Energi untuk NKRI

Oleh Victor Samuel

Kita memang beruntung. Lihatlah sekeliling dan kita mudah mendapati bahwa hidup kita sangat terbantu oleh listrik.

Berkat listrik, ribuan mobil di jalan melaju tertib diatur lampu merah-kuning-hijau yang menyala-mati dengan cerdas. Oleh listrik, makanan di dapur sisa semalam dalam hitungan detik dapat menjadi hangat dan nikmat kembali dengan oven gelombang mikro. Dibantu listrik, kita dapat mengunduh makalah internasional dengan mudah dan cepat untuk melengkapi dasar teori skripsi yang sudah dihantui tenggat. Dengan listrik pula, pendingin udara dapat menyulap atmosfer gerah Jakarta dalam ruang kantor kita menjadi sejuk bak musim semi di Amsterdam. Wuah!

Sayang sejuta sayang, segala kemudahan tadi bukan milik semua orang Indonesia. Rasio elektrifikasi—perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik terhadap jumlah keseluruhan penduduk dalam suatu wilayah atau negara—Indonesia baru 66%.  Artinya, masih ada lebih dari tujuh puluh juta rakyat Indonesia belum berlistrik!

Di jajaran ASEAN, kita kalah dari Singapura (100%), Brunei Darussalam, dan Malaysia (masing-masing di atas 80%)1. Bahkan di Pulau Jawa, pusat pembangunan Indonesia, ada wilayah yang masih gulita.2 Dan kita belum bicara tentang Indonesia Timur!3

Lihatlah Kampung Ulen di Kabupaten Sergai, Sumut. Sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 66 tahun silam, 26 kepala keluarga di sana sampai sekarang belum merdeka dari kondisi nirlistrik. Sementara kita adem ayem meninggalkan Sony Bravia LED 55 inci kita tetap menyala, mereka harus membeli bensin dua liter setiap hari atau isi ulang aki tiga hari sekali demi menonton tim sepak bola kesayangan mereka melalui kotak 14 inci bergambar hitam-putih. Itu pun hanya lepas magrib sampai tengah malam. Mereka “sudah lelah memohon melalui Kepala Desa maupun PLN,” tapi sampai sekarang hasilnya nihil.4

Tidaklah salah jika kita berkilah, “Bung, Malaysia, Singapura adalah negara kecil; Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan tidak kurang 17.000 pulau!”  Memang, kondisi geografis ini memastikan kesulitan besar bagi penyebaran listrik ke seluruh pelosok. Pemerintah dan PLN tidak bisa terlalu disalahkan atas kesenjangan listrik yang terjadi.

Namun, Indonesia adalah Indonesia: dari Miangas sampai Rote, dari Sabang sampai Merauke. Kesatuannya adalah kemutlakan, sebagaimana tertuang dalam roh Sumpah Pemuda yang dikumandangkan para pendahulu bangsa kita. Bagi mereka, kesatuan bangsa ini adalah senjata kunci untuk menggocoh penjajah. Pun bagi kita, kesatuan tetaplah modal utama untuk mempertahankan harkat bangsa dalam kencangnya arus kesejagatan (globalisasi).

Untuk itu, pembangunan harus dilakukan ke segala penjuru. Tentu tidak semua titik harus dipukul rata. Ada daerah yang perlu penanaman (“investasi”) lebih besar dibanding daerah lain, tetapi tidak boleh ada pembiaran! Pembiaran hanya membangkitkan arus pemisahan diri. Tanyakan apa keluhan Gerakan Aceh Merdeka, Organisasi Papua Merdeka, dan Republik Maluku Selatan. Hampir pasti pembiaran adalah salah satu jawaban mereka.

Perlu upaya bersama untuk melawan pembiaran dalam pemasokan listrik. Pertama, pemerintah segera membereskan proyek 10.000 megawatt tahap I yang tertunda. Keterlambatan proyek ini menyebabkan setidaknya dua hal: tingginya subsidi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan energi dari BBM dan terhambatnya pembangunan infrastruktur.

Kedua, peran swasta didorong dengan peraturan yang tidak menjelimet dan insentif yang menarik. Sebenarnya, ini sudah mulai terlihat dalam Permen ESDM no.31 2009: PLN wajib membeli listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan yang dibangun swasta. Harganya pun baik: listrik yang dibangkitkan di wilayah tertinggal dibayar lebih mahal. Namun, pelaksanaannya perlu diawasi dengan ketat agar bersih dari “amplop.” Ini sekaligus akan membangkitkan wirausaha-wirausaha energi yang, meskipun hanya mampu membangun pembangkit skala kecil, dapat menerangi desa-desa terpencil yang belum dilayani PLN.

Ketiga, perlu digalakkan kesinambungan penelitian dalam bidang energi dan penerapannya. Perlu ada rencana besar penelitian dalam laboratorium-laboratorium universitas dan lembaga riset negara, yang dikolaborasikan dengan industri.

Ini semua perlu dilakukan tidak sekadar untuk membuat perekonomian ataupun teknologi energi Indonesia unggul dari negara lain. Ada alasan yang jauh lebih penting dan mendasar: NKRI harga mati. Salam Sumpah Pemuda.

.

Victor Samuel adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang tinggal di Stockhol, Swedia.

.

Catatan

  1. Dihar Dakir dan Nurjoni. “PLN Genjot Elektrifikasi Indonesia Timur” dalam Bataviase.co.id. <http://bataviase.co.id/node/569071>.
  2. “Tak Menikmati Listrik di Daerah PLTA” dalam Kompas.com.<http://regional.kompas.com/read/2011/03/25/16095515/Tak.Menikmati.Listrik.di.Daerah.PLTA>.
  3. Secara statistik, Indonesia Timur memiliki rasio elektrifikasi terendah. “5 Provinsi Masih Memiliki Rasio Elektrifikasi Terendah” dalam Detik.com.<http://us.finance.detik.com/read/2009/08/06/102213/1178357/4/5-provinsi-masih-memiliki-rasio-elektrifikasi-rendah>.
  4. “Belum Pernah Menikmati Listrik” dalam HarianSumutPos.com.<http://www.hariansumutpos.com/2011/06/8846/belum-pernah-menikmati-listrik.htm>.

One thought on “Energi untuk NKRI

  1. Pingback: Energi untuk NKRI « utuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *