Oleh Efraim Sitinjak
Filem-filem Barat tidak pernah berhenti memukau kita. Filem Amerika Serikat, secara khusus, menjadi tolok ukur atau malah kiblat perfileman dunia. Bahkan Hollywood, salah satu mesin industri filem Barat, mengilhami terciptanya mesin-mesin industri filem di benua lain, seperti Bollywood di India dan Nollywood di Nigeria. Filem-filem Barat juga memperkenalkan budaya, perilaku, dan gaya hidup orang Barat. Banyak bangsa di dunia, termasuk Indonesia, sangat terpengaruh oleh semua itu.
Pengaruh Barat via filem ini membuktikan kehebatan mereka dalam berpikir orisinal. Mereka senang memutar otak untuk mendulang ide-ide segar dari pengalaman sehari-hari ataupun dari imajinasi. Maka ide-ide filem mereka bisa berpijak pada kenyataan ataupun membubung dengan khayalan, kontekstual ataupun imajinatif, membumi ataupun melangit.
Berpijak pada kenyataan, orang Barat dapat menghasilkan karya-karya sinema seperti Eat Pray Love, filem berdasarkan memoar Elizabeth Gilbert yang laris; Rocky (bersekuel), filem berdasarkan kehidupan petinju; Titanic, filem berdasarkan peristiwa karamnya kapal pesiar raksasa; S.W.A.T., filem berdasarkan kiprah tim khusus polisi; dll.
Keorisinalan memampukan orang Barat merambah sejarah dan pengalaman manusia, berbagai bidang pekerjaan dan realitas kehidupan manusia, untuk menimba ide bagi filem-filem yang diapresiasi dunia. Dan keorisinalan juga memampukan mereka meramu sentuhan dramatisasi atau aksi bagi karya-karya sinema membumi itu.
Membubung dengan khayalan, orang Barat dapat menghasilkan karya-karya sinema seperti Star Wars (bersekuel), filem tentang epos ruang angkasa dengan spesies-spesies makhluk planet; The Chronicles of Narnia (bersekuel), filem tentang alam antah-berantah tempat sosok-sosok mitos dan hewan-hewan yang bisa berbicara; 2012, filem tentang bencana besar yang melanda dunia menurut ramalan bangsa Maya; The Matrix (bersekuel), filem tentang simulasi realitas yang mengungkung dan diperangi manusia; dll.
Keorisinalan memampukan orang Barat merambah “ranah” khayal untuk menambang ide bagi filem-filem yang memukau dunia. Dan keorisinalan juga memampukan mereka untuk meracik sentuhan efek audio-visual dan pelogikaan bagi karya-karya sinema melangit itu.
Dua kategori filem di atas menunjukkan rentang luas pemikiran orisinal Barat. Dengan semua itu mereka seolah-olah berkata bahwa mereka senang dan mampu memikirkan segala macam ide filem, dari yang sederhana sampai yang rumit. Dan mereka bisa menyajikan ide itu secara menarik dengan alur cerita yang memikat, dialog cerdas, sudut bidik kamera yang mengesankan, penokohan berkarakter, dll.
Kinerja keorisinalan orang Barat di perfileman itu sungguh patut kita teladani. Sebenarnya, kita juga bisa menghasilkan karya-karya sinema yang orisinal dan berkualitas. Filem-filem seperti Daun di Atas Bantal, Pasir Berbisik, Sang Pencerah, dan Soekarno membuktikannya. Hanya saja, kinerja membumi dan melangit kita untuk mendulang ide-ide segar perfileman masih perlu lebih digalakkan, ditingkatkan, dan dimasyarakatkan lagi.
Dalam beorisinal ria, semangat kita haruslah supaya kekhasan keindonesiaan dapat mengemuka dan turut menyemarakkan dunia. Bond Emeruwa, direktur Nollywood, berkata tentang kinerja perfileman Nigeria: “Kami sedang menceritakan kisah kami sendiri dengan cara kami, cara Nigeria kami, cara Afrika. Saya tidak dapat menceritakan kisah orang kulit putih. Saya tidak tahu apa kisahnya. Dia menceritakan kisahnya dalam filem-filemnya. Saya ingin dia melihat kisah-kisah saya juga.”1 Semangat kekhasan dan kepercayaan diri macam itu pastilah karib dengan keorisinalan.
Sudah saatnya kita tidak lagi terpukau belaka menyaksikan keorisinalan orang Barat. Sudah saatnya kita merupa keorisinalan sendiri—kisah kita sendiri dengan cara kita, cara Indonesia kita.
.
Efraim adalah seorang konsultan kebijakan publik yang tinggal di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 “Nollywood: Booming Nigerian Film Industry” dalam situs Southern Innovator. <http://www.southerninnovator.org/index.php/component/content/article/1-creative-econ/9-nollywood-booming-nigerian-film-industry>.
bang aku kurang memahami konsep orisinalitas film itu di tulisan ini. lagipula Narnia ataupun Eat Pray Love bukan ide dari sineas melainkan adaptasi dari novel. aku pikir tadi tentang film Indonesia yang semakin kesini lebih banyak film adaptasi dari bermacam buku dan novel ketimbang naskah asli. karena naskah asli, tentu dengan ide orisinal bakal lebih ciamik hasilnya dan tentu mendunia — contoh avatar atau star wars tadi. kalo di Indonesia film ciamik itu ada Raids, asli dan mendunia. dan Tabula Rasa, pemenang naskah terbaik FFI 2014 berceritakan tentang kuliner Indonesia.
Halo Robin, terima kasih atas tanggapannya. Konsep orisinal yang dikemukakan adalah kefasihan orang Barat mendulang ide-ide segar dari pengalaman sehari-hari ataupun dari imajinasi.
Utk filem seperti Narnia dan Eat Pray Love, meskipun dari novel, naskah ditulis ulang dan menjadikan inajinasi tertulis di novel itu dalam bentuk wujud tiga dimensi (visual) adalah keorisinalan (tersendiri). Tadinya C.S. Lewis tidak mau Narnia difilemkan karena takut visualnya melenceng. Tapi setelah melihat sampel dari animasinya, anak angkat C.S. Lewis akhirnya setuju Narnia dijadikan filem. Pembuatan novel (tertulis) menjadi gambar (visual) dan berhasil pulak adalah berkat keorisinalan.
Filem-filem Indonesia juga ada yang sangat orisinal, salah satunya seperti yang kau sebutkan, Tabula Rasa. Tapi tulisan ini tidak untuk menganalisis filem Indonesia, kita mau mencontoh kinerja orang Barat yang bisa membuat karya mereka mendunia dan dijadikan patokan, salah satunya lewat filem. Untuk filem Indonesia, The Raid, sajiannya memang asik tetapi naskahnya ditulis dan disutradarai oleh orang Barat.