Sangat Boleh Mempertahankan Budaya

Oleh S.P. Tumanggor

Jika hidup kembali di masa kini, agaknya Kapitan1 Tjioe akan bangga sekali karena rumahnya di kawasan Glodok, Jakarta, masih bertahan hingga sekarang. Meski rumah tokoh Tionghoa masa lalu itu telah berubah fungsi menjadi gereja, bentuknya yang ala Tiongkok tetap sama—waktu rumah-rumah lain yang sekawasan sudah berganti rupa menjadi rumah-rumah mutakhir. Sekarang rumah itu dikenal dengan nama Gereja Katolik Santa Maria de Fatima2 (selanjutkan akan diringkas menjadi “Gereja Santa Maria” saja).

Sebagai tempat ibadah, Gereja Santa Maria menunjukkan kepada kita, orang Indonesia Kristen, bahwa kekristenan sangat bisa mempertahankan budaya suku/bangsa manapun yang ada di dunia. Ini tak terlepas dari sifat sejati kekristenan yang mewadahi keragaman dan mengejar keselarasan antara iman dan budaya. Sayangnya, banyak dari kita lupa akan sifat hebat itu sehingga beranggapan bahwa hanya budaya tertentu—Barat utamanya—yang pantas digunakan untuk memuliakan Allah. Budaya-budaya lain, termasuk budaya-budaya Nusantara, dianggap tak pantas atau malah najis/kafir.

Gereja Santa Maria membantah anggapan itu. Setelah dibeli rohaniwan Eropa Katolik dari tangan keluarga Kapitan Tjioe, rumah bakal gereja itu, yang berarsitektur khas Fukien, Tiongkok Selatan, tidak dirombak sama sekali, hanya dialihfungsikan. Bangunan utamanya dijadikan tempat ibadah, sedang bangunan tambahan di kanan-kirinya masing-masing dijadikan tempat pastor dan kantor administrasi. Atapnya tetap lengkung bergaya ekor walet, dua singa batu “penjaga” tetap tegak di halaman depan, dan sketsel berwarna merah-kuning tetap berdiri di muka pintu utama.3

Ya, merah-kuning/emas, warna-warna khas Tionghoa, sangat menonjol di Gereja Santa Maria. Belum lagi ukiran-ukiran dan motif-motif khas Tionghoa yang merias perabotan seperti mimbar dan altar. Melihat Gereja Santa Maria secara utuh, luar-dalam, kita yang paham hakikat jatidiri budaya di dalam Kristus akan bersyukur dan mengaminkan bahwa ketionghoaan pun dikenan Allah—bahwa orang Tionghoa yang menjadi Kristen tidaklah berhenti menjadi Tionghoa dan bahwa ketionghoaan sangat bisa selaras dengan kekristenan.

Dalam Alkitab, kita menemukan pula tindak memanfaatkan produk budaya dengan mempertahankannya. Bani Israel mempertahankan—alih-alih mencoba membuat sendiri—sistem ukuran yang mereka kenal dari bangsa Mesir,4 bahkan menggunakannya untuk menakar bahan-bahan yang mereka persembahkan kepada Allah. Maka ketika kita mendengar sabda Allah tentang “efa yang betul, hin yang betul” (Im. 19:36), kita tersadar bahwa Allah mengizinkan umat-Nya memanfaatkan produk budaya Mesir (penyembah berhala waktu itu).

Bani Israel pun mempertahankan—alih-alih mengganti—alat-alat musik yang dipakai secara luas di Asia Barat (artinya dipakai oleh bangsa-bangsa pemuja ilah lain juga), bahkan menggunakannya untuk memuji-muji Allah (lihat, misalnya, Mazmur 150). Dan ada alasan kuat bani Israel selalu menggunakan gambus, rebana, suling, atau kecapi dalam bermusik, bukan gamelan, gong, angklung, atau kolintang. Mengapa? Karena gamelan dan kawan-kawannya bersifat najis atau kafir? Bukan, tetapi karena bangsa-bangsa Asia Barat purba tak mengenal atau tak terpikir untuk menciptakan alat-alat musik tersebut. Bambu saja mereka tak tahu!5

Jadi, Alkitab menunjukkan penghargaan terhadap keorisinalan dan kekreatifan yang menghasilkan produk-produk budaya segala suku/bangsa. Alkitab membolehkan, sangat membolehkan, umat Kristen untuk mempertahankan dan memanfaatkan semua itu—sepanjang tidak menyalahi aturan/gagasan apa pun dalam Alkitab. Ini menegaskan sifat sejati kekristenan yang mewadahi keragaman dan mengejar keselarasan antara iman dan budaya. Tak heran kekristenan mengklaim membawa kabar baik untuk semua suku/bangsa. Berbagai produk budaya Tionghoa di Gereja Santa Maria menyambut kabar baik itu!

Gereja Indonesia secara umum harus kembali kepada sifat sejati kekristenan. Kita sangat boleh, bahkan perlu, merekrut kekayaan budaya Nusantara—Tionghoa dan lain-lain—untuk memperkaya ibadah dalam  wujud arsitektur gereja, lagu rohani, alat musik, dsb. Melakukannya bukan berarti kita hendak hidup di masa lalu. Sebaliknya, kita hendak mengaktualkan warisan budaya kita selaras dengan iman kita dan dengan perkembangan zaman—semua dengan berpedoman kepada arahan Alkitab.

Pada tahun 1972, Gereja Santa Maria de Fatima dijadikan bangunan cagar budaya oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.6 Bilakah Gereja Indonesia menjadi cagar bagi limpah ruah ragam budaya Nusantara?

.

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

.

Catatan

1 Kapitan adalah sebutan untuk petinggi komunitas bangsa pendatang di Nusantara pada zaman kerajaan-kerajaan dan zaman penjajahan Belanda. Tugas kapitan adalah bertanggung jawab atas komunitasnya di hadapan pemerintah. Lihat Hadi Suprapto. “Cerita Kapitan China di Batavia” dalam situs Viva. <http://metro.news.viva.co.id/news/read/599773-cerita-kapitan-china-di-batavia>.

2 Nama “Santa Maria de [dari] Fatima” berasal dari kisah tentang tiga anak gembala yang pada awal abad ke-20 mendapat penglihatan tentang Maria, ibu Yesus, di Fatima, sebuah kota di Portugal. Lihat “Fatima” dalam situs Portugal. <https://portugal.com/portugal/cities/fatima>.

3 Afif Farhan. “Nuansa Oriental di Gereja Santa Maria De Fatima” dalam situs Detik. <http://travel.detik.com/read/2011/12/20/145801/1795638/1025/nuansa-oriental-di-gereja-santa-maria-de-fatima>; “A church in the middle of Jakarta’s Chinatown” dalam blog Khrisna’s Pictures and Notes. <https://chris13jkt.wordpress.com/2014/04/20/a-church-in-the-middle-of-jakartas-chinatown/>; Adriani Zulivan. “Jelajah Pusaka Pecinan Petak Sembilan Jakarta” dalam blog From A to Z. <http://adrianizulivan.blogspot.co.id/2013/05/jelajah-pusaka-pecinan-petak-sembilan.html?m=1>.

4 “Weights and Measures” dalam situs Jewish Virtual Library. <http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/judaica/ejud_0002_0020_0_20697.html>.

5 Samuel Tumanggor. Tuhan Gunung atau Tuhan Alam Semesta?: Wawasan Nasrani tentang Daulat Allah atas Semesta. Jakarta: Literatur Perkantas, 2011, hal. 125-126.

6 Afif Farhan, “Nuansa Oriental di Gereja Santa Maria De Fatima.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *