Oleh Efraim Sitinjak
“Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini [Sriwijaya] selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India.” 1 Demikian tulis I Ching, seorang pendeta Budha dari negeri Tiongkok. Pelanjutan ilmu di India yang dimaksudnya adalah di Universitas Nalanda, salah satu universitas tertua di dunia yang menjadi pusat pendidikan agama Budha.
Anjuran I Ching menyingkapkan kepada kita suatu pencapaian penting orang Nusantara di bidang pendidikan (agama). Kerajaan Sriwijaya, yang mencapai puncak kejayaan di sekitar abad ke-7 dan beribukota di Pulau Sumatera, bisa menjadi pusat pengajaran agama Budha Vajrayana dan bisa memiliki sekolah tempat agama tersebut dipelajari.
Berdasarkan anjuran I Ching, kita bisa menarik kesimpulan bahwa sekolah di Sriwijaya itu adalah sekolah unggulan dan bermutu. Tak heran sekolah yang diperkirakan terletak di Muaro Jambi2 itu menarik minat banyak sarjana dari negara-negara Asia serta tenaga pengajar dari Nalanda sendiri. I Ching menulis bahwa ada 1.000 pendeta yang belajar pada Sakyakirti, guru agama Budha yang terkenal di Sriwijaya. 3
Di sekolah itu banyak biarawan India yang belajar selama beberapa tahun kemudian kembali ke India untuk mengajar. Mereka, boleh dibilang, menuntut ilmu sampai ke Nusantara! Sebaliknya, banyak pula biarawan Nusantara yang belajar di Nalanda kemudian kembali lagi ke Sriwijaya untuk mengajar. Pertukaran akademisi telah terjadi di masa itu!
I Ching mengatakan bahwa pelajaran di Sriwijaya mirip dengan yang diajarkan di India. Di Sriwijaya, para biarawan “mempelajari pancavidya: logika, tata bahasa dan kesusastraan, ilmu pengobatan, kesenian, serta metafisika dan filsafat.”4 Jadi jelaslah bahwa yang mereka pelajari bukan ilmu agama saja. Leluhur kita sudah mengerti bahwa penguasaan ilmu agama haruslah didampingi penguasaan ilmu-ilmu lainnya.
Hari ini, jika kita ingin Indonesia menjadi pusat keilmuan, tentulah kita harus bisa menggelar kinerja pendidikan yang unggul seperti sekolah di Sriwijaya. Kisah keunggulan sekolah itu menjadi kritik bagi carut-marut sektor pendidikan kita dalam isu-isu seperti kurikulum tepat guna, kecakapan tenaga pengajar, sampai kasus penjiplakan karya yang melibatkan insan akademis. Seharusnya kita malu karena di abad yang lebih canggih ternyata kita belum mampu menyamai atau melampaui pencapaian leluhur kita.
Betapa kita harus berusaha agar segala perguruan tinggi kita di Indonesia bisa seperti sekolah di Sriwijaya! Tidakkah kita rindu sekolah-sekolah kita menjadi pusat-pusat kajian ilmiah kelas dunia? Tidakkah kita rindu sekolah-sekolah kita dirujuk sebagai tujuan utama pertukaran akademisi, baik dalam hal pendidikan agama maupun non-agama?
Secara khusus dalam lingkup pendidikan agama Kristen, Gereja Indonesia masih sangat bergantung kepada teologi Barat dan sekolah-sekolah teologinya belum menjadi lirikan orang Kristen bangsa lain tapi tetap menjadi “cabang” belaka dari sekolah teologi luar (istimewanya dalam hal pemikiran atau doktrin). Seharusnya umat Kristen Indonesia berusaha agar sekolah-sekolah teologinya mampu memiliki kualitas dan pencapaian yang sebanding dengan sekolah Budha di Sriwijaya. Seharusnya pula sekolah-sekolah teologi Indonesia mampu mengembangkan teologi Kristen yang Indonesiawi.
Kondisi sosial-budaya yang unik menuntut pendidikan agama (dan umum) yang unik pula. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, tingkat sosial, wilayah, dan agama tentulah lebih dari layak menjadi pusat pembelajaran dan kajian beragam ilmu. Tapi pusat macam ini pastinya harus didukung oleh kualitas pengajaran, kurikulum ilmu, fasilitas, iklim belajar serta tenaga pendidik yang baik. Inilah pekerjaan rumah yang perlu kita garap dengan serius.
Kita tak boleh berdiam diri. Pencapaian penting masa lalu harus kita ulangi lagi di masa kini. Sekolah di Sriwijaya membuktikan bahwa kita berpotensi membangun keunggulan dalam hal sistem pendidikan. Mari kita berusaha membangunnya kembali hingga suatu saat nanti orang luar Nusantara berpepatah, “Tuntutlah ilmu sampai ke Nusantara.”
.
Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1“Sriwijaya” dalam situs Wikipedia. < http://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya >.
2 Sudhamek AWS. “Muaro Jambi, Universitas Tertua di Indonesia” dalam Kompas terbitan 07.09.2010.
3 “I Ching” dalam situs Wikipedia. < http://id.wikipedia.org/wiki/I_Ching >.
4 Sudhamek AWS. “Muaro Jambi, Universitas Tertua di Indonesia.”