Pak Djuanda dan Kesatuan Indonesia

Oleh Efraim Sitinjak

Indonesia terkenal dengan sebutan “Zamrud Khatulistiwa.” Hal ini disebabkan karena untaian keindahan hijau ribuan pulau yang terhampar di permadani biru laut. Tentu keindahan Zamrud Khatulistiwa—tanah air kita—takkan lengkap jika dilihat secara terpisah, pulaunya saja atau lautannya saja. Keindahannya sempurna akibat pulau dan lautannya menjadi satu. Dan untuk alasan itu, kita patut menghaturkan terima kasih kepada Pak Djuanda.

Djuanda Kartawidjaja dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, sebagai anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat. Ayahnya adalah Mantri Guru pada Hollandsch Inlandsche School (HIS). Ia lulus sekolah menengah tahun 1929 dan pada tahun yang sama masuk ke sekolah tinggi teknik (Technische Hooge School)—sekarang ITB—di Bandung. Ia mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933.

Kalangan pers menjuluki Pak Djuanda sebagai ‘menteri marathon’ karena ia menjabat sebagai menteri sejak awal kemerdekaan sampai akhir hayatnya. Ia menjadi Menteri Muda Perhubungan (1946-1949), Menteri Pekerjaan Umum (1948-1949), Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri (1957-1959), dan Menteri Keuangan (1959-1962).

Terobosan terbesar Pak Djuanda adalah upaya mengintegrasikan seluruh wilayah kepulauan dan lautan Indonesia. Gagasan ini muncul di masa berlakunya Territoriale Zee and Maritime Kringen Ordonantie (Perjanjian Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) yang dikeluarkan pemerintah penjajahan Belanda tahun 1939.

Perjanjian ini banyak merugikan, khususnya pasal yang menyatakan bahwa wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung laut. Akibatnya wilayah perairan antara pulau-pulau Indonesia menjadi kantung internasional yang dapat dimanfaatkan pihak luar. Banyak kapal perang Belanda melintasi laut-laut dalam Indonesia menuju Irian Barat dengan berlandaskan hukum tersebut. Hal ini dipandang Pak Djuanda sebagai ancaman besar bagi kesatuan Indonesia yang masih muda itu.

Dengan bantuan Mochtar Kusumaatmadja dan Letkol Pirngadi, Pak Djuanda menyusun RUU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang baru. UU itu kemudian dideklarasikan Pak Djuanda, yang saat itu menjabat perdana menteri, pada tahun 1957. Bunyi deklarasi tersebut adalah:

”segala perairan disekeliling dan diantara pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia”

Deklarasi ini menandai wilayah teritorial Indonesia yang baru. Wilayah laut Indonesia kini dihitung 12 mil dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar. Dengan demikian luas wilayah Indonesia berkembang dari dua juta km2 menjadi lima juta km2. Sebuah visi kebangsaan dan kenusantaraan yang hebat! Untuk menghargai usaha Pak Djuanda, tanggal 13 Desember—tanggal dibacakannya Deklarasi Djuanda—diperingati sebagai Hari Nusantara.

Deklarasi ini diteguhkan melalui Undang-Undang/Prp No. 4/1960, Februari 1960. UU ini kemudian diperkuat lagi dengan Kepres No. 103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Indonesia sebagai satu lingkungan laut di bawah pengamanan Angkatan Laut RI. Ketetapan tersebut menimbulkan kecaman dari dunia Internasional, namun Indonesia tetap bersikukuh bahwa deklarasi Djuanda merupakan solusi terbaik untuk menjaga keutuhan laut Indonesia.

Konsep ini kemudian diakui dalam konvensi Hukum Laut PBB di Montego Bay, 10 Desember 1982. Indonesia pun mengesahkannya dalam UU No. 17/1985 tanggal 31 Desember 1985. Setelah 25 tahun menunggu akhirnya Deklarasi Djuanda diakui oleh PBB, meski baru diakui secara internasional sejak 16 Nopember 1994. Butuh waktu 37 tahun sejak Deklarasi Djuanda hingga kesatuan wilayah Indonesia diakui oleh dunia internasional.

Kini, 54 tahun setelah Deklarasi Djuanda dan 66 tahun setelah Indonesia merdeka, masalah keutuhan tanah air belum juga selesai. Ide dan perjuangan Pak Djuanda tampaknya tak menjadi ilham bagi generasi saat ini. Perjuangan yang lama dan tak kenal lelah untuk mempersatukan Indonesia seakan-akan diabaikan begitu saja. Kehilangan Sipadan dan Ligitan, pengerukan pasir pulau-pulau di Selat Malaka, dan masalah pulau terluar membuktikan ketidakpedulian kita.

Semua kejadian itu seharusnya menjadi pembelajaran untuk kembali merenungi ide dan perjuangan pendahulu kita bagi keutuhan tanah air. Mari kita teguhkan rasa memiliki Indonesia dan semangat mencintai kesatuannya.

Untuk keutuhan Zamrud Khatulistiwa.

.

Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.

.

Sumber riwayat:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *