 pada tahun 2007, naik 40 kali lipat dalam dua puluh tahun!7

Indonesia perlu belajar dari pemerintah RRT yang berhasil memulangkan ilmuwan-ilmuwannya dengan penghargaan. Kuncinya adalah berani bertindak dengan pola pikir jangka panjang. Pertama-tama, pangkas subsidi BBM, yang 80%-nya malah dinikmati orang beruang,8 lalu alihkan sebagian dananya untuk sarana penelitian dan gaji peneliti. Kedua, beri insentif bagi pihak swasta untuk melakukan kerja sama dengan lembaga penelitian atau universitas dalam negeri sehingga terjadi keadaan saling bergantung yang menguntungkan. Ketiga, cari ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang terbukti sukses di luar negeri dan ajak mereka bekerja sama dalam proyek-proyek strategis dengan imbalan yang pantas.

Sebetulnya, saat ini Indonesia memiliki momentum berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil. (Pertumbuhan ekonomi jugalah yang menjadi landasan utama pulangnya ilmuwan-ilmuwan RRT.9)Namun, pertumbuhan ekonomi harus didukung oleh tenaga terampil dan penerapan teknologi supaya pertumbuhan itu berkualitas dan dapat menjadikan Indonesia sejajar dengan negara maju.

Indonesia yang maju itulah cita-cita Habibie ketika pulang dan mendirikan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Kendati akhirnya IPTN ditutup, Habibie sempat menaikkan citra bangsa di mata dunia dengan pesawat N250. Kita perlu ingat, perjuangan Habibie di Indonesia bermula ketika pemerintah akhirnya menghargai kemampuannya dan memanggil dia pulang.

Saat ini ada sekitar 50.000 mahasiswadan ratusan ilmuwan Indonesia di negeri asing.10 Merekalah Habibie-Habibie lain yang perlu kita pulangkan dengan penghargaan.

.

Victor Samuel adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang tinggal di Stockhol, Swedia.

.

Catatan

1 “Penanaman modal asing langsung” adalah penanaman modal dalam bisnis atau produksi di suatu negara yang dilakukan oleh perusahaan di negara lain dengan membeli perusahaan asal negara tujuan atau dengan mengembangkan bisnis di negara tujuan itu. Penanaman modal jenis ini melibatkan pemindahan teknologi, kecakapan praktis, dan keterampilan pengelolaan, sehingga lebih menguntungkan bagi Indonesia daripada “penanaman modal portofolio” seperti saham yang dapat dengan mudah ditarik kembali.

2 Tina Hsieh dan Ershad Ali. “Impact of Internationalisation of Education on China’s Economy” dalam Journal of International Education and Business, vol. 3, no.1, 2012. International Labour Organization. Jenewa. AIS St Helens. Selandia Baru.

3 Bhtrg. “Fenomena: di Indonesia PhD (S3) Bergaji 2.7 juta/bulan: Pulang Naik Angkot” dalam Kompasiana.com, 02.02.2012.
<http://unik.kompasiana.com/2012/02/02/fenomena-di-indonesia-phd-s3-bergaji-27-jutabulan-pulang-naik-angkot/ >.

4 “4000 Dosen Indonesia di PT Malaysia” dalam Kompas.com, 09.03. 2011. <http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/09/22394973/4.000.Dosen.Indonesia.di.PT.Malaysia>; “LIPI Kekurangan 1.500 Peneliti Baru” dalam Kompas.com, 19.09.2012. <http://www.tempo.co/read/news/2012/09/19/061430444/LIPI-Kekurangan-1500-Peneliti-Baru >.

5 David Zweig. “Competing for talent: China’s strategies to reverse the brain drain” dalam International Labour Review, vol. 145, no.1-2, 2012, hal. 68. International Labour Organization. Jenewa.

6 David Zweig. “Competing for talent: China’s strategies to reverse the brain drain,” hal. 70-73.

7 Biro Statistik Nasional Tiongkok, 2009, dikutip dalam Tina Hsieh dan Ershad Ali. “Impact of Internationalisation of Education on China’s Economy.”

8 “Kadin: 80 Persen Subsidi BBM Dinikmati Orang Kaya” dalam Kompas.com, 11.12.2012.
<http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/12/11/15220779/Kadin.80.Persen.Subsidi.BBM.Dinikmati.Orang.Kaya. >

9David Zweig. “Competing for talent: China’s strategies to reverse the brain drain,” hal. 82. Zweig melakukan wawancara dengan 86 peneliti RRT. Kepada mereka ditanyakan, mengapa jumlah peneliti yang pulang bisa bertambah. Jawaban tertinggi, dengan presentase jawaban 58%, adalah “perkembangan ekonomi RRT yang tinggi.” “Peraturan yang mendukung” dan “kesempatan untuk mengembangkan teknologi baru di RRT” mendapat posisi terbanyak berikutnya, yakni 47% dan 42%.

10 “I4: Berdayakan Ilmuwan Indonesia di Luar Negeri” dalam AntaraNews.com, 26.10.2009.
<http://www.antaranews.com/berita/1256545706/i4-berdayakan-ilmuwan-indonesia-di-luar-negeri >; “Dikti Kehilangan Ratusan Ilmuwan” dalam RakyatMerdeka.co.id, 12.08. 2009.
<http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2009/08/12/10359/Dikti-Kehilangan-Ratusan-Ilmuwan >.

3 thoughts on “Memulangkan Ilmuwan Kita dengan Penghargaan

  1. einfach100

    TKW saja diberi hak. Hemat saya, tidak ada kesalahan moril untuk peneliti yang mencari kehidupan di luar negeri, selama minim ada 1 orang di dalam negeri yang bisa di makmurkan (makmur secara sinergi dan berkelanjutan) juga. Ibarat Mercy kontrak kerja dengan kita, bolehlah sekalian ada kawan kita diajarkan jadi representatif penjualan mercy di Indo (Ya, ini contoh kejadian nyata yang sederhana)

    Reply
  2. Renata

    Menarik.
    Memang Indonesia belum siap dibawa maju. Kebanyakan masyarakat dan orang-orang yang berjajar di pemerintahannya masih berpikir untuk saat ini saja, padahal masa depan yg membentang di depan sebenarnya sudah harus dirancang dari sekarang. Oleh karena itu Indonesia memandang sebelah mata pada penelitian. Sayang sekali.

    Padahal bangsa Indonesia itu pintar. Ilmuwan Indonesia tidak kalah cerdasnya dengan ilmuwan luar negeri, hanya, yang sudah penulis tuliskan di atas, memang tak ada sarana untuk pengembangan ilmu mereka di Indonesia.

    Semoga semoga semoga kita bisa belajar dari RRC. Ditunggu kepulangan ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang akan berkarya di tanah air ini. 😀

    Reply
  3. vnyx

    Saya berpendapat ujung apresiasi minim pada para ilmuwan ini adalah sifat anak bangsa yang konsumtif dan hedonis, sementara ilmuwan dianggap memiliki peran di backstage, atau bahkan cuma kameo. “Untuk apa sebuah penelitian dilakukan, toh, hasil nyatanya saja tidak ada!” cukup membuat generasi calon ilmuwan beralih menjadi pekerja kantoran atau teknisi berlisensi, padahal tingkat international paper submission merupakan salah satu indikator negara maju. Mungkin sudah saatnya kami ilmuwan yang mengambil inisiasi, daripada bergantung pada gaji atau redupnya ambisi pemerintahan akan kemajuan teknologi bangsa.

    Reply

Tinggalkan Balasan ke einfach100 Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *