Hidup Mati Bahasa, Hidup Mati Bangsa

Oleh Bunga Siagian

Orang Bask (Ing.: Basque), yang hidup di kawasan utara Spanyol (dan barat daya Perancis), sempat menghadapi ancaman kematian identitas. Itu terjadi ketika budaya dan bahasa mereka dilarang atas nama nasionalisme Spanyol oleh Francisco Franco, pemimpin Spanyol yang berkuasa pada tahun 1939-1975. Euskara—sebutan untuk bahasa Bask—tidak boleh digunakan “di semua ruang publik dan bahkan untuk percakapan di jalanan.”1 Namun, sebagian orang Bask tetap menggunakannya dengan hati-hati. Mereka tahu bahwa bahasa menentukan kelangsungan identitas mereka.

Ya, hidup mati bahasa memang bisa berarti hidup mati bangsa. Bahasa adalah salah satu unsur terpenting yang membentuk identitas suatu bangsa. Oleh bahasa, budaya (tradisi, memori, cara berpikir dan berekspresi) dihidupkan. Jika bahasa dimatikan, identitas dan budaya bangsa pun dapat ikut mati bersamanya.

Untunglah Indonesia memiliki cerita berbeda. Tahun 1928, nasionalisme Indonesia digagas kaum muda Nusantara melalui Sumpah Pemuda. Salah satu butir sumpah/ikrar itu adalah “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Jadi, meski ditentukan sebagai alat komunikasi pemersatu bangsa, bahasa Indonesia tidak pernah diniatkan untuk mematikan bahasa-bahasa daerah di tanah air kita, seperti yang sempat dialami oleh bahasa Bask di Spanyol. Bahasa Indonesia diinginkan hidup bersama bahasa-bahasa daerah dan sama-sama menghidupkan bangsa Indonesia yang majemuk budaya.

Namun, niat dan gagasan hebat kaum muda Nusantara itu mendapatkan tantangan besar hari ini. Generasi muda bangsa terkini malah lebih gemar menggunakan bahasa gaul yang hanya dimengerti oleh kalangan terbatas. Banyak orang Indonesia lebih bangga akan bahasa asing, Inggris misalnya, daripada bahasa Indonesia. Sampai-sampai seorang pengamat budaya asal Perancis memvonis bangsa Indonesia mengidap penyakit xenomania.2 Belum lagi fenomena sekolah internasional yang mengutamakan bahasa Inggris dan mengesampingkan bahasa Indonesia.3

Jika bahasa Bask hendak dimatikan oleh orang luar, bahasa Indonesia malah sedang dimatikan oleh kita sendiri!

Pada tahun 1975, ketika kekuasaan Francisco Franco berakhir, bahasa Bask seakan-akan kembali menemukan hidup karena dapat digunakan secara bebas. Untuk mempertahankan kehidupan itu, orang Bask pun menggencarkan pendidikan Euskara.4 Orang Indonesia seharusnya memiliki kesigapan dan semangat serupa dalam menggelar dan menaruh nilai pada pendidikan bahasa Indonesia (dan bahasa daerah) guna mempertahankan hidup bangsa.

Selain itu, setidaknya ada empat hal yang dapat kita lakukan untuk menghidupkan bahasa seperti mandat Sumpah Pemuda. Pertama, pemerintah perlu memberikan apresiasi dan dukungan kepada orang Indonesia yang mempromosikan bahasa Indonesia lewat media apa pun. Tujuannya agar bahasa Indonesia terus menjadi tren. Kedua, bangsa Indonesia perlu menempa dan melahirkan ahli-ahli bahasa yang tidak hanya paham teori-teori bahasa Indonesia tapi juga mahir menggugah dan menyebarkan kecintaan kepada bahasa Indonesia.

Ketiga, kita harus lebih kreatif membentuk istilah-istilah baru yang indonesiawi di berbagai bidang kehidupan kontemporer sehingga kita tidak lagi perlu menggunakan istilah-istilah asing. Keempat, orang tua Indonesia perlu melatih anak-anaknya menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Bagaimanapun, rumah adalah lingkungan pendidikan terawal.

Jika harapan orang Bask demi kehidupan Euskara akhirnya dapat terwujud, maka orang Indonesia punya harapan lebih besar yang dapat diwujudkan demi kehidupan bahasa Indonesia. Kita dapat berharap bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional.5 Ini sangat masuk akal karena bahasa Indonesia dituturkan oleh 200 juta jiwa lebih dan tergolong mudah dipelajari dibanding bahasa besar lain. Terserah pada kitalah untuk beraksi mewujudkan harapan hebat itu.

Dalam sebuah filem dokumenter berjudul The Mystery of the Basques, seorang tokoh Bask berujar, “Tergantung pada kamilah untuk merawat identitas kami. Aksi-aksi utama kami adalah bahasa kami. Bahasa kamilah yang menjadikan kami orang Bask.”6 Orang Bask sadar betul bahwa hidup mati bahasanya menentukan hidup mati bangsanya. Dalam semangat Sumpah Pemuda, kita pun harus menyadari hal serupa dan mengambil aksi-aksi untuk menolak matinya bangsa dengan menghidupkan bahasa Indonesia.

Ya, bahasa kitalah yang menjadikan kita orang Indonesia.

.

Bunga Siagian adalah seorang pengacara publik yang bermukim di DKI Jakarta.

.

Catatan

1 Gloria P. Totoricaguena. Identity, Culture, and Politics in the Basque Diaspora. Reno, Nevada: University of Nevada Press, 2004, hal. 41.

2 Lihat Rizky Sekar Afrisia. “Alasan Bahasa Indonesia Terasing di Negeri Sendiri” dalam situs CNN Indonesia. <http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151106192127-277-90009/alasan-bahasa-indonesia-terasing-di-negeri-sendiri/>. Xenomania adalah kecintaan berlebihan terhadap hal-hal dari luar negeri/asing.

3 Lihat “RSBI Hambat Cinta Bahasa Indonesia” dalam situs Berita Satu. <http://www.beritasatu.com/nasional/44427-rsbi-hambat-rasa-cinta-bahasa-indonesia.html>.

4 Ethnics Group of Europe: An Encyclopedia/penyunting: Jeffrey E. Cole. Santa Barbara, California: ABC-CLIO, LLC, 2011, hal. 40.

5 Lihat Rizki Gunawan. “Mimpi Jadi Bahasa Internasional” dalam situs Liputan 6. <news.liputan6.com/read/2147790/mimpi-jadi-bahasa-internasional>.

6 Lihat “The Mystery of Basques” dari The Guardian dalam situs Youtube. <https://www.youtube.com/watch?v=I9Fw82uYw14>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *