Salam sejahtera dan salam merdeka di bulan delapan 2015, Sidang Pembaca!
Dikaruniai Allah negeri subur-makmur berjulukan “untaian zamrud khatulistiwa” tentulah merupakan tuah tiada tara bagi kita, orang Indonesia. Apalagi Allah juga berkenan memandu negeri indah-permai ini ke usia 70 tahun. Banyak peristiwa telah dialaminya di lintasan masa dan dalam semua itu kita bersyukur kepada Allah karena negeri kepulauan kita masih bersatu dan berdaulat di jagat.
Komunitas Ubi (Kombi) turut bersukacita bersama penduduk seantero Indonesia di titik tujuh dasawarsa kedaulatan dan kesatuan “zamrud khatulistiwa.” Karenanya, tujuh peladang dikerahkan untuk mengerjakan tujuh tulisan perenungan khusyuk tentang tanah air. Gagasan masing-masing tulisan dikembangkan dari tujuh lagu kebangsaan yang memuja-muji negeri Indonesia.
Berdasarkan lagu “Betapa Kita Tidak Bersyukur” karya Subronto Kusumo Atmojo, Bunga Siagian mengajak kita merenung bahwa syukur adalah tanggapan yang tepat atas kekayaan tanah air. Dan syukur ini harus diwujudkan dalam tindak nyata melindungi, melestarikan, dan memanfaatkannya. Berdasarkan lagu “Indonesia Subur” karya Mohammad Syafei, Daniel Siahaan membawa kita merenung bahwa cinta kepada tanah air mesti membuahkan kerja keras dan pengorbanan. Tangan, otak, dan hati harus mengelola negeri zamrud ini secara menyeluruh.
Bertumpu pada lagu “Indonesia Tumpah Darahku” karya Ibu Sud, Robin Padilla mendorong kita merenungkan kewajiban mengharumkan tanah pusaka Indonesia. Kabar dan karya baik dari negeri zamrud ini harus tersebar ke seluruh dunia. Bertumpu pada lagu “Tanah Tumpah Darahku” karya Cornel Simanjuntak dan Sanusi Pane, S.P. Tumanggor mengimbau kita merenungkan kesetiaan, hormat, dan curah daya bagi negeri. Tanpa semua itu, segala ikrar, sesumbar, dan jargon tentang membangun tanah air adalah hampa belaka.
Beralaskan lagu “Nyiur Hijau” karya Maladi, Bill Hayden mengundang kita merenung tentang rasa kagum dan bangga akan tanah tumpah darah. Inilah rasa yang menggerakkan kerja keras untuk memastikan kemakmuran dan kesejahteraan segenap bangsa. Beralaskan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki, Victor Sihombing menggugah kita merenung tentang rasa cinta dan pemujaan kepada tanah air. Inilah rasa yang melandasi tanggung jawab dalam memastikan keelokan dan kemuliaan negeri zamrud terpelihara selamanya.
Bertopang pada lagu “Padamu Neg’ri” karya Kusbini, Lasma Panjaitan meminta kita merenungkan pengabdian total kepada tanah air. Bukti pengabdian itu adalah bakti seluruh jiwa dan raga demi kejayaan negeri zamrud Indonesia. Ya, “bagimu ne’gri jiwa raga kami” adalah pernyataan yang selalu relevan bagi putra-putri Indonesia, generasi demi generasi.
Demikianlah lagu-lagu itu bukan sekadar untuk dinyanyikan, tapi juga untuk dihidupi. Perenungan-perenungan itu bukan sekadar untuk dipikirkan, tapi juga untuk ditindaklanjuti dengan karya. Dan mengiringi semuanya adalah doa-doa khusyuk. Semoga Allah memandu Indonesia kita di segala tahun dan masa mendatang. Semoga Allah menggerakkan dan memberkati setiap daya upaya untuk membangunkan jiwa dan badan kita bagi Indonesia raya. Semoga Allah menaungi pulau-pulau zamrud kita sehingga menguntai permai sampai selama-lamanya di khatulistiwa.
Selamat ber-Ubi.
Penjenang Kombi