Orang Awam Naik Mimbar

Oleh S.P. Tumanggor

“Ia sering berkhotbah di gereja-gereja. … Gaya khotbahnya sangat menarik perhatian jemaat. Ia berkhotbah seperti seorang orator ulung, pun bobot teologinya tidak dapat diragukan.”1

Demikian teolog F.D. Wellem melukiskan seorang tokoh Indonesia Kristen masa lampau. Siapakah gerangan dia yang “orator ulung” itu? Tak lain dari Amir Sjarifoeddin Harahap—nama yang saya kira lebih Anda kenal sebagai politisi atau perdana menteri Indonesia. Amir kerap naik mimbar di gerejanya sendiri2 dan di gereja-gereja lain, dan umat Kristen Indonesia sangat diberkati oleh khotbah-khotbahnya yang bernas.

Namun, sosok besar Amir bukanlah titik sorotan kita kali ini. Saya justru ingin menyoroti fakta bahwa Amir, seorang “awam” (baca: bukan lulusan sekolah teologi), telah naik mimbar dan berkhotbah di gereja-gereja. Saya hendak menjunjung fakta ini sebagai suri teladan yang perlu kita tiru di masa sekarang jika kita ingin umat Kristen berdampak baik di tengah masyarakat, menggenapi perannya sebagai “garam” dan “terang” di dunia.

Mengapa saya berkata begitu?

Karena untuk berdampak, untuk menjadi garam dan terang di dunia, umat Kristen dari berbagai profesi harus diperlengkapi dengan ide-ide Alkitab yang mendarat pada konteks kehidupannya yang nyata, kini dan di sini. Maka mimbar, sarana ampuh untuk memperlengkapi umat, perlu menyuarakan ide-ide Alkitab yang bukan hanya membahas tentang surga, kerohanian/kesalehan, atau doktrin iman Kristen, tapi juga tentang dunia (budaya, politik, ekonomi, dsb.) dan bagaimana kerohanian/kesalehan atau doktrin iman Kristen kena-mengena dengannya atau bisa dipraktikkan di dalamnya.

Itu pasti akan memantapkan umat Kristen untuk melakukan pekerjaan baik di bidang gelutannya masing-masing!

Nah, untuk membahas ide-ide Alkitab yang luas macam itu wawasan orang Kristen awam amat dibutuhkan. Artinya, sosok-sosok cakap seperti Amir Sjarifoeddin3 memang perlu diberi kesempatan naik mimbar untuk mengkhotbahkan ide-ide Alkitab yang bersentuhan dengan berbagai ranah kehidupan nyata. Rohaniwan (“orang teologi”) belaka tidak sepenuhnya sanggup menangani kebutuhan ini—setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, kita maklum bahwa para rohaniwan umumnya berkutat dengan hal-hal seputar doktrin kristiani dan terapannya pada pelayanan gerejawi atau kehidupan saleh (pribadi). Jadi, bahasan mereka tentang, misalnya, bagaimana semestinya kiprah orang Kristen di ranah politik tak akan setajam bahasan orang Kristen awam seperti Amir yang memang bergiat di ranah politik sekaligus terlatih dalam ajaran Kristen.

Kedua, kita maklum bahwa banyak rohaniwan menghabiskan waktu di lingkungan gereja yang boleh dibilang beratmosfer rohani dan lembut. Mereka hampir tidak pernah memasuki lingkungan lain yang beratmosfer sekuler dan keras. Jadi, mereka tidak tahu banyak tentang seluk-beluk tantangan yang ada di situ. Mereka bisa menggeledek dari mimbar, “Kalau atasan Saudara menyuruh Saudara berbuat tidak benar, tolak saja,” tapi mereka tak pernah tahu suasana atau keadaan sistematis yang membuat “tolak saja” itu tidak segampang pengucapannya.

Ketiga, kita maklum bahwa para rohaniwan umumnya “terpatok” pada pakem-pakem teologi aliran gereja mereka. Jadi, kalau aliran mereka tidak menekankan suatu ide yang sebetulnya ada dalam Alkitab, besar kemungkinan mereka tidak akan mengkhotbahkan ide itu—padahal ide itu mungkin penting bagi kinerja baik umat di tengah masyarakat. Nah, orang Kristen awam biasanya tidak merasa wajib “terpatok” pada pakem-pakem itu.4

Maka jelaslah bahwa “mata” atau sudut pandang orang Kristen awam bisa sangat bermanfaat untuk menolong umat memahami ide-ide Alkitab yang luas tentang hidup nyata. Asalkan mereka cakap seperti Amir Sjarifoeddin, saya yakin gereja akan senantiasa diuntungkan manakala mereka diberi kesempatan naik mimbar.5

Zaman telah makin meng-kompleks-kan hidup. Tantangan terhadap hal-hal yang baik dan benar tampil menunggangi kecanggihan di berbagai lapangan kehidupan. Kalau kita, umat Kristen, hendak menjawab tantangan itu, kita tidak butuh sekadar teori-teori doktrinal tentang surga, pelayanan gerejawi, dan kesalehan pribadi—semua yang biasa disajikan para rohaniwan. Kita juga butuh bahasan-bahasan mendalam tentang keristenan yang berterap di segala sektor hidup nyata—semua yang bisa dipasok para Kristen awam-cakap.

Jadi, biarlah para Amir, para Kristen awam-cakap, terus diberi kesempatan naik mimbar.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Frederiek Djara Wellem. Perdana Menteri RI Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Ut Omnes Unum Sint Institute dan Center for Popular Education Medan dan Penerbit Jala, 2009, hal. 80.

2 Yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) Kernolong, Jakarta.

3 Dengan kata-kata “cakap seperti Amir Sjarifoeddin” saya bermaksud menyatakan bahwa orang Kristen awam yang perlu diberi kesempatan naik mimbar hanyalah mereka yang sudah terlatih dalam ajaran Kristen, sebagaimana Amir yang “bobot teologinya tidak dapat diragukan.”

4 Kecuali, tentunya, orang Kristen awam yang telah tertempa menjadi pendukung fanatik pakem teologi alirannya.

5 Fenomena orang awam naik mimbar sebetulnya bukan hal yang asing bagi Gereja. Kaum Pantekosta/Karismatik hingga hari ini masih mengizinkan orang awam naik mimbar. Di berbagai lembaga paragereja orang awam naik mimbar adalah pemandangan yang lazim, lumrah, galib. Kaum Metodis mengenal apa yang disebut “pengkhotbah awam” atau lay preacher dalam bahasa Inggris (lihat “Methodist Local Preacher” dalam situs Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Methodist_local_preacher > ). Salah satu doktrin pokok kaum Protestan adalah “imamat yang am,” yakni doktrin yang menyatakan bahwa orang Kristen biasa turut mengambil bagian dalam imamat yang am (lihat “Priesthood of All Believers” dalam situs Wikipedia. <http://en.wikipedia.org/wiki/Priesthood_of_all_believers > ). Semua ini menggemakan kebijakan Yesus yang mendaulat dua belas orang awam sebagai pengkhotbah injil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *