Melodi Sape’: Melodi Tenteram, Nyaman, Damai

Oleh Rizky Batubara

Sebagai orang Batak yang lahir dan tinggal di Kalimantan Barat (Kalbar), sudah beberapa kali saya menyaksikan upacara Naik Dango.1 Acara tahunan masyarakat Dayak ini selalu semarak oleh berbagai tarian, kerajinan, dan musik khas Dayak. Satu alat musik hebat yang tak pernah absen dalam acara raya Naik Dango adalah sape’, dan alat musik ini sangat memikat hati saya.

Dimainkan dengan cara dipetik, sape’ berbentuk seperti gitar tetapi hanya memiliki empat dawai. Pada badan dan gagangnya biasa terdapat ukiran berbentuk pohon, binatang (lazimnya burung enggang), atau orang. Semua itu indah, namun bunyi yang dihasilkannya lebih indah lagi. Kita yang mendengarnya bisa merasa dibawa ke suatu tempat yang tenteram, nyaman, dan damai.

Waktu melodi sape’ mengalun di acara Naik Dango, saya dijalari rasa tenteram dan bisa melihat pendengar lain merasa tenteram juga (dari mimik wajah dan gestur tubuh mereka). Kami, para pendengar sape’ di Kalbar, berasal dari berbagai suku dan agama. Namun melodi sape’ dapat menembus batas-batas perbedaan dengan nada penenteramnya.

Saya kira, sama seperti melodi sape’, kaum muda Indonesia pun harus dapat menebarkan ketenteraman di negeri berpenduduk majemuk ini. Caranya adalah dengan mau menggalang persatuan dan kesatuan ala Sumpah Pemuda, mau berbaur dan hidup rukun bersama, meski kita berbeda suku dan agama. Sumpah Pemuda harus dihayati sebagai suatu melodi indah yang menembus batas-batas perbedaan.

Dawai-dawai sape’, ketika dipetik sendiri-sendiri, menghasilkan nada yang berlainan. Tapi saya takjub melihat bagaimana pemain sape’ yang piawai dapat memadukan nada-nada berlainan itu, lewat kecakapan jemarinya, menjadi musik yang memberi rasa nyaman sewaktu didengar. Kepiawaiannya pastilah sangat ditunjang oleh penghayatan dan penjiwaannya dalam bermelodi.

Begitu juga seharusnya kaum muda Indonesia yang banyak dan berbeda latar dapat bekerja sama—seperti jemari pemain sape’—untuk menggelar kenyamanan di tanah air. Caranya adalah dengan terjun secara cakap, penuh penghayatan dan penjiwaan, ke berbagai sektor kehidupan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Ketika sektor-sektor itu mendapat sentuhan tangan piawai kaum muda, maka Indonesia akan menjadi tanah air yang “nyaman” untuk ditinggali.

Dan walaupun dimainkan secara solo, yakni secara tunggal/sendirian, sape’ tetap terdengar indah. Melodinya senantiasa menyebarkan rasa damai yang hebat. Banyak alat musik baru terdengar sedap ketika dimainkan bersama alat-alat musik lain. Namun, tidak demikian halnya dengan sape’.

Maka kaum muda Indonesia pun harus bisa dan berani tampil beda orang per orang ketika menghadapi deru ketidakbenaran di negeri. Tidak harus ikut arus—jika arus itu salah—tapi harus selalu berpendirian teguh dan jelas dalam hal-hal yang mendatangkan sejahtera dan damai bagi bangsa.

Betapa saya mengapresiasi sape’, alat musik apik dan menarik karya leluhur suku Dayak itu! Sape’ memberi melodi tenteram, nyaman, dan damai yang dapat kita ambil pula hikmahnya untuk kehidupan sehari-hari di tengah bangsa dan negara. Dan dengan semangat apresiasi persatuan dalam Sumpah Pemuda, saya mengajak kaum muda Indonesia untuk mengingat dan menjaga karya-karya jenius leluhur seperti sape’ supaya jangan hilang ditelan zaman.

Ya, sebagaimana sape’ menghasilkan melodi indah bagi para pendengarnya, demikianlah kiranya kaum muda Indonesia menghasilkan “nada-nada” indah bagi bangsa dan dunia.

.

Rizky adalah seorang penyiar radio yang tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat.

.

Catatan

1 Naik Dango (“naik dangau”) adalah upacara adat masyarakat Dayak di Kalbar yang digelar setahun sekali untuk mensyukuri hasil panen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *