Oleh Victor Samuel
Banyak bangsa di masa lampau—sebutlah bangsa-bangsa Aztek, Kelt, Mesir, Hawaii, Tiongkok—dikenal memiliki ritual kurban manusia. Dalam ritual mengerikan ini tubuh manusia dibunuh sebagai kurban bagi ilah-ilah. Setelah muncul agama-agama besar yang kita kenal sekarang (Kristen termasuk di antaranya), ritual kurban manusia mulai ditinggalkan bahkan dikutuk oleh bangsa-bangsa.
Meskipun begitu, kurban manusia dengan pengertian yang berbeda tetap dituntut dalam kekristenan. Alkitab mengungkapkannya demikian: “Kamu [harus] mempersembahkan tubuhmu sebagai kurban yang hidup, yang kudus dan menyenangkan Allah—inilah ibadah rohanimu” (Rom. 12:1, NIV). Maksudnya, segala hal yang dilakukan oleh tubuh para pengikut Kristus haruslah dibaktikan/dipersembahkan kepada Allah. Ibadah rohani harus dijabarkan dalam tindakan badani selagi kita hidup.
Perintah Alkitab itu didasarkan atas karya pengurbanan Yesus Kristus. Dialah Firman yang menjadi manusia, menjadi tubuh, dalam peristiwa Natal dan yang mempersembahkan tubuh-Nya di kayu salib dalam peristiwa Jumat Agung. Pengurbanan-Nya telah dijanjikan Allah sejak awal sejarah manusia.
Dahulu sekali Allah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Ia mengamati dan menilai bahwa segenap ciptaan-Nya—termasuk tubuh Adam dan Hawa—“sungguh amat baik”. Selaku Pencipta, Ia menginginkan semua yang baik itu—termasuk tubuh manusia—dibaktikan/dipersembahkan kepada-Nya. Manusia, dalam seluruh kegiatan hidupnya, harus melayani Penciptanya.
Sayangnya, manusia jatuh ke dalam dosa sehingga punya kecenderungan untuk berdosa dengan tubuhnya. Dalam keadilan dan kasih yang besar, Allah menghukum tetapi juga merancang jalan keselamatan manusia. Setelah peristiwa kejatuhan, Allah berfirman kepada Iblis, “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini [Hawa], … keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya” (Kej. 3:15).
Itulah janji tentang Kristus, juru selamat ilahi yang akan lahir sebagai manusia. Tubuh manusianya akan menderita (diremukkan “tumit”nya) karena dipersembahkan kepada Allah demi menggenapi rancangan Allah untuk mengalahkan kuasa Iblis (meremukkan “kepala”nya). Karena Kristus telah mengatasi kuasa dosa dengan cara mempersembahkan tubuh-Nya, kita yang beriman kepada-Nya dilayakkan untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai sesuatu yang kudus dan menyenangkan Allah.
Demikianlah Kristus meneladankan kepada kita bahwa untuk menggenapi rancangan-rancangan Allah, kita pun harus mempersembahkan tubuh kita sebagai kurban hidup.
Itu kita lakukan dengan cara menggencet keinginan tubuh yang jahat dan menggunakan tubuh dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi orang banyak. Petunjuk Alkitab mengenainya sangat gamblang: “Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik … hendaklah kamu saling mengasihi … bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus … usahakanlah dirimu untuk selalu memberi tumpangan … janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya …” (Rom. 12:9-10, 13; 13:14).
Jelaslah bahwa ajaran Alkitab berlawanan dengan pandangan humanisme sekuler bahwa manusia berhak menggunakan tubuhnya semaunya. Alkitab mengajari kita untuk menikmati kapasitas tubuh sambil menentang—menggencet—nafsu jahat tubuh yang dipengaruhi dosa. Artinya, kita tetap punya kebebasan jasmaniah, tapi hanya dalam hal-hal yang baik. Menggencet keinginan jahat tentunya tidak mudah, namun kuasa Allah yang membangkitkan tubuh Kristus dari kematian akan memampukan kita.
Dengan kuasa yang sama pula kita akan menggunakan tubuh untuk memberi manfaat bagi orang banyak. Kita melakukannya di berbagai lapangan kehidupan untuk membangun bangsa dan dunia sesuai dengan profesi masing-masing: rohaniwan membuka mulut menyerukan hidup yang suci dan adil, dokter menggerakkan tangan mengobati pasien, atlet berlari mengayunkan kaki untuk meraih medali pengharum nama bangsa, dan lain sebagainya.
Setelah Kristus mati di kayu salib, mempersembahkan tubuh-Nya untuk menebus manusia, Ia bangkit kembali dari kematian dengan tubuh baru yang mulia. Kebangkitan-Nya menjadi dasar bagi kebangkitan tubuh kita dari kematian kelak. Kebangkitan-Nya pun menjadi dasar bagi pengharapan kita dalam bersusah-payah menjadi kurban hidup di bumi, sebab kita juga nanti akan diberi tubuh baru yang mulia di bumi yang baru.
Di sana semua bangsa, seperti dinubuatkan Alkitab, akan bersehati beribadah kepada Allah. Mereka akan mengenal Allah, mengasihi Allah, dan melayani Allah dengan menyerahkan diri sebagai kurban manusia dalam pengertian alkitabiah: hidup, kudus, dan menyenangkan Allah.
Victor Samuel adalah seorang insinyur di bidang energi yang bermukim di DKI Jakarta.