Mengapa Orang Kristen Menyambangi TPS?

Oleh S.P. Tumanggor

Kita berduyun-duyun menyambangi TPS (Tempat Pemungutan Suara) di masa pemilu tak lain dan tak bukan lantaran bentuk republik dan sistem demokrasi yang dipakai negara kita. Kalaulah bentuk negara kita kerajaan, atau kalaulah sistemnya teokrasi, tentu laksaan bilik TPS di sekujur tanah air tak pernah perlu kita dirikan.

Jadi, kita memberi suara dalam pemilu gara-gara republik dan gara-gara demokrasi.

Ya, ada sejumlah anak bangsa yang menampik dua serangkai republik-demokrasi sehingga, agaknya, mereka tak akan berkunjung ke TPS. Penampikan itu berpangkal dari pandangan mereka bahwa keduanya tak selaras dengan bentuk dan sistem pemerintahan yang dianjurkan kitab suci agama mereka. Di kalangan Kristen umumnya tak ada yang mempermasalahkan republik dan demokrasi. Tapi mengapa? Apakah karena republik dan demokrasi dianjurkan Alkitab?

Pertanyaan itu rasanya cocok sekali kita gulati di musim pemilu ini, khususnya jika selama ini kita tak pernah ambil pusing mengenainya dan, karenanya, tak ambil pusing pula soal hadir atau tak hadir di TPS. Paling tidak jawaban hasil pergulatan itu bisa menolong kita, orang Kristen, menyikapi pemilu dengan lebih baik dan lebih mantap.

Alkitab, pada kenyataannya, tak pernah menganjurkan bentuk atau sistem pemerintahan apa pun. Meski kebanyakan isinya diilhamkan dan dituliskan dalam konteks zaman tertentu, yakni zaman kerajaan atau kekaisaran, Alkitab sama sekali tidak menyatakan bahwa bentuk-bentuk pemerintahan itulah yang harus diikuti manusia di segala abad dan tempat.

Alkitab hanya memberikan suatu asas bahwa pemerintahan pada hakikatnya merupakan “perpanjangan tangan” dari Pemerintahan Tertinggi, yaitu pemerintahan Allah. “Tiap-tiap orang,” ujar Alkitab, “harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rom. 13:1).

Asas itu menjadikan umat Kristen di sepanjang sejarahnya bisa menyesuaikan diri dengan pemerintahan di negerinya. Umat Kristen secara umum bisa dan telah hidup di kekaisaran, kekhalifahan, kesultanan, kerajaan, republik—dan bisa hidup sebagai warga negara yang baik, berbakti kepada bangsa-negara, tidak mengadakan makar atas nama kekristenan. Itu lantaran anjuran Alkitab pula: “Ingatkanlah [orang Kristen] supaya mereka tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik” (Tit. 3:1).

Hanya ketika tuntutan pemerintah bertentangan dengan akidah barulah umat Kristen memilih lebih menaati Pemerintahan Tertinggi.1 Contoh kasusnya adalah umat Kristen Romawi yang mati syahid karena menolak mengakui kaisar Romawi sebagai tuhan. Juga umat Kristen mungkin saja menggelar atau memperjuangkan bentuk dan sistem pemerintahan yang dirasa lebih baik, sekiranya ada kapasitas, peluang, dan konteks yang tepat untuk itu. Contoh kasusnya adalah umat Kristen Amerika Serikat yang menggeliat lepas dari Kerajaan Inggris di abad ke-18 lalu menegakkan pemerintahan republik.

Di sini kita lihat bahwa kekristenan pada hakikatnya mengusung sikap luwes-lentur terhadap bentuk dan sistem pemerintahan (serta hal-hal lain yang serupa ini2). Kekristenan mengajari kita untuk menerima/memperjuangkan/menegakkan suatu bentuk atau sistem pemerintahan dengan mengenali dan mempertimbangkan realitas situasi-kondisi, perkembangan zaman, serta ideal-ideal Alkitab tentang pemerintahan yang baik, misalnya “melakukan keadilan dan kebenaran” (Yer. 22:15).

Di sini kita sudah bisa menjawab pertanyaan di atas: republik dan demokrasi tak dapat kita maklumkan sebagai bentuk dan sistem pemerintahan yang dianjurkan Alkitab karena, sekali lagi, Alkitab tidak menganjurkan bentuk dan sistem pemerintahan apa pun. Namun, kita dapat merangkul dan menjunjung dua serangkai itu secara leluasa dengan pertimbangan bahwa keduanya cocok untuk situasi-kondisi dan zaman kita.

Ketika kita merangkulnya, kita dapat dan harus memanfaatkannya sebagai sarana pengejawantahan sikap dan peran yang dianjurkan Alkitab kepada kita, yakni “siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik.” Kita dapat dan harus memanfaatkannya untuk mewujudkan pemerintahan yang tidak zalim, tapi yang serius menyasar penyejahteraan masyarakat dan penyelenggaraan keadilan-kebenaran. Karena itulah kita harus menimbang baik-baik lalu memilih—lewat pemilu—orang-orang yang tepat untuk mengurusi kepentingan umum lewat pemerintahan.

Jadi, di hari pemilu, mari kita berduyun-duyun menyambangi TPS!

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Dalam hal ini, umat Kristen mengikuti teladan Nabi Daniel, yang punya kinerja bagus di Kerajaan Media-Persia (sehingga diberi jabatan tinggi) tapi menolak menuruti ketetapan pemerintah untuk tidak berdoa kepada Tuhan. Lihat Daniel 6.

2 Misalnya adat-istiadat, tata cara berpakaian, tata cara pergaulan muda-mudi, dsb. Kekristenan hanya memberikan prinsip-prinsip kepatutan tentang hal-hal itu, tapi memulangkan bentuk-bentuknya kepada konteks ruang dan waktu yang dihidupi umat Kristen. Bentuk-bentuk yang ada di tengah masyarakat, entah sudah lama digunakan atau baru dibuat, asalkan selaras atau bisa diselaraskan dengan prinsip kepatutan kristiani, boleh dirangkul umat Kristen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *