Oleh Herdiana Situmorang
Natal—hari raya kelahiran Yesus Kristus—diperingati orang Papua dengan cara unik. Setelah mengikuti ibadah Natal di gereja, mereka biasa mengadakan pesta bakar batu, yakni kenduri raya memasak daging babi dan sayur mayur di atas batu. Setelah makanan matang, mereka duduk berkeliling untuk menyantapnya bersama-sama dalam suasana penuh sukacita dan senda gurau. Tradisi ini dikenal dengan berbagai sebutan: mogo gapii di Paniai, kit oba isago di Wamena, dan barapen di Biak.1
Pada awalnya, bakar batu berkaitan dengan perdamaian suku-suku yang bertikai.2 Bakar batu menandai berakhirnya perang antarsuku dan dimulainya babak baru kehidupan yang damai dan bersahabat. Karena kentalnya atmosfer sukacita ataupun persahabatan/persaudaraan di dalamnya, bakar batu kemudian meluas kepada pernikahan, kelahiran, kematian, penyambutan tamu terhormat, dan juga hari raya keagamaan seperti Natal.3 Secara khusus, yang belakangan ini cocok sekali karena Natal pun menandai perdamaian raya antara Allah dan dunia/manusia.
Itu kita ketahui dari Alkitab, yang menyatakan bahwa manusia mula-mula telah memilih jalan keberdosaan daripada jalan ketaatan kepada Allah, Sang Pencipta. Akibatnya, manusia—dan dunia yang dikuasakan kepadanya—jadi berseberangan dengan Allah dan butuh perdamaian dengan Allah agar tidak binasa dihukum. Syukurlah, karena kasih, “… Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus …” (2 Kor. 5:19). Inilah kerayaan Natal: Yesus Kristus, jelmaan Firman Allah, lahir di dunia untuk menyelamatkan dunia. Inilah perdamaian yang raya!
Tentu saja perdamaian baru bisa terjadi setelah masalah dibereskan dan pihak-pihak yang bertikai rela menerima satu sama lain. Dalam pesta bakar batu, ternak yang dimasak dan dimakan bersama menjadi pemberes masalah dan memungkinkan suku-suku yang bertikai untuk saling menerima. Dalam perdamaian raya antara Allah dan manusia, Kristus yang mati berkorban di Golgota menjadi pemberes masalah sehingga Allah dapat menerima manusia berdosa yang bertobat dan menerima/mengimani Kristus.
Perdamaian antara Allah dan manusia membuat status kedua pihak berubah: dahulu musuh, kini sahabat; dahulu jauh, kini dekat. Bagi manusia berdosa, dampaknya luar biasa sekali, seperti kata Alkitab, “… kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Kol. 1:21-22).
Sebelum berdamai dengan Allah, manusia berdosa adalah tidak kudus dan penuh cacat cela berupa kedengkian, kebencian, keegoisan, dan ketidakadilan. Tak heran perang, kezaliman, dan kemiskinan merajalela di dunia. Setelah berdamai dengan Allah, ia diberi tabiat baru yang kudus sehingga dapat berbuat baik di dunia. Seperti dalam pesta bakar batu, perdamaian membawa manusia memasuki babak baru kehidupan yang cinta damai dan bersahabat dengan Allah, sesama, dan alam.
Maka kita takjub melihat bagaimana tradisi bakar batu—budaya asli Indonesia—bisa mengungkapkan gagasan Natal. Pesta bakar batu Natal mempribumikan injil dalam konteks keindonesiaan. Kita patut berbangga memiliki tradisi perayaan Natal khas negeri sendiri dan patut melestarikan bahkan menggalakkannya. Daerah-daerah lain di Indonesia tentunya bisa juga menggali tradisi khasnya untuk merayakan Natal.
Bakar batu Natal pun mengilhami kita, yang telah diperdamaikan dengan Allah, untuk menjadi utusan perdamaian-Nya. Ya, orang Kristen dipanggil untuk mengamalkan damai sejahtera yang telah dialaminya. Perbuatan-perbuatan kita harus diarahkan untuk membangun dunia yang damai dan bersahabat dengan cara, misalnya, mudah memaafkan orang lain, lambat marah, ringan tangan menolong yang susah, dan berani menolak penindasan dan ketidakadilan.
Demikianlah Natal bukan semata perayaan tahunan bagi orang Kristen. Lebih dari itu, Natal menandai perdamaian raya antara Allah dan dunia. Kristus yang lahir di Betlehem mengundang kita semua ke “pesta bakar batu” dengan Allah dan mengutus kita membawa pesan perdamaian ke sekitar. Selamat Natal, selamat bersukacita dalam damai sejahtera!
.
Herdiana Situmorang adalah seorang dokter yang bermukim di DKI Jakarta.
.
Catatan
1 Sasmita Siregar. “Bakar Batu di Papua” dalam situs Ini Bangsaku. <http://inibangsaku.com/bakar-batu-di-papua/>.
2 Peter Tukan. “Bakar Batu dan Bayar Kepala Akhiri Perang Suku di Papua” dalam situs Pelita. <http://www.pelita.or.id/baca.php?id=32356>.
3 Sasmita Siregar, “Bakar Batu di Papua.