Oleh Herdiana Situmorang
Suatu bagian besar dari hidup saya boleh dibilang merupakan masa menjelajah. Sebagai orang Batak, kelahiran saya di Surabaya, Jawa Timur, pada paruh pertama tahun 1980-an adalah hasil jelajah orang tua saya. Di sanalah pula titik awal jelajah saya ke daerah-daerah lain yang memberi saya kesempatan mengenal orang-orang Nusantara dari beragam suku. Mata saya pun terbuka akan karakter dan jati diri suku-suku Indonesia. Jelajah Nusantara, bagi saya, berarti jelajah jati diri bangsa.
Di Surabaya, saya berkenalan dengan keakraban orang Jawa yang terungkap dalam pemeo mangan ora mangan kumpul (“makan tidak makan asal kumpul”). Ikatan kekeluargaan dipentingkan mereka dibanding hal lain seperti pencapaian kekayaan. Ini filosofi baik yang tetap relevan bagi masyarakat kita yang makin individualis. Mungkin ini pula yang membuat orang Jawa pada umumnya tidak neko-neko alias tidak macam-macam.
Dari Jawa Timur, saya berjelajah ke Sumatera Utara, karena sejak kelas 3 SD saya tinggal di Pematangsiantar. Di situ saya “pulang” kepada kelugasan suku Batak, suku saya sendiri. Jika ingin menyampaikan maksud, mereka akan bicara langsung tanpa basa-basi. Cara komunikasi ini efektif dalam banyak hal, karena pesan yang disampaikan jelas dan mudah ditangkap. Kelugasan menunjukkan kebersahajaan hidup suku Batak yang apa adanya tanpa dibuat-buat.
Lain lagi pengalaman jelajah saya setelahnya, yaitu ketika mengambil kuliah kedokteran di Jatinangor, Jawa Barat. Di sana saya menjumpai kesantunan suku Sunda, terutama dalam bertutur kata. Terkadang mereka menahan diri untuk menyampaikan suatu hal karena kuatir membuat orang lain merasa tidak nyaman. Moto Provinsi Jawa Barat, gemah ripah repeh rapih (“subur makmur, rukun damai”), sangat mungkin tercapai oleh kesantunan penduduknya.
Setelah menjadi dokter di awal tahun 2007, sebuah pelatihan mengantar saya menjelajahi Ketapang, Kalimantan Barat. Saya menangkap kerelijiusan penduduk yang kebanyakan suku Dayak dan Melayu. Mereka bisa segera meninggalkan kesibukan ketika waktu sembahyang tiba dan bisa bersyukur meski makan seadanya. Ada pula tradisi raya di sana: gawai Dayak, yang merupakan upacara syukur kepada Sang Pencipta atas keberhasilan panen padi.
Di pertengahan tahun 2007 saya bekerja sebagai dokter PTT. Karenanya, jelajah saya bisa mencapai Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Sejak awal tiba, saya merasakan keramahtamahan suku Sumba lewat pahappa, yaitu sirih, pinang, dan kapur yang disajikan tuan rumah kepada tamu. Saya selalu tersenyum jika ingat merahnya mulut saya setelah pahappa. Ya, keramahtamahan mereka menghangatkan hati saya yang rindu rumah saat itu.
Dan saya merasa bagai berada di rumah sendiri ketika berjelajah ke Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, dalam penugasan sebagai dokter di tahun 2014. Saya mendapati penduduk setempat suka menolong, misalnya dengan memberi saya tumpangan dan petunjuk jalan, sehingga jelajah saya di sana menjadi semakin asyik. Kebiasaan tolong-menolong memang sudah diakrabi suku Sasak, misalnya dalam tradisi besiru, di mana para petani saling membantu mengolah sawah.
Menilik pengalaman jelajah Nusantara itu, jelaslah bagi saya bahwa bangsa Indonesia memiliki jati diri hebat yang ditunjang oleh karakter hebat suku-sukunya: akrab, lugas, santun, relijius, ramah tamah, suka menolong, dan lain-lain lagi. Semua itu tentulah bukan monopoli satu dua suku belaka dan perlu dipertahankan—sambil ditanggulangi ekses-eksesnya yang tidak baik (misalnya akrab dan ramah tamah yang jadi toleran terhadap penyimpangan).
Kekuatan karakter itu pula yang mengilhami lahirnya Pancasila, dasar negara dan jati diri bangsa Indonesia. Ini membuktikan bahwa keberagaman suku justru menjadi kekuatan yang mempersatukan bangsa Indonesia, bukan memecah belahnya. Selanjutnya, karakter yang satu sebetulnya bisa mendukung/menguatkan karakter yang lain sehingga menjadi daya gerak pembangunan negara. Itulah potensi raya Indonesia untuk menjadi bangsa besar dan bermartabat di dunia.
Alangkah beruntungnya saya karena bisa menjelajahi Nusantara dan mengenal saudara-saudara sebangsa. Itu memicu semangat saya untuk berjelajah ke daerah-daerah lain lagi di Nusantara—sekiranya ada kesempatan—sebab melaluinya saya makin mengenal pula jati diri bangsa kita.
Herdiana Situmorang adalah seorang dokter yang bermukim di DKI Jakarta.