Tarian Cenderawasih Sawinggrai dan Minat Ekowisata

Oleh S.P. Tumanggor

Cenderawasih dan Raja Ampat. Orang Indonesia pada umumnya tentu mengenali masing-masing objek itu sebagai burung indah khas Papua dan tempat wisata kelas dunia di Papua. Kalaupun belum pernah mengunjungi Papua, banyak dari kita sudah tak asing lagi dengan gambar-gambar keduanya. Tapi yang mungkin jarang kita ketahui adalah bahwa di kawasan Raja Ampat, di Distrik Meos Mansar, terdapat Desa Sawinggrai dengan cenderawasih sebagai objek wisatanya. Di sana wisatawan bisa menyaksikan hal unik: cenderawasih menari di habitatnya.1

Keunikan itu mendorong Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Provinsi Papua menggenjot paket wisata burung cenderawasih. Alasannya adalah karena “paket wisata ini diminati oleh wisatawan mancanegara (wisman).”2 Meski alasan itu baik-baik saja, mau tak mau saya tergelitik olehnya dan melihat satu masalah disiratkannya: wisatawan Nusantara (wisnus) kurang meminati ekowisata, yakni wisata yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan tindakan mengamati/mengagumi tumbuhan, satwa, atau budaya di habitat aslinya.3

Masalah itu diaminkan oleh CTDS (Center for Tourism Destination Studies—Pusat Kajian Tujuan Pariwisata) di Bandung. Lembaga tersebut mendapati amat rendahnya minat wisnus berwisata konservasi (alias berekowisata), dengan 80% wisnus lebih menyukai wisata umum.4 Ini jelas berbeda dengan wisman—istimewanya dari negara-negara maju—yang sudah lama terdidik meminati soal pelestarian/konservasi lingkungan dan perlindungan satwa liar. Mereka suka “melawat” satwa di habitatnya, apalagi satwa unik dan langka seperti cenderawasih.

Minat amat rendah itu patut disayangkan karena Indonesia memiliki banyak sekali (potensi) ekowisata, khususnya ekowisata satwa liar. Keunikan dan pesona pun selalu mengiringi wisata ini. Tarian cenderawasih di Sawinggrai, misalnya, pastilah sangat mempesona. Itu terjadi di musim kawin, ketika cenderawasih jantan mencari perhatian cenderawasih betina, dan hanya bisa ditonton pada pagi dan sore hari (jam 07.00-09.00 dan 16.00-17.00). Si jantan menari, mengangkat kepalanya, mengembangkan bulu-bulu indahnya, dan mengeluarkan suara khasnya.5 Unik sekali!

Dan Sawinggrai tak sendirian di Indonesia dengan keunikan dan pesona cenderawasihnya. Ekowisata satwa liar terdapat pula di, antara lain, Taman Nasional Tangkoko, Sulawesi Utara, dan Sungai Hitam, Kalimantan Timur. Di Tangkoko kita bisa menyaksikan singapuar, monyet terkecil di dunia (setinggi kira-kira 10 cm) yang bisa memutar kepalanya 180 derajat.6 Di Sungai Hitam kita bisa menyaksikan bekantan, satwa maskot Dunia Fantasi yang dijuluki “monyet belanda” lantaran berhidung mancung dan berbulu kemerahan.7

Berekowisata dengan satwa-satwa unik dan langka itu sangat bermanfaat. Selain menghasilkan pendapatan bagi penduduk dan pemerintah setempat, kita jadi turut mengapresiasi keberadaan mereka sehingga dapat turut melestarikan keberadaan mereka. Dengan begitu, saya pikir, pada hakikatnya kita sedang mengungkapkan syukur atas keanekaragaman hayati yang dikaruniakan Tuhan kepada negeri kita.

Untuk membangkitkan minat ekowisata, anak-anak Indonesia sejak sedini mungkin harus dibekali wawasan tentang pentingnya ekosistem. Keluarga dan sekolah harus membukakan hal itu secara menarik dan menggugah. Jangan sampai anak-anak cuma hafal di kepala bahwa cenderawasih, singapuar, dan bekantan adalah satwa langka tapi di hatinya tidak muncul rasa pembelaan terhadap keberadaan mereka.

Pemerintah pun harus memastikan tersedianya akses, sarana, informasi, keamanan, dan SDM yang sebaik mungkin di tempat ekowisata. Objek-objek wisata konservasi perlu dikelola secara kreatif menjadi wadah belajar pelestarian alam. Rakyat Indonesia pun perlu ditingkatkan taraf kemakmurannya sehingga bukan hanya wisman AS, Eropa, Tiongkok, Jepang yang mampu berkunjung ke tempat-tempat seperti Sawinggrai, Tangkoko, Sungai Hitam tapi juga wisnus Kalimantan, Sulawesi, Papua, dsb.

Di tahun 2016 Kementerian Pariwisata Indonesia mengundang media-media Perancis menjenguk potensi wisata Indonesia di Manado, Ambon, dan Raja Ampat. Desa Sawinggrai termasuk tempat yang dikunjungi. Seusai bertualang, seorang jurnalis Perancis menulis, “Keberadaan burung Cenderawasih sebagai ikon wisata bumi Papua merupakan salah satu paket wisata yang selalu dinanti-nanti wisatawan. Mengunjungi burung Cenderawasih, melihat dia menari dan suara burung ini di habitat aslinya di hutan-hutan Papua sangat mengesankan.”8

Saya harap tarian cenderawasih di hutan-hutan Papua juga membangunkan minat ekowisata orang Indonesia, yang sudah digariskan untuk menjadi pengurus seisi tanah air Indonesia.

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

Catatan

1 Tri Wahyuni. “Menyaksikan Cenderawasih Menari di Raja Ampat” dalam situs CNN Indonesia. <http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150425090820-269-49132/menyaksikan-cenderawasih-menari-di-raja-ampat/>.

2 “Disukai Wisman, Asita Papua Dorong Paket Wisata Cenderawasih” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2017/01/04/161200527/disukai.wisman.asita.papua.dorong.paket.wisata.cenderawasih>. ASITA sendiri adalah singkatan dari Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies.

3 Di tahun 1983, Héctor Ceballos-Lascuráin, yang digadang-gadang sebagai “arsitek ekowisata”, berkata, “Ekowisata adalah wisata yang melibatkan perjalanan ke wilayah-wilayah alami yang relatif tak terganggu dengan sasaran khusus mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan serta tumbuhan dan satwa liarnya, begitu juga setiap aspek budaya (baik masa lalu maupun masa kini) yang ada ditemukan di wilayah-wilayah itu.” Lihat “The ECOCLUB Interview with the ‘Architect of Ecotourism’” dalam Jurnal ECOCLUB tahun ke-7, isu ke-85, Oktober 2006. <http://ecoclub.com/news/085/interview.html>.

4 Ayat S. Karo-karo. “Penelitian Sebutkan Turis Lokal Kurang Minati Wisata Konservasi” dalam situs Mongabay. <http://www.mongabay.co.id/2016/05/31/penelitian-sebutkan-turis-lokal-kurang-minat-wisata-konservasi/>.

5 “Desa Sawinggrai, Nonton Cenderawasih hingga Beri Makan Ikan” dalam situs Kompas. <http://sains.kompas.com/read/2012/07/15/16292553/Desa.Sawinggrai.Nonton.Cenderawasih.hingga.Beri.Makan.Ikan>; “Bersabar Menunggu Cenderawasih Muncul di Sawinggrai…” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2016/05/12/064139427/bersabar.menunggu.cenderawasih.muncul.di.sawinggrai.>.

6 Finneke Wolajan. <Berlibur ke Taman Batu Putih Tangkoko, Bitung, Ada Yaki dan Tarsius, Hewan Langka Sulawesi Utara> dalam situs Tribun Manado. <http://www.tribunnews.com/travel/2015/06/05/berlibur-ke-taman-batu-putih-tangkoko-bitung-ada-yaki-dan-tarsius-hewan-langka-sulawesi-utara>. Singapuar dikenal juga dengan nama tasius.

7 Lukas Adi Prasetya. “Melihat Bekantan di Sungai Hitam” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2016/01/17/132900927/Melihat.Bekantan.di.Sungai.Hitam?page=all>.

8 Audrey Roit dalam “Usai ke Raja Ampat, Ini Penuturan Perempuan Perancis…” dalam situs Kompas. <http://travel.kompas.com/read/2016/06/26/132100727/Usai.ke.Raja.Ampat.Ini.Penuturan.Perempuan.Perancis.>.

One thought on “Tarian Cenderawasih Sawinggrai dan Minat Ekowisata

  1. helminton

    Mantap Bang!
    Antam Pongkor, tempat ku dulu kerja akan dibuat objek wisata berbasis edukasi dan agro.
    Nanti wisatawan bisa menikmati tambang bawah tanah di tengah taman nasional gunung salak.
    Ini juga unik karena di Indonesia belum ada.
    Kapan2 Kombi kudu jalan ke situ.

    Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *