Oleh Victor Samuel
“Kamu adalah garam dunia. … Kamu adalah terang dunia,” kata Yesus kepada murid-murid-Nya (Mat. 5:13-14). Maka Gereja, selaku umat pengikut Yesus, seharusnya menggarami dan menerangi dunia—termasuk budaya bangsa-bangsa di dalamnya. Ini dapat diwujudkan dengan membangun keselarasan antara budaya dan kekristenan. Untuk itu Gereja harus, kalau mengutip perkataan Sam Tumanggor, memancangkan “sikap positif-kritis terhadap budaya.”1
Contohnya di Indonesia bisa dilihat dalam bangunan Gereja Santo Fransiskus Asisi, sebuah gereja Katolik di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Memakai bentuk rumah adat Karo, lengkap dengan gerga, cuping, dan ornamen Karo lainnya, gereja ini menyelaraskan kekristenan dengan budaya Karo. Setidaknya dua hal dari penyelarasan itu bisa diulas sebagai teladan baik tentang Gereja yang menjadi garam dan terang bagi budaya.
Pertama, di tahap awal, pembangunan gereja melibatkan runggu sangkep nggeluh rakut sitelu, yakni musyawarah adat Karo yang biasa diadakan sebelum membangun rumah. Runggu itu diadaptasi dalam bentuk lokakarya yang dihadiri bupati dan ahli-ahli untuk membicarakan pemaduan arsitektur gereja dengan ragam hias Karo.2 Kedua, kepala kerbau yang biasa dipasang di anjungan atap rumah Karo diganti dengan patung malaikat, dan salib dipasang di titik tertinggi gereja.3 Kepala kerbau merupakan simbol pemujaan tertinggi dalam agama lama orang Karo.4
Adaptasi runggu mencontohkan penggaraman budaya. Sebagaimana garam melebur dalam makanan dan mengawetkannya (mempertahankan mutu dan bentuk makanan), demikianlah Gereja Santo Fransiskus meleburkan kekristenan ke dalam budaya runggu, mempertahankannya, bahkan menyakralkannya menjadi “ritual” kristiani. Gereja selaku garam perlu bersikap positif terhadap budaya, dalam arti menerima hal-hal dalam budaya yang memang bisa diselaraskan dengan kekristenan.
Rasul Paulus juga melakukannya. Ia memandang positif pepatah-pepatah para filsuf dan pujangga Yunani kafir, bahkan mengutipnya dalam surat-suratnya yang sakral. Siapa menyangka bahwa kalimat Paulus, “Akar segala kejahatan ialah cinta uang,” (1 Tim. 6:10) adalah bentuk adaptasi dari “Metropolis segala kejahatan ialah cinta uang” yang diujarkan Bion dari Boristenes, filsuf Yunani abad ke-4 SM?5
Penggantian kepala kerbau mencontohkan penerangan budaya. Sebagaimana terang membuat kita melihat dengan jelas, demikianlah Gereja Santo Fransiskus menunjukkan dengan jelas penyembahan kepada Tuhan yang sejati menurut kekristenan. Itu dilambangkan oleh wujud malaikat (utusan Allah) dan salib (simbol karya penebusan Allah). Kepala kerbau dicopot karena berkaitan kuat dengan penyembahan ilah dalam agama lama Karo.6 Gereja selaku terang perlu bersifat kritis terhadap budaya, dalam arti menyadari kekurangan-kekurangan budaya dan menyempurnakan budaya selaras dengan kekristenan.
Salomo juga melakukannya. Diamanatkan Allah untuk membangun Bait Allah, raja Israel itu menggunakan secara kritis seni budaya yang biasa digunakan pula oleh bangsa-bangsa sekawasan (di Asia Barat) yang adalah penyembah ilah-ilah lain. Hiasan bermotif binatang seperti lembu dan singa diterapkan pada sarana-sarana penunjang ibadah di Bait Allah,7 tetapi hal seperti tiang berhala sama sekali tidak dimanfaatkan atau diadaptasi.
Contoh-contoh dari Alkitab dan Gereja Santo Fransiskus itu mengajarkan bahwa Gereja memang tidak bisa menerima atau menggusur semua ungkapan budaya. Gereja harus memilah-milah mana yang bisa diserap, perlu diubah, atau harus dibuang, selaras dengan Alkitab dan kebutuhan jemaat setempat. Penolakan budaya secara membabi-buta adalah kepicikan; penerimaan budaya secara mentah-mentah adalah kenaifan.
Sayangnya, Gereja di Indonesia cenderung menyikapi budaya Nusantara secara negatif-apatis. Bukannya menggarami dan menerangi, Gereja malah mengurangi penggunaan unsur-unsur budaya Nusantara atau memeranginya secara pukul rata. Gereja mengabaikan ungkapan-ungkapan budaya yang sebetulnya bisa diselaraskan dengan nilai-nilai Alkitab, lalu menolak menyerapnya bahkan melarangnya.
Berapa banyak gereja di Indonesia yang berusaha mempelajari budaya lokal dan memanfaatkannya dalam pelayanan gerejani? Bukankah kebanyakan gereja masih tergila-gila hanya kepada seni arsitektur, musik, dan teologi Barat? Padahal penyelarasan iman Kristen dengan budaya Nusantara dapat membuat orang Nusantara lebih mudah menerima dan menghayati kekristenan sebab mereka dapat tetap mempertahankan identitas budaya mereka.
Menjadi Kristen memang tidak berarti menjadi orang dari budaya lain. Gereja di Indonesia harus menunjukkan gagasan hakiki itu dengan menggarami dan menerangi—bukan mengurangi dan memerangi—budaya Nusantara.
.
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Sam Tumanggor. Tuhan Gunung atau Tuhan Alam Semesta?: Wawasan Nasrani tentang Daulat Allah atas Semesta. Jakarta: Literatur Perkantas, 2011, hal. 129.
2 Bethlehem Ketaren. “Sejarah Gereja Inkulturatif St. Fransiskus Asisi Berastagi” dalam blog Kanam-kanam. <http://kanam-kanam1.blogspot.co.id/2011/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html>.
3 Dwi Lindarto Hadinugroho dan Philip Prusihean Sembiring. “Identifikasi Elemen-elemen Arsitektur Karo pada Gereja Khatolik Inkulturatif St. Fransiskus Asisi Berastagi” (tugas akhir mata kuliah). Medan: Universitas Sumatera Utara, 2015, hal. 9.
4 Sri Ulina C. Ginting. “Adaptasi Budaya Karo Terhadap Tipologi Gereja Katolik” (skripsi sarjana). Medan: Universitas Sumatera Utara, 2016, hal. 40; Darwan Prinst. Adat Karo. Medan: Bina Media Printis, 2004, dikutip oleh Fuad Erdansyah, “Simbol dan Pemaknaan Gerga Pada Rumah Adat Batak Karo di Sumatra Utara” dalam Dewa Ruci, vol. 7, no. 11, 2011, hal. 135-137.
5 William Beveridge. Private Thoughts upon Religion, and a Christian Life. London: T.C. Hansard, 1822, hal. 248.
6 Sri Ulina C. Ginting, hal. 75; Darwan Prinst, Adat Karo.
7 Lihat 1 Raja-raja 7:25, 29.