Oleh S.P. Tumanggor
Bulan Desember di Pulau Flores adalah bulan meriam bambu.1 Sudah menjadi tradisi warga Flores bahwa Natal, hari kelahiran Yesus Kristus, dirayakan pada bulan ujung tahun itu secara gegap gempita dengan meledakkan minyak di tabung bambu sepanjang tiga atau empat ruas dan bergaris tengah sekitar 10 cm.2 Maka bunyi dentam-dentum riuh membahana di kampung-kampung pulau subur di Nusa Tenggara Timur itu. Meriah dan seru!
Semula meriam bambu diletupkan di suatu kampung di Flores apabila ada tokoh besar yang meninggal. Letupannya menjadi tanda penghormatan sekaligus pemberitahuan untuk kampung-kampung lain.3 Ketika meriam bambu kemudian diterapkan pada Natal, kita bisa melihat kecocokannya, sebab Natal pun berbicara tentang tokoh besar—Kristus Sang Juruselamat—yang lahir untuk mati menebus dosa manusia.
Alkitab memaklumkannya begini: “… Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh” (1 Ptr. 3:18). Tokoh besar ini, Kristus Sang Juruselamat, Firman Allah yang menjelma, memang lahir untuk mati, bahkan mati dibunuh, supaya kita—manusia berdosa—dapat dibawa kepada Allah.
Itu mengungkapkan latar Natal dan ajaran pokok kristiani tentang dosa manusia sebagai masalah dunia. Kekristenan memandang dosa telah merusak hubungan manusia dengan Allah, sesama, dan alam. Dunia, tempat tinggal manusia, menjadi kotor dan suram oleh segala dampak dosa manusia: dengki, korupsi, tikai, pembunuhan, pencemaran lingkungan, penyakit, dll. Kristus lahir untuk mati menanggung hukuman atas dosa manusia sehingga siapa yang beriman kepada-Nya luput dari hukuman itu dan dibawa kepada Allah.
Maka meriam bambu tepat digunakan untuk merayakan kedatangan Kristus. Dikatakan bahwa minyak yang diisikan ke dalam tabung bambu itu melambangkan penyucian (dari kekotoran) dan api yang menyulutnya melambangkan terang (yang menghalau kesuraman).4 Dentumnya bisa saja kita maknai melambangkan sorak menang, karena Kristus, tokoh besar Natal, mati untuk menebus dosa manusia dan “oleh kematian-Nya Ia memusnahkan … Iblis, yang berkuasa atas maut” (Ibr. 2:14).
Selaku orang Kristen, sepantasnyalah kita menghayati kenyataan itu manakala kita merayakan Natal. Kristus lahir dan mati untuk memberdayakan kita menghadapi kuasa Iblis dan untuk membebaskan kita dari ketakutan terhadap kematian. Tidak tetap mati, Kristus bangkit pula—“dibangkitkan menurut Roh”—lalu naik ke surga dan kelak akan datang kembali dengan gemilang di akhir tawarikh dunia. Pada waktu itulah Ia akan meniadakan dosa dan dampak kotor-suramnya dari bumi. Sungguh raya pengharapan kita karena Natal!
Dan kita patut bersukacita bahwa meriam bambu, suatu warisan budaya di Flores, dapat memaknai peristiwa kedatangan Kristus sedemikian rupa sekaligus meramaikannya. Tentulah komunitas-komunitas Kristen dari budaya lain di Nusantara dapat juga membuat atau memodifikasi warisan budaya secara serupa untuk merayakan Natal. Itu akan membuat Natal benar-benar menjadi hari sukacita bagi semua bangsa.
Bicara soal bangsa, konon orang Flores menyerap budaya meriam bambu dari bangsa Portugis. Kita tahu bahwa beberapa abad lampau bangsa Portugis berlayar ke Nusantara dengan tujuan berburu rempah-rempah. Ketika mereka mendarat di Flores, warga setempat menyaksikan meriam di kapal mereka lalu terilhami untuk membuat “versi bambu”nya.5 Bangsa Portugis dan bangsa-bangsa Barat lainnya, kita tahu, menyerap meriam dari bangsa Tiongkok. Dalam budaya Barat, meriam biasa pula ditembakkan sebagai penghormatan militer untuk tokoh besar yang masih hidup, misalnya raja/ratu atau presiden.
Dan itu menjadikan meriam bambu, serapan dari meriam Barat, makin cocok untuk merayakan Kristus, tokoh besar Natal, sebab Ia telah mati, bangkit kembali, dan hidup selama-lamanya. Maka setiap kali meriam bambu berdentum pada bulan Desember di Flores dan di daerah-daerah lain,6 biarlah umat Kristen diliputi gegap sukacita sambil memuliakan Kristus, yang bersabda, “Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Yang Hidup. Aku telah mati, namun lihatlah, Aku hidup, sampai selama-lamanya dan Aku memegang segala kunci maut dan kerajaan maut” (Why. 1:17-18).
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Tradisi Meriam Bambu di Flores Menyambut Kelahiran Yesus Kristus” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2014/12/21/123100627/Tradisi.Meriam.Bambu.di.Flores.Menyambut.Kelahiran.Yesus.Kristus>.
2 Fit Fizha. “Gempita Meriam Bambu Semarakkan Natal dan Tahun Baru di Flores” dalam situs Inddit. <http://www.inddit.com/f-ekdmy3/gempita-meriam-bambu-semarakkan-natal-dan-tahun-baru-di-flores>.
3 “Tradisi Meriam Bambu di Flores Menyambut Kelahiran Yesus Kristus,” Kompas.
4 “Nyali di Ujung Bambu” dalam Media Indonesia terbitan 14.12.2014.
5 Fit Fizha, Inddit.
6 Budaya menyemarakkan Natal dengan meriam bambu dikenal juga di daerah Tapanuli, Nias, Ambon, Papua, dll.