Oleh Victor Samuel
Yang kurindukan, para pedagang kaki lima, pemilik warung, penambal ban jalanan, dan pekerja-pekerja sektor informal lainnya di tanah air, khususnya di Kota Bandung.
Perkenalkan, aku ini pelanggan kalian; saat ini jauh berada di negeri dingin Swedia, tepatnya di Kota Stockholm. Mungkin kalian tidak kenal aku. Aku juga tak dapat menyebut nama kalian satu per satu. Aku hanya biasa memanggil kalian “Bang,” “Mas,” “Mbak,” atau “Teh.”1
Kalian memang jarang dikenali. Tidak juga kalian ingin terkenal. Kalian tak seberuntung sekelompok orang yang melejit namanya karena bernyanyi dan menari di YouTube. Kalian juga tak punya uang ataupun peluang untuk meramaikan ruang persaingan capres 2014. Kalian hanya berusaha sehari demi sehari, mengharapkan kecukupan hidup yang sederhana namun lestari.
Apesnya, kalian sering dipandang sebelah mata, dicibir dan dimaki oleh kaum berharta. Pada tingkat nasional, mereka meremehkan kalian sebab kalian tidak dianggap berandil dalam pendapatan negara. Pada tingkat kota, mereka menendang kalian karena kalian dianggap mengganggu pemandangan. Pada tingkat perseorangan, mereka berkoar—meski mungkin dalam hati—karena dagangan kalian mempersempit trotoar.
Aku harus mengaku kepada kalian bahwa aku pun salah satu di antara mereka. Aku pernah meremehkan, mencibir, dan mengomelkan keberadaan kalian. Padahal, di sisi lain, aku pelanggan setia kalian. Dulu, sebelum pergi ke kampus, saat makan siang, sepulang dari kampus, ataupun dalam waktu senggang, kalianlah yang kucari. Singkatnya, aku benci sekaligus cinta kalian.
Kini kita tak bertemu lagi. Untuk mengejar cita-cita, aku meninggalkan Indonesia sejak satu setengah tahun lalu. Di Stockholm, pekerja sektor informal seperti kalian jarang sekali terlihat, kecuali satu dua pengamen di terowongan-terowongan kereta bawah tanah. Tinggal di salah satu kota ternyaman di dunia ini, anehnya, memperbesar cintaku kepada kalian.
Aku menyadari bahwa hidup ini jauh lebih mudah kalau ada kalian di sekitarku. Di sini, sarapanku setiap hari adalah susu dan sereal. Meskipun itu sarapan bergizi, lama-lama lidah Asia bercita rasa tinggi ini bosan juga.
Di Bandung dulu, dengan mudah kudapatkan sarapan mewah: nasi kornet lengkap dengan sayur daun singkong dan bala-bala2. Kalau bosan, ada juga nasi goreng petai dan kangkung cah. Mbak Nani, salah satu di antara kalian, memasakiku sarapan murah, bergizi, dan lezat itu setiap pagi—lengkap dengan bumbu senyum dan sapaan ramah khasnya.
Pada larutnya malam, kenyamanan Stockholm bergeming mendengar bunyi keroncongan perut lapar. Suhu udara membekukan air sekaligus semangat untuk mencari restoran waralaba yang belum tentu masih buka. Memasak juga bukan jawaban ketika kekuatan tubuh sudah kendur dan mata ingin tidur. Beberapa kali aku terkapar pasrah, lalu memaksa diri tidur meski lapar parah. Esoknya aku bangun. Selamat pagi, susu dan sereal.
Situasi ini berlawanan dengan situasi dekat rumah kontrakanku di Bandung dulu. Lapar tengah malam? Tenang. Meski hanya berdindingkan selembar kain lebar bertuliskan menu makanan dan beratapkan sehelai tenda biru, kalian bertahan dari sore sampai lewat tengah malam, tetap semangat menanggulangi rasa lapar dengan menyuguhkan nasi pecel ayam goreng dan teh manis hangat. Kebosanan pun tak pernah singgah. Di dekat situ, masih ada ikan bakar, sate ayam, roti panggang, dan Indomie telur kornet. Nikmat!
Rinduku ini bukan hanya kepada kalian, penjaja makanan. Sampai sekarang aku belum mengganti ban dalam sepedaku yang bocor sebab biaya pemasangan ban dalam baru di Stockholm lebih mahal dibanding harga ban dalam itu sendiri. Selain itu, jumlah tempat perbaikan sepeda di sini tak habis dihitung jari tangan. Kalau saja aku masih di Bandung, aku dapat menemukan kalian di manapun, wahai para penambal ban. Sebab kalian ada, aku nyaman bersepeda.
Sadar atau tidak, kalian telah mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia dengan kemewahan. Mendambakan segala kemewahan itu, kami yang jauh melanglang pun ingin pulang.
.
Victor Samuel adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang tinggal di Stockhol, Swedia.
.
Catatan
1 “Teh” adalah sebutan singkat untuk “Teteh,” istilah bahasa Sunda yang berarti kakak perempuan. “Bang” adalah sebutan singkat untuk “Abang,” panggilan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Betawi dan beberapa wilayah di Sumatera. “Mas” dan “mbak,” kita tahu, adalah panggilan untuk kakak laki-laki dan kakak perempuan dalam bahasa Jawa.
2 Bala-bala adalah sejenis camilan yang dijual hampir setiap pedagang gorengan di Bandung. Mirip bakwan di Jakarta, bala-bala terbuat dari terigu, wortel, dan kol.
Bagus sekali apa yang dikupas di sini.
Memang benar yang semua orang sudah tau, bila dekat dibenci, bila jauh dirindu. Ternyata kenangan pada hal-hal kecil ini begitu besar. Apa yang dicibir di sini, ternyata tidak mungkin diperoleh di luar. Dan hal itu membangkitkan kekangenan tersendiri bagi negara ini. Memang Indonesia itu luar biasa! Ia memanjakan penduduknya. 🙂
nemu nih artikel pas lagi laper tengah malam. motor dipake adek, warung terdekat didepan komplek, 600 meter ada kali ya. tp gak separah swedia, disini masih ada 14045 untuk pesan antar. bagaimanapun tulisan anda adalah sebuah realita. membuat para pembacanya berhenti untuk merenung sejenak. bukan kabar gembira, bukan pula cerita sedih.. apa yah istilahnya..