Oleh Efraim Sitinjak
“Aku mengambil sumpah ini demi persaudaraan di antara orang Turki dan orang Kurdi.” 1 Pada tahun 1991 seisi gedung parlemen Turki menjadi ricuh lantaran perkataan Leyla Zana itu. Pasalnya Leyla, wanita pertama dari suku Kurdi yang masuk parlemen Turki, mengucapkannya di akhir pengambilan sumpahnya sebagai anggota parlemen—dan dengan menggunakan bahasa Kurdi yang terlarang di Turki. Karena peristiwa itu Leyla dijatuhi hukuman penjara 14 tahun.2
Meski orang Kurdi menyusun sekitar 15-20% penduduk Turki, bahasa mereka secara resmi dilarang digunakan di Turki pada tahun 1923-1991. Mereka diharuskan memakai bahasa Turki selaku bahasa persatuan. Itu dilakukan pemerintah Turki untuk melebur suku Kurdi menjadi bangsa Turki. Program peleburan tersebut menjadikan baju adat, cerita rakyat, lagu, dan nama khas Kurdi terlarang pula.3 Maka Leyla, yang memakai bahasa Kurdi dalam pengambilan sumpahnya, menunjukkan keberanian berbahasa akibat kebanggaan terhadap jatidiri.
Berbeda dengan Negara Turki, Negara Indonesia tidak pernah mengadakan program untuk melebur suku-suku Nusantara menjadi bangsa Indonesia. Kekhasan suku-suku Nusantara, yang terungkap dalam baju adat, cerita rakyat, nama khas, dan bahasa daerah, dibebaskan hidup dan mewarnai jatidiri keindonesiaan. Ini bisa terjadi karena tekad anak-anak muda Nusantara sendiri yang tertuang dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
Dari berbagai suku Nusantara (Batak, Jawa, Betawi, Ambon, dsb.), anak-anak muda itu berbangga atas jatidiri suku mereka dan juga atas jatidiri bangsa Indonesia. Mereka paham bahwa jatidiri Indonesia tidak mewujud untuk meniadakan jatidiri suku mereka. Karenanya, mereka berani berikrar untuk “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Ikrar ini menonjolkan satu bahasa sebagai alat perhubungan antardaerah. Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang menghubungkan, bukan satu-satunya bahasa di Nusantara.
Bahkan setelah merdeka, pemerintah Indonesia tidak pernah mematikan bahasa suku-suku Nusantara. Bahasa Indonesia dan bahasa daerah dengan bebas bisa digunakan di ruang umum, sekolah, dan forum-forum. Kondisinya berbeda di Turki. Meski pada tahun 1991 pemerintah Turki mencabut Peraturan Pelarangan Berbahasa (terbitan tahun 1983), bahasa Kurdi masih terlarang digunakan di lembaga-lembaga publik seperti pengadilan dan sekolah. Hingga kini, bahasa Kurdi masih tidak disukai di ruang umum di Turki, biarpun pengurangan pembatasannya telah diperkenalkan pemerintah sejak tahun 2003.4
Tentunya kesempatan Leyla Zana dan orang Kurdi untuk menunjukkan jatidiri lewat bahasa tidak sebesar kesempatan orang Indonesia. Namun, kebanggaan berbahasa Indonesia saat ini, khususnya di antara para pejabat, tidaklah sebesar kebanggaan Leyla ataupun pemuda Indonesia 1928. Para pejabat Indonesia justru sering mencontohkan penggunaan bahasa Indonesia yang bercampur bahasa asing.5 Bahkan seorang presiden Indonesia pernah berpidato di dalam negeri dengan banyak kata dan istilah Inggris. Keberanian dan kebanggaan berbahasa Indonesia tidak tampak dalam pidatonya.
Itu berseberangan dengan teladan Bung Hatta. Ketika berpidato dalam acara penyerahan kedaulatan Indonesia pada tahun 1950 di Belanda, Bung Hatta menggunakan bahasa Indonesia—meskipun ia fasih berbahasa Belanda—untuk menyambut pidato Ratu Juliana yang berbahasa Belanda.6 Keberanian Bung Hatta untuk berbahasa Indonesia berpangkal pada kebanggaannya terhadap jatidiri Indonesia.
Kondisi Indonesia yang berbeda dengan Turki seharusnya membuat para pejabat Indonesia lebih leluasa dan suka berbahasa Indonesia. Mereka harus menjadi suri teladan bagi rakyat dalam hal bangga dan berani berbahasa Indonesia. Mereka harus menunjukkannya ketika berbicara, berpidato, memberi sambutan, menamai program pemerintah, dsb. Mereka harus memamerkan keunggulan bahasa Indonesia selaku bahasa dari suatu bangsa besar yang bersatu padu meski terdiri dari beragam budaya dan bahasa.
Leyla Zana telah memperlihatkan kepada dunia arti penting bahasa sebagai bagian dari jatidiri. Begitu pula Bung Hatta di tahun 1950 dan kaum muda Nusantara di tahun 1928. Maka bangsa Indonesia hari ini patut terus bangga dan berani menjunjung bahasa Indonesia, sebab itulah bahasa yang diikrarkan demi persaudaraan di antara suku-suku Nusantara.
.
Efraim Sitinjak adalah seorang pegawai lembaga bantuan kemanusiaan yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 “Restrictions on the Use of the Kurdish Language” dalam situs Human Rights Watch. <https://www.hrw.org/reports/1999/turkey/turkey993-08.htm>.
2 Amy Goodman. “Kurdish Political Prisoner Leyla Zana Released after a Decade in Jail” dalam situs Democracy Now. <http://www.democracynow.org/2004/6/10/kurdish_political_prisoner_leyla_zana_released>.
3 “Kurdish Culture” dalam situs The Kurdish Project. <http://thekurdishproject.org/history-and-culture/kurdish-culture/>.
4 Nadine Shaker. “After Being Banned for Almost a Century, Turkey’s Kurds Are Clamoring to Learn Their Own Language” dalam situs Muftah .<http://muftah.org/turkey-kurds-learning-kurdish-ban/#.V–XrPmLS02>.
5 Nanien Yuniar. “Bahasa Indonesia meluntur?” dalam situs Antara News. <http://www.antaranews.com/berita/511760/bahasa-indonesia-meluntur>.
6 Muhammad Subarkah. “Silap Bahasa, Hilang Bangsa” dalam Republika terbitan 28.06.2011.