Oleh S.P. Tumanggor
“Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya.”1 Demikian bunyi sebuah pepatah gubahan Salomo, penguasa Israel abad ke-10 SM. Raja bijaksana yang suka mengamati serba-serbi kehidupan itu menggarisbawahi suatu kebenaran sosial yang lestari—dulu dan kini tetap benar.
Tetap benar bahwa kekayaan mudah memikat teman, dari teman bisnis sampai teman hidup. Leluhur orang Indonesia pun memaklumi dan mengabadikan fakta itu dalam pepatah “ada gula ada semut.” Dan tetap benar bahwa kemiskinan tak pernah jadi magnet bagi banyak orang. Tak menarik, malah sering bikin risih.
Tentu itulah salah satu sebab kemiskinan tak kunjung terentaskan di Nusantara. Banyak pejabat yang wajib menanggulanginya tak tertarik kepadanya, malah risih, sehingga malas memikir-mikirkannya. Jabatan publik mendaulat mereka jadi sahabat kaum miskin, tetapi mereka malah meninggalkan dia. Kemiskinan baru diingat kalau bisa dimanfaatkan untuk cari dukungan suara atau proyek penggembung pundi-pundi pribadi.
Selain itu, kemiskinan pun tak laku jadi bahan telaah di Nusantara. Buku yang mengupas kiat jadi kaya bertumpuk-tumpuk, tetapi yang mengkaji kiat membanteras kemiskinan sukar diperoleh. Liputan yang merangsang kegemaran kepada pesohor-jutawan berlimpah, tetapi yang membangkitkan belas kasih kepada orang kecil langka. Akibatnya, pikiran masyarakat digiring meninggalkan kaum miskin.
Di sini agama seharusnya bisa berperan penting dalam mengetuk hati nurani masyarakat untuk mengingat kaum miskin. Sayangnya, umat beragama pun sering lalai terhadap isu kemiskinan. Ini ironis! Bukankah agama-agama mengajari penganutnya untuk menjadi sahabat bagi kaum miskin, untuk memperhatikan mereka dalam kesusahannya? Bagi umat Kristen, ajaran itu gamblang sekali.
Ada terlalu banyak ayat Alkitab yang menyebut “orang miskin”—lebih banyak daripada yang menyebut, misalnya, “pembenaran,” “baptis(an),” atau “karunia Roh.” Setiap buku konkordansi Alkitab bisa bersaksi tentang hal ini, begitu pula fitur pencari dalam Alkitab elektronik. Beberapa dari ayat-ayat tentang “kemiskinan” itu menggambarkan dengan indah sikap Allah terhadap kaum miskin.
Yesaya 25:4, misalnya, menyatakan, “[TUHAN] menjadi tempat pengungsian bagi orang lemah, tempat pengungsian bagi orang miskin dalam kesesakannya.” Mazmur 140:13 menyatakan, “TUHAN akan memberi keadilan kepada orang tertindas, dan membela perkara orang miskin.” Betapa Allah mengasihi dan menunjukkan persahabatan-Nya kepada kaum miskin!
Jika Allah bersikap demikian, bolehkah umat Allah berbuat kurang? Tentu saja tidak! Namun, sedikitnya ada tiga hal yang mengisyaratkan bahwa umat Kristen terkadang tidak menjadi sahabat bagi kaum miskin.
Pertama, banyak gereja tidak mendalami, apalagi mengembangkan, ide-ide Alkitab seputar kemiskinan, khususnya dalam konteks Indonesia. Khotbah tentang membawa persembahan ke gereja menderu dari seribu mimbar, tetapi khotbah tentang berderma kepada kaum miskin nyaris tiada gaung.
Kedua, banyak daerah Kristen di Indonesia tetap menyandang predikat “miskin” dan “tertinggal.” Ini tentulah melukiskan kadar kelalaian umat Kristen terhadap kaum miskin dari kalangannya sendiri. Hampir tak terdengar, alias tak terkenal, lembaga-lembaga pelatihan keterampilan, koperasi simpan pinjam, atau penyuluhan etos ekonomi yang digelar gereja atau lembaga Kristen.
Ketiga, di tengah umat Kristen justru berkembang ajaran yang menuding kemiskinan sebagai tanda tak beriman, bahwa orang Kristen sebagai anak-anak Allah haruslah kaya, tak mungkin miskin, sebab Allah mahakaya. Ini olok-olok kejam terhadap kaum miskin dan terhadap fakta yang Yesus tandaskan, “Orang-orang miskin selalu ada pada kamu”2 (Mat. 26:11).
Ketiga hal itu harus diatasi, kalau Gereja Indonesia tak mau menjadi sahabat yang meninggalkan kaum miskin. Fakta bahwa orang miskin akan tetap ada, termasuk di kalangan Kristen, sekali-kali tak boleh ditepiskan. Rasul Paulus pun mengakuinya ketika menyebut tentang “orang-orang miskin di antara orang-orang kudus” kepada jemaat Roma (Rom. 15:26).
Nabi Musa meneguhkannya pula—seperti disitir oleh Yesus—sambil memberi tahu apa yang harus dilakukan umat Allah: “Orang-orang miskin tidak hentinya akan ada di dalam negeri itu; itulah sebabnya aku memberi perintah kepadamu, demikian: Haruslah engkau membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu” (Ul. 15:11, tekanan oleh penulis).
Itu, tak ragu lagi, adalah perintah untuk tidak meninggalkan kaum miskin.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
- Amsal 19:4.
- Kata “kamu” di sini bisa dipahami menunjuk kepada para pengikut Yesus secara khusus ataupun bangsa mereka secara umum.