Salam sejahtera di bulan dua belas 2015, Sidang Pembaca!
Selagi suasana Natal kembali merembesi jagat, kita dibawa oleh berbagai kidung dan khotbah Natal untuk mengapresiasi kasih Allah yang nyata dalam kedatangan Kristus, Juruselamat kita. Ini sudah sepatutnya. Namun, Natal sesungguhnya bukan melulu tentang kasih, dan demikian juga kekristenan. Ketika Natal dan kekristenan hanya diidentikkan dengan kasih, kita mendapati gambaran yang timpang tentang sosok dan sikap Allah terhadap dunia berdosa.
Natal juga tentang keadilan Allah. Kalau bukan karena Allah mahaadil, sehingga harus menghukum dosa, Kristus tak akan pernah diutus-Nya untuk lahir dan mati menanggung hukuman bagi kita. Maka kali ini Komunitas Ubi (Kombi) ingin merayakan Natal dengan mengenang keadilan Allah, dalam harapan bahwa Natal-Natal berikutnya bisa kita rayakan dengan apresiasi berimbang terhadap kasih dan keadilan ilahi. Lima peladang menuturkan kisah keadilan Allah dalam Natal.
“Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita,” kutip Lasma Panjaitan, “oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika masih berdosa” (Rom. 5:8). Berdasarkan ayat itu ia memaparkan bagaimana Kristus datang untuk mati menggenapi keadilan Allah yang menuntut hukuman atas dosa. Riwayat Kristus adalah riwayat tentang kasih dan keadilan Allah yang selaras berdampingan.
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,” petik Victor Samuel, “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Bertumpu pada ayat itu ia mengingatkan bahwa manusia berdosa binasa lantaran Allah mahaadil. Melalaikan keadilan ilahi hanya akan menjinakkan kekristenan.
“Di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan,” kutip Viona Wijaya, “yaitu pengampunan dosa menurut kekayaan kasih karunia-Nya” (Ef. 1:7). Berpijak pada ayat itu ia menguraikan bagaimana penumpahan darah Kristus mengungkapkan keadilan Allah yang memurkai dosa. Penebusan tidak boleh kita sederhanakan sehingga identik dengan kasih Allah belaka.
“Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka,” petik S.P. Tumanggor, “dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka” (Ibr. 8:12). Bertopang pada ayat itu ia menerangkan bahwa Allah mengutus Kristus karena belas kasihan, tapi pengutusan ini untuk memuaskan tuntutan keadilan-Nya atas dosa. Umat Kristen harus mewartakan sosok Allah secara utuh: mahakasih dan mahaadil.
“Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah,” kutip Bunga Siagian, “tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh. 4:10). Beralaskan ayat itu ia mengulas bagaimana pendamaian harus dibuat Kristus karena keadilan ilahi menjatuhkan hukuman atas dosa. Kasih ala Alkitab adalah kasih yang bersanding dengan keadilan.
Kelima ayat yang dikupas para peladang itu melukiskan kesejatian makna Natal: Allah mengutus Kristus ke dunia karena kasih-Nya untuk menanggung hukuman yang dijatuhkan atas dosa manusia karena keadilan-Nya. Jadi, keadilan ilahi menggamit kasih ilahi, dan kasih ilahi memuaskan keadilan ilahi. Maka biarlah keduanya, Sidang Pembaca, kita apresiasi dengan segenap jiwa selagi genta-genta Natal berdentang di seputar bola dunia.
Selamat ber-Natal dan selamat ber-Ubi.
Penjenang Kombi