Oleh Lasma Panjaitan
“I Love Indonesia.” Semboyan ini terpampang besar-besar di sebuah spanduk iklan di pinggir jalan Kota Bandung, tempat saya bermukim. Tidak hanya itu, kaus-kaus bertuliskan “I Love Indonesia” tersedia pula untuk dibeli di pertokoan kota kembang ini. Masih kurang ramai? Status kenalan-kenalan saya di jejaring sosial pun turut mengumandangkan ungkapan “I love Indonesia.”
Memang baik dan indah ketika banyak orang Indonesia mengungkapkan cinta kepada Indonesia. Harap-harap dengan makin banyaknya pengungkap cinta ini, makin banyak pula sumbangsih terbaik yang diberikan sebagai tanda cinta untuk mengubah nasib Indonesia jadi lebih baik. Tapi, di sisi lain, fenomena ini mengandung ironi: kalau memang cinta Indonesia, mengapa pula harus pakai bahasa Inggris? Bukankah cinta Indonesia seharusnya mencakup cinta bahasa Indonesia juga?
Mungkin kita yang gemar mengungkap “I love Indonesia” ingin supaya orang asing tahu bahwa kita sungguh-sungguh cinta Indonesia. Namun, nyatanya ungkapan cinta di spanduk, kaus, dan status jejaring sosial itu kita buat dalam konteks Indonesia, dan pembacanya orang Indonesia juga. Kalau begitu, “aku cinta Indonesia” jelas lebih cocok digunakan—dan lebih sejalan dengan makna “cinta Indonesia.”
Tentu saja saya tidak berpandangan bahwa salah kalau kita berbahasa asing. Bahasa-bahasa asing layak, bahkan perlu, dipelajari. Hanya saja, sungguh tidak baik jika kita jadi tidak bangga atau malah mencampakkan bahasa Indonesia karena bahasa asing.
Hari-hari ini kita terlalu bangga “menginggris” atau “mengasing” dalam berbagai aspek kehidupan. Pusat-pusat perbelanjaan lebih suka menuliskan “sale” daripada “diskon.” Lagu-lagu populer pun seolah-olah tidak rancak kalau tidak diselipi bahasa Inggris. Belum lagi slogan seperti “I love Indonesian product.”
Gemar menggunakan bahasa asing juga menjamur di kalangan Kristen. Betapa banyak komunitas Kristen yang senang menuliskan tema-tema acaranya dalam bahasa asing. Ada pula yang lebih sering menyanyikan lagu pujian berbahasa Inggris. Bahkan jargon-jargon Kristen dituliskan dalam bahasa asing, misalnya “pray for Indonesia” atau “nothing is impossible with God.”
Apakah kita tidak bangga berbahasa Indonesia—bahasa yang tidak bisa kita lepaskan dari kebangsaan Indonesia? Jika kita malu berbahasa Indonesia, berarti kita malu menjadi bangsa Indonesia. Dan kita mungkin perlu merombak formula ikrar pemuda Nusantara di tahun 1928 menjadi, seperti kata sastrawan Remy Sylado, “satu nusa, satu bangsa, dua languages.”1
Sesungguhnya, jika kita mengetahui keunggulan bahasa Indonesia, kita akan mencampakkan tiap ketidakbanggaan berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah satu dari lima bahasa dunia yang mempunyai jumlah penutur terbesar.2 Saat ini bahasa Indonesia dipelajari sedikitnya di 72 negara4 dan dijadikan mata pelajaran sekolah di beberapa negara. Selain itu, bahasa Indonesia sangat berpotensi dan telah dibicarakan untuk menjadi bahasa internasional.3 Bagaimana mungkin kita tidak bangga karenanya?
Kita perlu belajar dari bangsa-bangsa yang bangga akan bahasa ibu mereka, misalnya Korea Selatan, Perancis, Jerman, Jepang. Para artis beken Korea Selatan, misalnya, suka menggunakan istilah-istilah Korea meskipun berada di negara asing. Hal ini membuat penggemar mereka dari bangsa-bangsa lain tertarik untuk menggunakan istilah-istilah Korea, bahkan ada yang sampai mempelajari bahasa Korea.
Kita harus membangun kepercayaan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia—bahasa yang tidak pernah lebih rendah dari bahasa asing. Kepercayaan diri kita adalah sama dengan yang mendorong para pemuda Nusantara di tahun 1928 berikrar, “… menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Dan kepercayaan diri itu akan menguatkan karakter bangsa—sepasti pepatah “bahasa menunjukkan bangsa.”
Jadi, perlulah kita camkan kembali bahwa cinta Indonesia mencakup cinta bahasa Indonesia juga. Dan tidaklah patut jika kita baru merasa bangga kalau mengungkapkan rasa cinta itu dalam bahasa asing.
“I love Indonesia”—sungguhan?
.
Lasma adalah seorang pegiat Lembaga Bantuan Hukum yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Alif Danya Munsyi. “Disumpahi Pemuda: Satu Nusa Satu Bangsa Dua Languages” dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2005, hal. 43. Baik “Alif Danya Munsyi” maupun “Remy Sylado” adalah nama pena untuk sastrawan berdarah Minahasa, Yapi Tambayong.
2 James T. Collins. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, hal xvii.
3 Lihat “Bahasa Indonesia Bisa Jadi Bahasa Internasional” dalam Kompas terbitan 16.11.2011; “Bahasa Melayu Akan Diusulkan Jadi Bahasa Pengantar di PBB” dalam situs tvone.<http://internasional.tvonenews.tv/berita/view/50417/2011/10/25/bahasa_melayu_akan_diusulkan_jadi_bahasa_pengantar_di_pbb.tvOne >.
4 Lihat “Melalui Program BIPA, Bahasa Indonesia Semakin Banyak Dipelajari oleh Orang Asing” dalam situs unpad. <http://www.unpad.ac.id/2013/05/melalui-program-bipa-bahasa-indonesia-semakin-banyak-dipelajari-oleh-orang-asing/ >.
rancak bana 😀
salam dari Mentawai utk para penulis di Kombi,eheheh