Keras kepada Pelaku Kekerasan

Oleh S.P. Tumanggor

 

Hankam (pertahanan dan keamanan) selalu penting bagi negara manapun. Gangguan terhadap hankam, khususnya yang melibatkan kekerasan (serangan bersenjata, perampokan bersenjata, dsb.), bisa membahayakan nyawa warga negara. Sebab itu sejak dulu hingga kini negara-negara menetapkan bahwa tindak keras dapat diterapkan kepada pelaku kekerasan yang mengganggu hankam. Pihak yang diberi kewenangan untuk bertindak keras adalah para pengawal negara—tentara dan polisi.

Dalam Alkitab, kewenangan itu diperlihatkan oleh, antara lain, Yoab bin Zeruya. Ia adalah panglima Kerajaan Israel yang berjasa besar dalam pertempuran melawan bangsa-bangsa Aram, Amon, dan Edom.1 Ia juga berjasa besar dalam menumpas pemberontakan terhadap pemerintahan Raja Daud, seperti pemberontakan Absalom (putra Daud sendiri) dan Seba.2 Ia bertindak keras kepada pelaku kekerasan yang membahayakan hankam negaranya.

Tentu saja Yoab hidup dalam budaya dan masa yang berbeda dengan kita. Ia tidak kenal bentuk pemerintahan demokrasi dan ia asing dengan semangat zaman mutakhir ala Barat yang amat sangat menghargai nyawa manusia. Tapi pencantuman sepak terjangnya dalam Alkitab mengungkapkan asas yang berlaku umum dan masuk akal sehat tentang kewenangan pengawal negara untuk bertindak keras.

Sehubungan dengan itu, Martin Luther, tokoh Kristen Jerman, berkata demikian: “Sebab fakta bahwa pedang telah ditetapkan Allah untuk menghukum kejahatan dan melindungi kebaikan dan memelihara perdamaian (Rom. 13:1; 1 Ptr. 3:1) adalah bukti, yang kuat dan memadai, bahwa perang dan membunuh dan hal-hal lain yang mengiringi masa perang dan darurat militer, telah ditetapkan oleh Allah.”3 Kewenangan itu dirunutnya balik kepada Allah selaku penguasa tertinggi atas segala sesuatu.

Di dunia yang sudah tak sempurna dan terlilit masalah dosa ini pelaku kekerasan yang mengganggu hankam selalu jadi bahaya laten. Sebab itu tindak keras tak dapat dihindarkan, dan pengawal negaralah yang berwenang menerapkannya. Tapi berwenang tentu tidak berarti sewenang-wenang. Para pengawal negara tidak bisa seenaknya bertindak keras kepada orang lain dan orang tidak bisa sembarang dituduh membahayakan hankam sehingga dikenai tindakan keras.

Bahwa kewenangan bisa diselewengkan adalah bagian dari ketidaksempurnaan dunia pula. “Ada beberapa orang yang menyalahgunakan jabatan [pengawal negara] ini,” kata Luther, “dan membunuh dan menghantam secara tidak perlu, tanpa alasan selain bahwa mereka ingin berbuat demikian. Tapi itu kesalahan pribadi-pribadi, bukan jabatan, sebab di manakah ada jabatan atau pekerjaan atau hal lain yang begitu baik yang tidak disalahgunakan oleh orang jahat yang mengikuti keinginannya sendiri?”4

Yoab sendiri bukannya tak pernah menyalahgunakan kewenangan. Ia membunuh beberapa orang tanpa sepatutnya, sehingga Raja Daud memandang dia terlalu keras.5 Tak heran ia akhirnya mati oleh tindak keras pula.6 Semua itu dicatat Alkitab untuk membukakan kepada kita realitas “keras” dunia yang tak sempurna ini. Karenanya, perlu ada aturan yang jelas dan kuat untuk mencegah pengawal negara menyalahgunakan kewenangannya.

Dalam hal itu bangsa Barat telah membantu dunia dengan mengembangkan konsep HAM (Hak Asasi Manusia). Kini, di Indonesia, TNI dan Polri membina anggota-anggotanya dalam hal HAM untuk menolong mereka berhati-hati menggunakan kewenangan.7 Tapi, sialnya, konsep HAM bisa pula disalahgunakan sehingga malah melindungi pelaku kekerasan (atas nama HAM) dan merintangi tugas pengawal negara dalam menjaga hankam.

Di sinilah kearifan diperlukan untuk memahami bahwa tindak keras ada tempatnya di dunia yang rentan kekerasan ini. Orang Kristen pun tidak bisa beranggapan bahwa setiap tindak keras pasti berlawanan dengan ajaran Kristen. Kalau memang begitu, tentunya Alkitab tidak akan memuat contoh-contoh tindak keras yang dibenarkan.

Ya, Alkitab mengajari kita untuk mengenali realitas “keras” dunia dan menyikapi tindak keras secara arif—seperti Martin Luther. Karena kearifan ini pulalah orang Kristen tak perlu bimbang untuk masuk ketentaraan/kepolisian, sekiranya ia memang terpanggil ke sana.

Sampai dunia dibaharui kelak, gangguan hankam bisa diperkirakan tetap laten. Maka kita bersyukur bahwa ada para pengawal negara—tentara dan polisi—yang siap bertindak keras kepada pelaku kekerasan supaya kita, masyarakat umum, bisa menjalani hidup sebaik-baiknya di dunia yang tidak sempurna ini.

 

S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.

 

Catatan

1 2 Samuel 10:1-9; 2 Samuel 11:1; 12:26; 23:37; 1 Raja-raja 11:15-16.

2 2 Samuel 15-19; 2 Sam. 20:1-22.

3 Martin Luther. “That Soldiers, Too, Can Be Saved” dalam situs God Rules. <http://www.godrules.net/library/luther/NEW1luther_e7.htm>.

4 Martin Luther, “That Soldiers, Too, Can Be Saved”.

5 2 Samuel 3:22-39; 1 Raja-raja 2:5.

6 1 Raja-raja 2:28-34.

7 Lihat, misalnya, Mahardika Satria Hadi. “TNI Perdalam Pemahaman tentang HAM” dalam situs Tempo. <https://nasional.tempo.co/read/307820/tni-perdalam-pemahaman-tentang-ham>; Nur Habibie. “Kapolri minta Komnas HAM beri pelatihan ke polisi agar tak melanggar” dalam situs Merdeka. <https://www.merdeka.com/peristiwa/kapolri-minta-komnas-ham-beri-pelatihan-ke-polisi-agar-tak-melanggar.html>.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *