I La Galigo: Dari Bugis untuk Dunia

Oleh Yulius Tandyanto

Ripalélé si rampé-rampé,
ripaléttéq si pau-paué.
Nanawoi ni taung poléna
Sawérigading ri Tompoqtikkâ,1
                            ~ I La Galigo, Episode “Ritumpanna Wélenrénngé”2

Itulah nukilan bait pertama syair I La Galigo episode “Penebangan Pohon Wélenréng” (Ritumpanna Wélenrénngé—RW) yang saya sajikan untuk menghantarkan kita pada epos klasik masyarakat Bugis. Dalam fragmen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh utama, Sawérigading, berniat menikahi gadis tercantik di jagat raya, Wé Tenriabéng. Tapi apa daya, Sawérigading harus menelan kenyataan pahit ketika mengetahui gadis pujaannya itu adalah saudara kembarnya sendiri.

Meski demikian, Sawérigading pantang menyerah. Ia melawan siapa saja yang berani menentang ikhtiarnya, termasuk ayah-bundanya sendiri: Batarallattuq dan Wé Datu Senngeng. Ia pun tak segan-segan menjungkirbalikkan semua tatanan adat-istiadat demi menikahi Wé Tenriabéng. Singkat cerita, kenekatan yang jalin-berjalin dengan kesaktiannya malah mengakibatkan kekacauan, kerusakan, dan penderitaan yang dahsyat bagi masyarakat di kawasan timur Nusantara.

Dari potongan kisah sumir di atas, tak berlebihan bila kita menarik suatu ilham bahwa pernikahan selalu berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat, bahkan suatu bangsa. Inspirasi tersebut menegaskan bahwa orang Indonesia—dalam hal ini masyarakat Bugis—memiliki khazanah budaya yang beradab tinggi dan memengaruhi pemikiran dunia. Karena itulah organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan I La Galigo sebagai salah satu ingatan dunia (Memory of the World) pada tahun 2012.

Rasanya memang sudah sepantasnya bila pencapaian masyarakat Bugis tersebut diapresiasi oleh warga dunia. Pasalnya, keutuhan jalan cerita I La Galigo tetap terjaga meskipun terdiri dari berbagai macam episode yang sangat panjang. Bahkan R.A. Kern, sejarawan Belanda yang menyusun katalog I La Galigo, menaksir ada sekitar 6.000 halaman folio apabila seluruh fragmen terkumpul. Dengan kata lain, sang penulis kisah tersebut tentulah memiliki kreativitas dan keterampilan yang mumpuni.

Selain itu, rangkai episode-episode yang diduga kuat ditulis sekitar abad ke-14 ini juga diuntai dalam bentuk prosa berlagu (sureq) yang kompleks dan indah. Keindahan bentuk puisi cerita berangkai itu terlihat melalui pola irama seperti yang saya cuplik pada awal tulisan. Dan menurut saya—dalam beberapa aspek tertentu—I La Galigo dapat disejajarkan dengan mitos tragis Yunani Kuno yang terkenal, yakni Oedipus gubahan Sofokles (± 497-406 SM).

Tidak hanya itu, keunikan sureq I La Galigo sebagai tradisi suci (smriti) juga mengandung nilai-nilai penting yang dapat digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat secara praktis. Tradisi semacam itu mengingatkan kita akan kegunaan epos Râmâyana dan Mahâbhârata dalam kehidupan umat Hindu. Meski bersifat praktis, kedudukan tradisi suci memiliki kewenangan yang seiras dengan wahyu dalam kitab suci (sruti).3 Itu sebabnya naskah I La Galigo sangat dihormati dan dituturkan hanya pada waktu-waktu tertentu.

Dengan pencapaian keunikan dan keunggulan tersebut, I La Galigo memang layak dinikmati oleh warga dunia sebagai karya yang berkualitas tinggi. Penikmat sejarah dan sastra, Nirwan Ahmad Arsuka, bahkan menyandingkan I La Galigo dengan sejumlah literatur kelas dunia lainnya yang berbeda ruang dan waktu, seperti Oddiseia (Homeros), Manas (masyarakat Kirgistan), Impian Kamar Merah (Cao Xueqin dan Gao E), dan One Hundred Years of Solitude (Gabriel Garcia Márquez).4

Ya, saya harap kita pun dapat turut bangga dan mengapresiasi pencapaian karya budaya anak bangsa sebagaimana warga dunia menakzimkannya. Barangkali uraian sederhana ini dapat menyemangati kita untuk tidak mau dijajah lagi oleh mental rendah-penghargaan, apatis, dan picik terhadap karya literatur Nusantara. Dan lebih dari itu, kita harus berani melahirkan karya-karya literatur berkualitas sehingga dapat memengaruhi pemikiran dunia—setaraf atau bahkan mungkin melampaui I La Galigo.

Sebelum pamit, berikut ini saya nukilkan larik-larik terakhir episode RW untuk memantik rasa penasaran kita terhadap detail kisah I La Galigo:

Nawawoi ni kéteng ménréqna
Wé Tenriabéng ri Botillangî.
Mananrang toni ttudang manaiq ri Senrijawa.
Temmawéwé ni sibali ada
lé woroané pawekkeqé ngi.
Mapanré toni mulu jajareng,
ssanrang pangara moloiang ngi aleqbirenna
bali pangara pawekkeqé ngi.5

.

Yulius adalah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan filsafat yang tinggal di DKI Jakarta.

.

Catatan

Terjemahan Indonesia:
Beralih lagi cerita,
berpindah pula kisah.
Menjelang setahun sudah kembalinya
Sawérigading dari Tompoqtikkâ,

2 Fachruddin Ambo Enre. Ritumpanna Wélenrénngé: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 135.

3 Perbedaan smriti dan sruti dapat dibaca lebih lanjut pada buku Filsafat India: Sebuah Pengantar Hinduisme & Buddhisme yang ditulis oleh Matius Ali (Tangerang: Sanggar Luxor, 2010 , hal. 8-12).

4 Nirwan Ahmad Arsuka. “La Galigo, Odisei, Trah Buendia” dalam Seribu Tahun Nusantara/suntingan J.B. Kristanto. Jakarta: Kompas, 2000, hal. 398-416.

5 Terjemahan Indonesia:
Telah menjelang sebulan lamanya
Wé Tenriabéng naik ke Bottilanggî.
Sudah betah ia tinggal di Senrijawa.
Tiada enggan lagi ia berbicara
dengan lelaki yang memeliharanya.
Cekatan pula sudah ia mengepalai duduk beradat,
mengatur perintah, menjaga kemuliaan
suami yang memeliharanya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *