Keadilan Ilahi dan Kasih Ekstrem

Oleh S.P. Tumanggor

Natal bukan melulu tentang kasih, walau kita, orang Kristen, mungkin menginginkannya demikian. Firman Allah menjelma dan lahir di dunia bukan melulu karena kasih, walau itulah yang dominan dikumandangkan lewat berbagai khotbah dan kidung Natal. Jika kita menjadikan Natal melulu tentang kasih, kita menyampaikan pesan yang keliru kepada dunia.

Natal juga tentang murka dan keadilan Allah. Firman Allah menjelma untuk hadir di antara manusia berdosa yang dimurkai Allah. Yesus Kristus, Firman yang menjelma itu, lahir di Betlehem untuk mati berkorban di Golgota karena tuntutan keadilan Allah atas kesalahan manusia harus dipuaskan.

Dosa/kesalahan memang telah menjadi fakta hidup kita sejak leluhur pertama kita berdosa dengan melanggar titah Allah. Mereka mewariskan tabiat berdosa kepada kita sehingga kita semua pun kerap melanggar titah Allah. Karena Allah mahaadil, Ia tak bisa mengabaikan pelanggaran. Pelanggar harus dihukum (dan hukumannya adalah kebinasaan) atau dicarikan pihak yang mau dan layak menanggung hukumannya.

Kristus tampil sebagai pihak yang mau dan layak itu. Ia turun ke bumi untuk naik ke kayu salib dan menanggung hukuman atas pelanggaran-pelanggaran kita. Allah sendiri yang mengatur hal itu agar ada jalan keluar bagi masalah pelik kita dan agar Ia dapat berkata tentang kita, “Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka” (Ibr. 8:12).

Maka Natal memang tentang kasih, tentang belas kasihan Allah, tapi sekaligus juga tentang murka ilahi atas dosa/kesalahan kita dan tentang pemuasan keadilan Allah. Atas nama belas kasihanlah Allah mengutus Kristus, tapi pengutusan ini untuk memuaskan keadilan-Nya juga.

Sebab itu kita tak bisa cuma berbicara tentang Allah mahakasih—dalam peristiwa Natal dan dalam segala sesuatu. Kita harus berbicara juga tentang Allah mahaadil. Wajib dirombak kebiasaan mimbar-mimbar kita yang mengajarkan kasih Allah secara “ekstrem,” seakan-akan Allah hanya mau mencintai, mengampuni, memaklumi orang berdosa, dan tidak mau memurkai, menghukum, membinasakannya. Kebiasaan tersebut berakibat buruk kepada Gereja dan dunia.

Akibat kasih ekstrem, banyak orang Kristen terseret arus humanisme sekuler ala Barat, yang mendaulat manusia—bukan Allah—sebagai ukuran segala sesuatu. Itu bisa terjadi karena humanisme sekuler pun menggandrungi ide kasih minus murka dan keadilan ilahi. Kasih diterjemahkannya jadi kebebasan untuk berbuat apa saja (kumpul kebo, bikin industri porno, menyembah setan, dll.) sepanjang tidak merugikan/menzalimi manusia—tak peduli jika Allah dirugikan dan hukum-Nya dizalimi.

Bahwa humanisme sekuler bisa muncul dan menguat di dunia Barat, yang sejak lama berpenduduk mayoritas Kristen, mengungkapkan kegagapan banyak orang Kristen di sana dalam membedakan kasih terjemahan itu dengan kasih kristiani yang “tidak bersukacita karena ketidakadilan” (1 Kor. 13:6). Kegagapan itu menjadi keniscayaan manakala keadilan ilahi tidak turut diwartakan bersama kasih ilahi.

Akibat kasih ekstrem pula banyak dari kita hidup secara serampangan. Kita mengira bahwa dosa/kesalahan adalah soal enteng, karena Tuhan kita mahakasih—sampai taraf mengutus Kristus datang dalam peristiwa Natal untuk menangani hukuman atas pelanggaran kita. Kita ingat terus fakta belas kasihan-Nya, tapi kita lupakan fakta keadilan-Nya yang menuntut pertanggungjawaban atas setiap perbuatan kita—khususnya setelah kita mengenal kasih-Nya.

Dan akibat kasih ekstrem, dunia jadi tidak mengenal Allah secara utuh sebagai yang mahakasih sekaligus mahaadil. Dunia jadi berani menggugat Allah: “Jika Allah ada dan mahakasih, mengapa ada penyakit kangker, mengapa ada anak kecil yang diperkosa dan dibunuh?” Tak ragu lagi, gugatan macam itu mendapat bahan bakar dari mimbar-mimbar yang gemar menekankan kasih Allah tapi tidak gemar mengupas keadilan Allah atas dosa dan hubungannya dengan penderitaan di bumi.

Ya, kita tidak bisa cuma berbicara tentang Allah mahakasih; kita harus berbicara juga tentang Allah mahaadil. Kita wajib mewartakan sosok Tuhan kita secara utuh kepada dunia. Dan masa raya Natal adalah saat yang istimewa untuk melakukannya. Mari kita maklumkan kepada dunia bahwa ada pemulihan dalam Kristus, yang datang diutus Allah atas nama belas kasihan untuk memuaskan keadilan ilahi.

. 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *