Berkat Karunia, Patut Disyukuri

Oleh Bunga Siagian

Betapa kita tidak bersyukur/Bertanah air kaya dan subur/Lautnya luas, gunungnya megah/Menghijau padang, bukit, dan lembah/Itu semua berkat karunia/Allah yang agung mahakuasa1

Lagu dengan nada pentatonik yang digubah oleh Subronto Kusumo Atmodjo (1929-1982) itu acap berkumandang dalam ibadah mingguan atau persekutuan umat Kristen di Indonesia. Memadukan kecintaannya kepada tanah air Indonesia serta kepiawaiannya memadukan irama dan kata, Subronto sering menciptakan lagu bertema keindonesiaan, bahkan saat ia menjalani hukuman sebagai tahanan politik di Pulau Buru.2 Lagu “Betapa Kita Tidak Bersyukur” dibuatnya dua tahun setelah ia dibebaskan pada tahun 1977.3

Melalui lagu tersebut, ia ingin mengajak kita, penduduk Indonesia, mensyukuri tanah air, lautan, pegunungan, padang, bukit, lembah sebagai berkat karunia Allah. “Berkat karunia” adalah segala hal yang diberikan Tuhan kepada kita, yakni hal-hal yang membawa kebaikan dalam hidup manusia. Syukur kepada Allah! Kita lahir atau berada di negeri yang tumpah ruah dengan berkat karunia: Indonesia.

Berkat karunia itu tampak jelas, seperti kata Subronto, dalam kekayaan dan kesuburan tanah air. Kekayaan ini dibuktikan oleh limpahnya sumber daya alam yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Selain bebatuan berharga (yang saat ini menjadi tren), negeri kita memiliki beragam barang tambang lain. Papua, misalnya, memiliki emas kualitas terbaik di dunia. Blok Natuna (di Riau) dan Blok Cepu (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia.4 Astaga, betapa kayanya Indonesia!

Dan sebagai “untaian zamrud khatulistiwa,” tanah Indonesia terkenal subur di padang, bukit, lembah dan hamparan air laut Indonesia terluas di dunia. Itulah sebabnya pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan perikanan Indonesia memiliki hasil berlimpah serta berkualitas terbaik. Wajar saja, Koes Plus pernah berujar dalam lagunya: “Tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”5 Inilah berkat karunia itu!

Walakin, berkat karunia Indonesia belum disyukuri dengan sepatutnya hingga saat ini. Emas kualitas terbaik kita tak dikelola sedemikian rupa sehingga hanya memperkaya negara lain. Cadangan gas alam kita pun dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Hasil kebun teh dan kopi Indonesia lebih banyak diekspor dan kembali lagi kemari dengan merek dan harga yang jauh lebih mahal. Buruh kebun kakao di Indonesia pun bisa-bisa jadi seperti buruh kebun kakao di Pantai Gading yang sama sekali tidak tahu bahwa biji kakao yang dihasilkannya menjadi produk coklat berharga mahal dan begitu kaget karena enaknya saat mencoba pertama kali.6

Selain tak terkelola, tanah air kita malah dirusak oleh tangan kita sendiri: penebangan hutan secara liar, penggundulan hutan yang mengakibatkan banjir. Selain itu, ikan dan hasil laut kita kerap dicuri kapal/nelayan asing. Minyak bumi kita pun disinyalir akan habis. Belum lagi pencemaran udara, air, dan tanah yang masih terus terjadi. Jika semua itu dibiarkan saja, tak ayal lagi berkat malah berubah menjadi kutuk bagi kita.

Tentu kita tidak menginginkan kutuk. Jadi, sebagaimana dinyatakan Subronto dalam lagunya, syukurlah yang sepatutnya menjadi tanggapan atas berkat karunia yang kita terima. Tanah air beserta aneka sumber daya alamnya harus dikelola—dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan—dengan baik sebagai wujud syukur kita.

Syukur itu tak bisa tidak diwujudkan dalam keseriusan pemerintah dan rakyat Indonesia mengurus tanah air. Pembelajaran iptek bertahun-tahun dari negara/orang asing harus diterapkan secara mandiri dan tepat guna di sini. Indonesia harus menjadi pengolah, bukan sekadar penghasil, bahan mentah sehingga makmur sebagai produsen barang jadi. Ketika itu terjadi, kaya-subur Indonesia akan nyata bagi seluruh penduduknya.

Seiring pertambahan usia, selalu ada ucapan syukur. Begitu juga kita bersyukur atas 70 tahun usia kemerdekaan Indonesia. Mari kita wujudkan syukur atas berkat karunia Allah dalam tindak nyata mengelola tanah air. Jangan sampai lagu Subronto dipahami orang dengan arti “betapa kita tidak (kunjung) bersyukur bertanah air kaya dan subur”!

.

Bunga Siagian adalah seorang pengacara publik yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan:

1 Subronto Kusumo Atmodjo. “Betapa Kita Tidak Bersyukur,” lagu nomor 337 dalam Kidung Jemaat. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1994.

2 Lihat “Riwayat Hidup Subronto Kusumo Atmojo” dalam blog Subronto Kusumo Atmojo. <http://subrontokusumoatmojo.blogspot.com/2009/07/riwayat-hidup-subronto-kusumo-atmojo_06.html>.

3 Subronto menjadi tahanan politik di Pulau Buru dari tahun 1970-1977. Lihat “Riwayat Hidup Subronto Kusumo Atmojo.” Lagu “Betapa Kita Tidak Bersyukur” diciptakannya pada tahun 1979. Lihat Kidung Jemaat nomor 337.

4 Lihat “Kekayaan Alam yang Tak Dimiliki Negara Lain” dalam situs Pusaka Indonesia. <http://www.pusakaindonesia.org/10-kekayaan-alam-indonesia-yang-tak-dimiliki-negara-lain/>.

5 Lagu “Kolam Susu” oleh Koes Plus yang liriknya dapat dilihat, antara lain, di situs Kapan Lagi. <http://kapanlagi.com/lirik/artis/koes_plus/kolam_susu>.

6 Lihat “5 Cerita Pedih Nasib Buruh dari Seluruh Dunia” dalam situs Boom Bastis. <http://boombastis.com/2015/05/01/nasib-buruh-seluruh-dunia/>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *