Oleh Yulius Tandyanto
Pasca Sumpah Pemuda 1928, barangkali ada dua hal besar yang mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia (Melayu) sebagai bahasa pergaulan: pers Indonesia dan Dardanella. Uniknya, Dardanella bukanlah sebuah penerbitan, melainkan kelompok sandiwara yang menggunakan bahasa Melayu Pasar—bahasa yang digunakan masyarakat kebanyakan kala itu—dalam tiap pertunjukannya.
Kiprah Dardanella lekat dengan sang primadona, Dewi Dja (biasa ditulis: Devi Dja). Dengan nama kecil Misria dan kemudian Sutidjah, Dewi kecil suka menguntit kakek dan neneknya berkeliling, mengamen, dan memetik siter. Dari pengalaman kesehariannya itu, jalan hidup Dewi pun tak jauh berpaut dengan kesenian rakyat, yakni seni panggung. Pada saat Dewi berumur 14 tahun, ia bertemu dengan Willy (Vassily) Klimanov alias Pedro yang kagum akan penampilannya dan mengajaknya bermain dalam rombongannya—yang bernama Dardanella di kemudian hari.
Sejak lahir di tahun 1914 Dewi menghirup udara sebagai bagian dari masyarakat miskin. Ia buta huruf. Meski demikian, kondisi itu tak mematahkan semangatnya untuk mencengangkan pelbagai penonton seantero Nusantara dengan tawa, romantika, dan cucuran air mata di atas panggung. Tak hanya di tanah air sendiri, Dardanella pun unjuk kebolehan di Singapura, Rangoon, Madras, Calcuta, New Delhi, Bombay, Baghdad, Basra, Kairo, Roma, Muenchen, Warsawa, Amsterdam, hingga kota-kota di Amerika Serikat (AS) dengan bahasa Melayu dan pementasan yang apik.
Namun tak selamanya pernak-pernik pengalaman seni panggung berakhir dengan kisah indah. Dardanella kian rontok di tengah jalan dan tinggal beberapa orang saja ketika mendarat di New York sekitar tahun 1940. Meski menghadapi kenyataan yang sukar, Dewi tetap gigih menekuni seni panggung dan mempertunjukkan keunikan tarian nusantara pada masyarakat AS hingga menembus industri filem Hollywood.
Kegigihan dan ketekunan Dewi membawa dirinya pada pengalaman yang tak terduga. Bahkan, ia duduk satu deretan dengan Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia (1946) di New York. Saat itu mereka hadir untuk memperjuangkan Republik Indonesia di forum Dewan Keamanan PBB.
Kehadiran Dewi tentu mengemban satu tugas yang penting, yakni menghadirkan Indonesia di hadapan dunia internasional melalui seni dan budaya. Meski Dewi bukan dari kalangan terpelajar, ia yakin bahwa Indonesia berhak untuk merdeka dan disejajarkan dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya. Barangkali pengalaman dalam seni panggung telah memperlihatkan pada Dewi bahwa manusia tak punya hak untuk berlaku sewenang-wenang terhadap sesamanya manusia meski mereka berasal dari ras yang berbeda.
Perjuangan Dewi makin nyata ketika terjadi kehebohan “Perbudakan di Los Angeles”—menurut sebutan koran di Los Angeles waktu itu. Dewi tampil membela pemuda-pemudi Indonesia yang dirantai di hadapan pengadilan Los Angeles. Majalah TIME edisi 19 September 1983 mencatat bahwa mereka dimejahijaukan dengan tuduhan masuk ke AS secara ilegal, padahal kenyataannya mereka diperlakukan dengan tidak adil (bekerja tanpa diberi penghasilan). Akhirnya persoalan “budak-budak” dari Indonesia itu terselesaikan dan mereka tidak masuk bui.
Sosok Dewi Dja menjadi inspirasi karena ketekunan dan dedikasinya terhadap bidang yang digelutinya, yakni seni panggung. Secara tak langsung, ia juga menandaskan bahwa setiap orang—baik kaya atau miskin, terpelajar atau buta huruf—punya peran untuk melakukan kebaikan: berjuang untuk bangsa sekaligus juga untuk kemanusiaan. Tak heran bila sastrawan Ramadhan K.H. (alm.) mencatat bahwa Dewi Dja adalah tipe pejuang yang lahir dari lapisan bawah dengan penuh kecintaan pada tanah airnya, Indonesia, di abad ke-20.
Dewi menghembuskan napas terakhirnya pada 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles. Bagi generasi kiwari, kiprah Dewi menantang kita untuk berkarya bagi bangsa dan manusia melalui bidang hidup yang kita geluti. Kita perlu menggembleng diri agar memiliki etos mengabdi bagi bangsa dan demi kemanusiaan di republik yang sudah berusia 66 tahun ini.
.
Yulius adalah seorang mahasiswa jurusan komunikasi yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Sumber Riwayat:
- Ramadhan KH. “Devi Dja dari Dardanella” dalam 1000 Tahun Nusantara. Jakarta: Penerbit Kompas, 2000.
- Hairus Halim HS. “Dardanella, Peran yang Diabaikan” dalam situs KOMPAS. <http://nasional.kompas.com/read/2008/11/01/00511271/.>
- “Devi Dja” dalam situs Wikipedia. <http://id.wikipedia.org/wiki/Devi_Dja.>
- “Law: Fighting the New Slavery” dalam situs TIME. <http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,954073-1,00.html.>
Wah ada yah yang bernama Dewi Dja? hm.. Sebelumnya saya bertanya-tanya “apa yang dapat kalangan bawah/ tak berpendidikan lakukan?” agaknya koar2 berandil untuk bangsa mungkin tergerus oleh kebutuhan hidup yang ketat hingga tak memikirkan kecintaan pada bangsa. atau dengan kata lain, hanya intelek yang mengerti dan dapat berandil.
Salam kenal Tjong Hok Liang,
Awalnya saya juga berpikir seperti Anda, tapi ada banyak kisah seperti Dewi Dja yang berpikir “sederhana”. Mereka bukan orang berpendidikan atau kaya, tapi mereka melakukan apa yang mereka mampu untuk tanah airnya. Dari pengalaman mereka saya tersadar: mungkin sulit untuk memerangi hal buruk yang ada di bangsa ini, tapi ketekunan akan menghasilkan buahnya 🙂