Etos Batak: Banting Tulang demi Generasi Penerus

Oleh Paul Sagajinpoula

Marhoi-hoi pe au inang da tu dolok tu toruan/Mangalului ngolu-ngolu naboi parbodarian/Asal ma sahat gelleng hi da sai sahat tu tujuan/Anakkon hi do hamoraon di au.

Huhoho pe massari arian nang bodari/Lao pasikkolahon gellengki/Naikkon marsikkola satimbo-timbona/Sikkap ni natolap gogokki.1

Lagu Batak yang saya kutip di atas sepertinya sudah lumayan populer sampai ke luar suku Batak. Digubah oleh komponis beken Nahum Situmorang, lagu berjudul Anakkon Hi do Hamoraon di Au itu mengungkapkan teladan etos yang bagus: kerja keras orang tua (Batak) agar anak bisa sekolah setinggi-tingginya. Dalam bulan peringatan Sumpah Pemuda ini, rasanya penting sekali etos itu kita apresiasi, bahkan hayati, sebagai suatu kekayaan keindonesiaan, sehingga kita punya wawasan hebat tentang banting tulang demi generasi penerus kesatuan bangsa.

Ya, orang tua Batak dikenal rela membanting tulang, menantang panas dan hujan, demi masa depan cerah anaknya. Saya yang non-Batak sangat mengapresiasi hal ini. Orang tua Batak, seperti kata lagu Situmorang, memandang anak sebagai kekayaan (hamoraon) yang sungguh berharga—pemberi kebanggaan kepada keluarga. Agar bisa memberi kebanggaan itu, mereka harus diupayakan sukses. Dan agar bisa sukses di zaman mutakhir ini, mereka harus diusahakan berpendidikan.

Maka gunung dan lembah pun “dijalani” orang tua Batak dalam kerja keras supaya anak “marsikkola satimbotimbona” (“bersekolah setinggi-tingginya”). Rela berkorban hingga diri sendiri tak punya apa-apa,2 orang tua Batak memandang bahwa sekolah setinggi mungkin adalah kunci kemajuan. Saya kira etos macam ini memberi kita pelajaran penting bahwa masa depan generasi penerus (anak-anak) ada dalam kerja keras dan pengorbanan orang tua.

Saya melihat langsung etos Batak dalam diri Pak Simamora, perantau yang sudah puluhan tahun tinggal di Siberut Selatan, Mentawai. Sempat terpuruk karena silap menghitung peluang untung-rugi usahanya, ia dengan gigih memulai lagi segalanya dari nol. Pantang menyerah dalam perjuangan yang panjang, ingat bahwa sekolah anak jangan sampai terhenti, akhirnya ia sukses menjadi penampung dan pemasar hasil bumi masyarakat Siberut. Lahan pertanian luas dimilikinya di daerah Peipei, masyarakat setempat dipekerjakannya, dan anak-anaknya disekolahkan setinggi-setingginya. Saat ini, dua anaknya yang tertua (dari lima bersaudara) sudah menjadi sarjana.

Semangat/kegigihan kerja dan wawasan kepada masa depan generasi penerus yang ditunjukkan Pak Simamora patut ditiru oleh setiap orang tua di Indonesia, khususnya di Mentawai. Sebagai putra Mentawai, saya sudah akrab dengan satu fakta seputar generasi muda kami: tingginya jumlah anak yang berhenti sekolah di tingkat SMA. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan biaya. Dan ini sering ditentukan oleh giat-tidaknya orang tua mencari nafkah bagi anak-anaknya.

Demi kemajuan bangsa dan demi awetnya kesatuan bangsa, etos banting-tulang-demi-generasi-penerus tak dapat tidak harus dimasyarakatkan. Kita tahu bahwa untuk memajukan Indonesia dibutuhkan generasi lepas generasi yang terdidik dan cerdas. Namun, suatu generasi tak mungkin menjadi terdidik dan cerdas jika generasi sebelumnya enggan membanting tulang untuk memastikan mereka menjadi seperti itu.

Artinya, kemajuan bangsa selalu ditentukan oleh mutu bagus generasi penerusnya, dan mutu bagus ini tidak  mungkin dicapai dengan kerja yang ala kadarnya saja di pihak orang tua. Tiap orang tua Indonesia harus senang bekerja keras, dan bekerja keras dengan tujuan, salah satunya, menjamin mutu bagus generasi penerus bangsa. Generasi bermutu bagus akan memajukan bangsa dan melestarikan kesatuannya seturut ikrar Sumpah Pemuda: “Berbangsa satu, bangsa Indonesia.”

Huhoho pe massari arian nang bodari, lao pasikkolahon gellengki. Ya, ini pun tekad saya jika kelak menjadi orang tua. Bersama para orang tua Batak, biarlah semua orang tua Indonesia giat membanting tulang demi sekolah tinggi anak—demi mutu bagus generasi penerus bangsa.

Catatan

1 Nahum Situmorang. “Anakkon Hi do Hamoraon di Au” dalam situs Musik Batakpedia <http://musik.batakpedia.org/2012/02/18/anakkon-hi-do-hamoraon-di-au/>. Terjemahan bebasnya: “Bersakit-sakit pun aku, ibu, ke gunung ke lembah/Mencari penghidupan untuk sehari-hari/Yang penting anakku sampai kepada tujuan/Anakku inilah kekayaan bagiku” dan “Kugiatkan pun bekerja siang dan malam/Untuk menyekolahkan anakku/Yang harus bersekolah setinggi-tingginya/Sampai semampu kekuatanku.”

2 Bait kedua lagu itu (yang dicantumkan di atas adalah bait pertama dan ketiga) berbunyi: “Nang so tarihut hon au pe angka dongan/Ndada pola marsak au disi/Marsedan, marberlian, marcincin, nang margolang/Ndada pola marsak au disi.” Terjemahan bebasnya: “Walaupun aku tak bisa mengikuti [gaya hidup] teman/Aku tidak bersedih karenanya/[Tak bisa] memiliki sedan, berlian, cincin, dan gelang/Aku tidak bersedih karenanya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *