Oleh S.P. Tumanggor
Sejak waktu yang tak terbilang lamanya umat manusia dan bebatuan telah menjadi karib. Era Batu Besar (Megalitikum), ribuan tahun silam, adalah salah satu bukti besarnya. Ketika itu manusia memanfaatkan batu-batu raya sebagai tugu, bangunan, meja, makam, dll.—tanpa bantuan semen apa pun. Tinggalan-tinggalannya terserak di seantero bumi, termasuk Indonesia, dan menuturkan kepada kita pelajaran berharga tentang daya upaya dan daya cipta besar.
Di Indonesia, di ujung timur, Bukit Tutari mencuar sebagai situs megalitik terluas yang mewakili Tanah Papua. Meski masih kalah beken dari beberapa situs megalitik Nusantara lain (misalnya situs Lore Lindu di Sulawesi Tengah atau situs Gunung Padang di Jawa Barat), situs Tutari yang terletak di Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura ini boleh berbangga atas sejumlah megakarya unik dan panorama mengesankan ala ketinggian: lekak-lekuk hijau perbukitan dan teduh-biru Danau Sentani.1
Di lereng-lereng ketinggian itu bongkahan batu-batu besar Tutari tegak membisu di angin zaman. Kebisuannya menyimpan kisah kinerja para leluhur dalam menguasai konteks setempat dan mengejar mutu. Betapa tidak, pada kelabu gelap badan batu-batu tertatah lukisan benda/makhluk dari konteks Sentani dalam gurat-guratan putih: gelang, “alat bayar” setempat; yoniki, motif hias setempat; ikan dan labi-labi, satwa tangkapan nelayan setempat. Hebatnya, biarpun berabad-abad terpapar kepada air hujan dan panas surya, lukisan-lukisan ini tak pupus dan tak punah.2 Mutu kerja yang bagus!
Empat batu besar istimewa, dua-tiga kali ukuran tubuh orang dewasa, berdiri berdekatan dengan bentuk seperti memiliki kepala, leher, dan badan. Dijuluki batu ondoafi, keempatnya mewakili empat suku (yakni ondoafi) di Doyo Lama: Ebe, Pangkatana, Wali, dan Yapo. Tak heran batu-batu itu tampak bak orang-orang yang sedang menatap ke satu arah—ke Kampung Doyo Lama.3 Inilah upaya para leluhur mencipta megakarya yang mewakili identitas kesukuan mereka, yang menegaskan identitas itu kepada dunia.
Di titik tertinggi Tutari, terhampar kompleks dootomo, pekuburan pria: 110 menhir “mini” setinggi lutut orang dewasa yang tegap menghadap Danau Sentani. Teknik pendiriannya unik, karena menhir-menhir itu tidak dicacakkan ke tanah, tapi hanya ditopang batu-batu lebih kecil di sekitarnya. Di bawahnya terbentang kompleks mietomo, pekuburan wanita: batu-batu bulat seukuran bola voli yang dijajarkan dalam satu garis lurus menjurus ke Danau Sentani.4 Lewat susunan bebatuan, para leluhur memastikan warga suku yang telah tiada dikenang sepanjang masa—suatu penghargaan besar kepada orang “sebangsa.”
Hingga sekarang keberadaan kompleks dootomo dan mietomo di tengah batu-batu raya berlukis masih menjadi teka-teki bagi para ahli purbakala. Ada yang menduga penataan itu dikembangkan sebagai gaya setempat, sebab sejauh ini hal serupa tak dijumpai di tempat-tempat lain.5 Itu, bersama teknik unik pendirian menhir dootomo, mungkin bisa kita tafsirkan sebagai upaya orisinal para leluhur dalam mencipta kekhasan. Dan itu, bersama segala kinerja yang terbeberkan di atas, mengimbau kita, orang Nusantara terkini, untuk berdaya upaya dan berdaya cipta besar pula di kemutakhiran.
Kita juga harus menggubah megakarya-megakarya mutu tinggi dan tahan lama yang sesuai dengan konteks hidup kontemporer kita: infrastruktur, bangunan, sistem, seni-budaya, dll. Segala megakarya itu akan menegaskan dan memashurkan identitas Indonesia di jagat, bukan demi sombong-sombongan, tapi demi semarak kehidupan. Dan ini tak dapat tidak ditunjang oleh penghargaan terhadap jasa dan karya orang sebangsa, baik yang masih ada maupun yang telah tiada. Sayangnya, carut-marut pembangunan Nusantara hari ini mengisyaratkan bahwa kinerja hebat leluhur di era silam belum bisa kita ulangi di era sekarang—suatu PR besar bagi kita.
Di Doyo Lama berembus cerita beraroma magis ini: sebuah batu dootomo pernah dibawa orang ke Jerman (atau, dalam versi lain, ke Jakarta), tapi tak lama kemudian batu itu menghilang dari sana karena kembali ke tempatnya semula di Bukit Tutari.6 Walau cerita macam itu sulit dipastikan kebenarannya, satu hal benar bagi kita: kinerja besar para leluhur di Era Batu Besar yang sempat pergi dari kita haruslah kembali lagi kepada kita.
.
S.P. Tumanggor adalah seorang pengalih bahasa dan penulis yang bermukim di Bandung, Jawa Barat.
.
Catatan
1 Situs Tutari ditaksir kepala Balai Arkeologi Papua sebagai satu dari tiga situs di Papua yang layak menjadi warisan dunia. Lihat “3 Situs di Papua Berpotensi Jadi Warisan Dunia” dalam situs Merdeka. <http://www.merdeka.com/peristiwa/3-situs-di-papua-berpotensi-jadi-warisan-dunia.html>. Tentu saja ini menuntut perawatan dan pelestarian yang serius di pihak pemerintah daerah dan pusat.
2 “Batu ‘Dootomo’ di Bukit Megalitik Tutari” dalam Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik KOMPAS: Terasing di Pulau Sendiri. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008, hal. 15-16.
3 Iqbal Kautsar. “Menelisik Situs Megalitik Tutari” dalam blog Diaspora Iqbal. <http://diasporaiqbal.blogspot.com/2014/02/menelisik-situs-megalitik-tutari.html>. “Batu ‘Dootomo’ di Bukit Megalitik Tutari,” hal. 13-14.
4 Truman Simanjuntak. “Review of the Prehistory of Irian Jaya” dalam Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia/Penyunting: Jelle Miedema, dkk. Amsterdam: Editions Rodopi B.V., 1998, hal. 947; “Batu ‘Dootomo’ di Bukit Megalitik Tutari,” hal. 17; Iqbal Kautsar. “Menelisik Situs Megalitik Tutari.”
5 Truman Simanjuntak dalam Perspectives on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia, hal. 947.
6 Iqbal Kautsar. “Menelisik Situs Megalitik Tutari”; “Batu ‘Dootomo’ di Bukit Megalitik Tutari,” hal. 18.