Kaki Beralas “Bhinneka Tunggal Ika”

Oleh Victor Samuel

Kemajemukan budaya di Nusantara disemarakkan oleh masuknya budaya Hindu-Budha yang bercampur dengan kebudayaan pribumi. Lalu masuk juga pedagang Arab, diikuti pedagang Persia, Gujarat, dan Cina, yang bukan saja membawa dagangan, tetapi juga pengaruh budaya. Masyarakat Indonesia menjadi terbiasa menerima dan menyerap unsur-unsur kebudayaan baru, berkelindan dengan kebudayaan lama, menjadikan Nusantara “kuali penyerbukan silang-budaya.”1

Dalam pertautan antar budaya itu, sistem kerajaan Hindu-Budha maupun Islam menjadi pengikat antar suku. “Suku itu dalam bahasa Jawa artinya sikil, kaki,” demikian Sukarno mengumpamakan kesatuan suku-suku Nusantara. “Jadi bangsa Indonesia banyak kakinya. Ada kaki Jawa, kaki Sunda, kaki Sumatera, kaki Irian, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki peranakan Tionghoa… kaki daripada satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia.”2

Tubuh bangsa Indonesia ditopang juga oleh keserasian langkah kaki-kaki agama. Selain suku dan budaya, corak-corak agama di Nusantara melebur. Awalnya unsur-unsur Hindu berpadu dengan unsur-unsur Budha. Demikian juga Islam, yang akhirnya menjadi kepercayaan dominan, melakukan peleburan dengan unsur-unsur Hindu-Budha dan kepercayaan asli.3Ajaran untuk menerima pemeluk agama yang berbeda pun dituliskan dalam Kitab Sutasoma. Salah satu frasa di dalamnya kelak dijadikan semboyan negara kita: Bhinneka Tunggal Ika, “berbeda-beda, tetapi satu jua.”

Pengakuan kaki-kaki bangsa terhadap kesatuan tubuh pun diyakini oleh pemuda-pemuda Indonesia sebagai kunci kekuatan untuk melawan penjajah. Dimulai dengan perhimpunan-perhimpunan yang berbasis agama dan kedaerahan, mereka akhirnya bersatu membentuk Perhimpunan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Pada kongres kedua PPPI, berdirilah sebuah tonggak sejarah yang bernama “Sumpah Pemuda,” yang mengandung ikrar: “kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.”4

Ikrar tersebut menyatakan hakikat “bangsa Indonesia” sebagai sebuah kesatuan yang proaktif dan bukan sekadar perpanjangan kaki-kaki etnis dan ras. “Bangsa Indonesia,” ungkap Yudi Latif, “tidak seperti kebanyakan bangsa yang mengambil namanya dari kelompok etnik terdahulu: England dari Angles, Finland dari Finns, France dari Franks, Rusia dari Rus, Vietnam dari Viet, Thailand dari Thai, Malaysia dari Melayu …”5

Sayangnya, setelah merdeka, kaki-kaki bangsa tidak membawa sang tubuh berlari kencang, tetapi justru melangkah semau sendiri bahkan saling menendang. Kita masih mengutamakan kepentingan golongan sendiri dan menghancurkan hakikat bangsa Indonesia: persatuan dalam keberagaman.  “Bhinneka Tunggal Ika” hanya menjadi semboyan penghias lambang negara. Akibatnya, sang tubuh tidak kunjung beranjak dari ketertinggalan dan kemelaratan.

Dalam lingkup kecil, misalnya, kita lebih memilih bergaul dengan orang-orang yang seagama dengan kita atau berprasangka buruk terhadap suku tertentu. Dalam lingkup yang besar, keberpihakan kita kepada golongan sendiri terejawantahkan dalam perda-perda berlandaskan agama tertentu. Kita memilih pemimpin yang segolongan dengan kita tanpa melihat rekam jejak dan komitmennya bagi segenap rakyat. Para politisi ogah membela kepentingan kaum minoritas karena suara mereka kecil dalam pemilu. Tak heran, menurut berbagai survei, Indonesia berperingkat rendah dalam hal penerimaan terhadap kaum minoritas.6

Memperingati Sumpah Pemuda, setiap kaki bangsa perlu kembali beralaskan “Bhinneka Tunggal Ika,” yakni secara proaktif melampaui dinding-dinding suku dan agama demi mencapai cita-cita bersama. Sebagaimana dipesankan Nurcholis Madjid, “orang-orang beragama diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keagamaan dan keindonesiaan. … Komunitas agama semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif … dalam rangka penguatan Indonesia.”7

Syukurlah kita punya teladan yang menjadikan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, melainkan alas pikiran dan tindakan. Dari pihak Muslim dan Jawa, ada Gerakan Pemuda Ansor yang proaktif mengawal perayaan-perayaan Kristen.8 Dari pihak Hindu dan Bali, kita punya Anak Agung Ngurah Agung, yang memilih jalan hidup untuk membela hak Muslim di Bali.9 Dari pihak Kristen dan Tionghoa, ada Basuki Tjahaja Purnama yang rela mati demi kesejahteraan segenap rakyat Jakarta tanpa melihat agama dan suku.10

Sang tubuh harus lekas berlari mendaki puncak kesejahteraan dan keadilan. Oleh sebab itu, hai kaki-kaki bangsa, janganlah hanya bersemboyan, tetapi melangkahlah beralas “Bhinneka Tunggal Ika”!

.

Victor Samuel adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang tinggal di Stockhol, Swedia.

.

Catatan

1Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal. 267.

2Sukarno, sebagaimana dikutip dalam Yudi Latif, hal. 369.

3 Yudi Latif, hal. 260.

4 Yudi Latif, hal. 321.

5 Yudi Latif, hal. 358.

6 OECD. “Society at a Glance 2011: OECD Social Indicators” dalam situs OECD-ilibrary, 12.04.2012.<http://dx.doi.org/10.1787/soc_glance-2011-en >;
“Survei: Toleransi Beragama Orang Indonesia Rendah!” dalam situs Tempo, 05.06.2012. <http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-Orang-Indonesia-Rendah >.

7 Nurcholis Madjid. “Tantangan Demokrasi Pancasila di Masa Depan” dalam Pancasila sebagai Ideologi Terbuka: Problem dan Tantangannya/Penyunting: Alex Lanur. Jakarta: Kanisius, 1995, dalam Yudi Latif, hal. 373.

8 Lihat “GP Ansor Magelang siap bantu pengamanan Natal” dalam situs Antara News, 19.12.2012. <http://www.antaranews.com/berita/349220/gp-ansor-magelang-siap-bantu-pengamanan-natal >; “GP Ansor Bantu Polisi Amankah Paskah” dalam situs VIVABola, 16.09.2013. <http://m.bola.viva.co.id/news/read/216106-gp-ansor-bantu-polisi-amankan-paskah >.

9 Lihat “Kenapa Ngurah Agung Membela Hak Muslim di Bali?” dalam situs Tempo, 22.08.2013.
<http://www.tempo.co/read/news/2013/08/22/173506411/Kenapa-Ngurah-Agung-Membela-Hak-Muslim-di-Bali >.
10Lihat “Ahok Rela Mati demi Rakyat!” dalam situs Tribun News Jogja, 08.03.2013. <http://jogja.tribunnews.com/2013/03/08/ahok-rela-mati-demi-rakyat/ >.

One thought on “Kaki Beralas “Bhinneka Tunggal Ika”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *